acara panggung yang meriah.
Di saat langit masih gelap gulita, langit yang begitu luas di mata manusia. Kupandangi langit yang di tengahnya purnama. Purnama itu begitu terang dan indah. Bulan yang terlihat kecil, tapi begitu memikat perhatian karena sinarnya. Bintang yang turut ikut serta dalam melukis indahnya angkasa raya. Ingin sekali kubersinar seperti mereka. Sepertinya seru, tampil di“Bukan kah ada acara itu di televisi, sekarang.” Aku begumam dan melirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul 23.00 malam.
Aku mencoba mengumpulkan tenaga untuk bangkit dari lamunanku dan melompat ke atas kasur. Setelah mengambil remot TV berwarna hitam di atas kasur, aku memeluk bantal dan selimut dan menyalakan TV dan mencari suatu siaran acara.
“Nah, ini!”
Salah satu acara TV yang kutunggu-tunggu. Acara “How to be a Millionaire” sudah tayang setengah acara sejak TV-nya kunyalakan. Aku berharap ada seseorang yan g bisa berhasil mendapatkan hadiah utamanya yang sejumlah seratus juta. Yang kuharapkan bukan otang lain yang mendapatkannya, tapi diriku.
Yah, uang seratus juta memang tidak sedikit. Namun, uangn itu setidaknya cukup untuk biaya rawat ibuku. Ibuku mengidap kanker lambung. Padahal, ayahku tidak punya gaji yang begitu besar untuk melunasi biaya rawat ibuku.
Seudah sebulan ibuku dirawat di rumah sakit. Diriku yang masih kuliah di semester tiga hanya ingin membantu, tapi tak mampu. Diriku yang sekaranag hanya bisa membiayai kehidupanku sendiri.
“Lah, kenapa suasananya malah menjadi sedih, sih.”
Aku sebenarnya sengaja membuat suasana ini, meski ku tak tahu air mataku menetes sedari tadi. Itu karena sore tadi, aku berhasil memenangkan tiket masuk acara TV yang kutonton saat ini.
Aku akan merahasiakannya dari orangtuaku. Sebelumnya, aku pernah membuat janji dengan ibuku. Aku tahu ibuku akan menolaknya karena aku masih harus belajar. Namun, aku tetap akan membuat janji.
Suasana kembali sedih, ketika kutahu salah seorang peserta acara menangis di tengah acara setelah mendapat setengah hadiah dari hadiah utamanya. Memang mengharukan rasanya.
Dibenakku tiba-tiba muncul pikiran aneh. Sedari dulu kutonton acara ini, tak pernah sekalipun ada pemenang yang memegang hadiah utama. Aneh, padahal hanya acara kuis….
Yasudahlah. Kalau memang serumit itu.
Aku segera mematikan TV dan langsung menyibakkan selimut di atas tubuhku . menyimpan energi baru, supaya kuat menghadapi rintangan esok hari tanpa rasa ragu. Selamat tidur, diriku.
***
Sekarang hari Minggu. Aku sudah ada di tempat acara yang mereka sebutkan padaku. Jam tanganku menunjukkan 16.45, lebih cepat lima belas menit dari bayanganku.
Yah, begitulah refleks dari seseorang yang punya harapan tinggi pada setiap langkahnya. Setiap langkah yang akan menentukan alur hidupnya. Sebab hidup tak seperti menggelindingkan dadu. Mungkin ada benarnya sedikit. Namun, memilih alur hidup di setiap langkah itu lebih masuk akal bagi diriku.
Lima belas menit berlalu. Tanpa melihat jam pun aku tahu .Karena seorang penanggung jawab acara datang memberitahukan waktu. Bersamaan kabar buruk karena bintang tamu belum tiba dan harus kami tunggu. Selama apapun itu.
Oke. Menunggu bintang tamu memang wajar. Mereka mungkin sibuk. Itu sudah pasti wajar.
Tunggu.
Aku sendiri bilang wajar. Tapi aneh. Mereka selalu telat tampil hanya karena bukan siaran langsung. Mereka juga selalu dianggap orang penting. Lalu, ketelatan mereka masih membuat mereka dijunjung tinggi.
Mungkin saja itu hak mereka setelah sekian lama bekerja keras. Diriku yang sekarang tidak akan tahu apa yang akan kurasakan saat menjadi orang terkenal.
Sudah satu jam waktu berputar. Bintang tamu masih belum memberi kabar. Kali ini aku sedikit bersabar. Karena bukan diriku saja yang ada di sini. Ada dua orang selainku yang juga terpilih sebagai peserta.
Sayangnya, mereka sibuk berkomunikasi satu sama lain. Aku tahu dari pakaian mereka, pakaian mereka lebih mencolok dari para petugas acara. Mereka juga berdua dari tadi di tempat yang sama.
Hingga salah satu dari mereka memandangku. Aku pun mengalihkan pandanganku ke arah pintu. Berharap acara akan segera dimulai.
Peserta selainku sepertinya seumuran denganku. Dari wajah mereka, aku merasa mengenal mereka sebagai anak kuliaha. Entah di mana kuliahnya. Meski mereka berdua perempuan dan hanya aku peserta pria saat ini.
Seseorang menghampiriku. Langkah demi langkah. suara ketukan sepatu yang semakin mengeras di telingaku. Aku yakin mereka akan mengajakku berkomunikasi bersama.
“Hai, apa kabar?” sapa perempuan itu. Aku pun menatapnya, “Baik.”
“Namamu Rangga, kan?” tanyanya. “Iya.”
Aku tidak akan kaget hanya karena dia tahu namaku. Petugas acara sudah memberitahukan daftar peserta dan urutannya kepadaku (urutan terakhir). Mereka harusnya juga diberitahu.
“Namaku Cin─”
“Cindy, kan?” sela-ku. “Kok tau, sih.” Dengan wajah yang sedikit kesal.
Dia menutupi fakta kalau setiap peserta diberi daftar dan urutan peserta lain. Namun, aku sebenarnya cuma asal menebak nama dari dua perempuan ini.
“Kita ngobrol bareng di sana, yuk!” ajaknya “Oke.”
Di tempat mereka berkomunikasi tadi, sosok perempuan yang lain bernama Dita sedang bermain HP dengan senyumnya.
Setelah aku dan Cindy duduk bersamaan, aku yakin alur pembicaraan ini dibuka dengan perkenalan.
“Ta, ini loh cowok yang tadi,” ucap Cindy. “Oh, maaf Cin, aku gak sadar.”
“Rangga, ini temanku, Dita.”
“Hai, apa kabar?” sapa Dita. “baik.”
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Cindy memandangiku seperti akan memberi pertanyaan langsung. Aku berpikir dia akan bertanya antara status tentangku ataupun acara ini.
Ternyata ….
“Ga, antara aku dan Dita cantikan mana?” tanyanya secara mendadak.
Lah, aku tidak pernah kepikiran akan ditanya tentang pertanyaan itu di awal pembicaraan. Wajahku memerah dan langsung menatap Dita mengisyaratkan apa maksudnya ini.
“Lah, Cin. Emang, cara mencairkan suasana menurutmu, kayak gini?” protes Dita. “Terus gimana, Ta?” timpalnya.
“Maaf, ga. Kami Cuma ingin menghibur kamu biar tidak tegang di acara.” Dita mencoba menenangkan suasana.
Aku tersentuh. Mereka mungkin sudah melirikku yang hanya diam duduk merenung tadi. Aku merasakan cahaya senyuman mereka yang merasuki pikiranku. Aku lupa kalau aku juga butuh hiburan.
“Ga, kamu sekarang kuliah, ya?” tanya Dita. “Iya,” jawabku. “Iya. Kalau kalian?”
Cindy dan Dita saling tersenyum.
“Aku juga kuliah sama seperti Dita,” celetuk Cindy. “Berarti, kita sama-sama mahasiswa, dong!” seru Dita.
Percakapan yang berlanjut sangat lama itu memakan waktu yang sangat banyak. Hampir dua jam berlalu sangat singkat. Banyak informasi yang kudapat dari mereka. Tidak sedikit pula gurauan dari mereka membuat percakapan kami bertahan lama penuh canda.
Dua jam itu pula, kami tidak merasa panik meski acara masih belum dimulai. Mereka sempat juga mengutarakan keinginan saat mendapat hadiah utama nanti. Selain itu, yang kutahu dari sifat mereka, kalau Cindy sering to the point, kalau Dita selalu santai.
Percakapan masih berlanjut hingga satu pertanyaan dari Cindy terlontar.
“Nah, Ga. Kita kan udah ngobrol bareng sampai akrab,” ucap Cindy. “Iya. Memang ada apa?” tanyaku.
“Mulai dari kita bertemu sampai detik ini, jawab dengan jujur, Ga!” tegas Cindy.
“…” Aku terdiam beberapa saat. “Mulai, nih,” cetus Dita.
“Ga, antara aku dan Dita cantikan mana?” tanyanya untuk kedua kalinya.
Aku masih terkejut, meski tahu dia akan menanyakan itu kembali. Aku membalasya dengan senyuman, tapi Cindy masihsaja tidak melepaskan pandangannya dariku. Berharap namanya kusebut.
Aku mengarahkan jari telunjuk ke atas dan …
“Eh, lihat! Bintang tamunya sudah datang!” tunjuk Dita.
Aku kaget ucapanku disela tiba-tiba, tapi tak apalah. Yang penting, acara ini segera dimulai. Maka dari itu, aku siap melangkah ke depan kapanpun itu.
Baiklah. Perjalanan dimulai.
***
Acara kuis ini dihadiri oleh ratusan penonton, meski kudengar beberapa dari mereka adalah penonton bayaran. Puluhan panitia tampak bergegas menjalankan tugasnya dengan tegas. Pembawa acara dan bintang tamu memasuki panggung acara dengan penuh sorakan penonton.
Kali ini, kami diberi sedikit tata cara umum saat tampil di kamera. Hingga salah seorang petugas acara menghampiri pemandu kami.
“Pak, kita kelupaan satu hal,” bisiknya sambil menyodorkan selembar kertas prosedur.
Pemandu kami terdiam sambil menatap lamat-lamat kertas itu.
“Ah, saya lupa belum beritahu kalian,” ucapnya terkejut. “Sekarang, acara kami sudah menjalankan serinya yang ke-100.”
Kamki bingung ingin bicara apa. Namun, aku juga baru sadar acara TV yang kutonton selama ini sudah masuk seri yang keseratusnya.
“Kalian akan bermain bersama. Tangga, Cindy, dan Dita akan bermain dalam satu tim,” kata pemandu. “jadi, hadianya berkurang dong, pak!” protes Cindy.
“Tenang, justru karena acara kali ini masuk edisi spesial, hadiah utamanya akan meningkat menjadi 500 juta,” ujar pemandu.
Mata kami berbinar-binar hingga wajah kami saling pandang-memandang. Tak kusangka acara ini akan lebih meriah dari yang kuduga.
Kami pun menaiki panggung acara. Ratusan sorot mata hingga kamera tertuju pada kami bertiga saat menapaki lorong masuk. Bahkan jantungku juga berdegup kencang tanpa kusadari.
Prosedur demi prosedur kami jalani.
Perkenalan, tanya jawab, hingga tujuan. Kuis pun dimulai.
Satu demi satu kuis pertanyaan diajukan.
Kami bertiga saling berpikir bertukar pendapat satu sama lain.
Satu demi satu kuis terjawab tanpa ragu.
Diiringi sorakan dan tepuk tangan penonton yang sangat riuh.
Waktu demi waktu terlewat seperti debu.
Suasana yang begitu seru sampai setengah jam berlalu
Kuis terakhir pun sampai di depan mataku.
Janji ibuku turut terlintas di kepalaku dengan sedikit haru.
Tubuhku bergetar takut, sampai kakiku kaku.
Kuis yang rumit ini hampir membuatku membeku.
Secercah cahaua keluar dari mulut Cindy.
Dia menjawab pertanyaan terakhir dengan penuh percaya diri.
Suasana hening tanpa kedipan mata.
Hingga pembawa acara pun mulai berbicara dengan nada kecewa.
“Yah, selamat …,” ucap pembawa acara. “Kalian berhasil membawa pulang hadiah 500 jutanya, selamat!”
Penonton bergemuruh penuh sorakan dan tepukan tangan. Nada kemeriahan tertumpah berceceran. Bendera kemenangan dibentangkan besar-besaran. Cindy dan Dita melompat senang juga kegirangan. Sedangkan aku, malah tersujud menangis menumpah perasaan.
Cindy dan Dita datang menghampiriku. Mereka menuntunku berdiri lalu memelukku. Menenangkan jiwaku yang sudah lama berlika-liku. Tanpa kutahu juga kumemeluk mereka. Tiga orang yang begitu bahagia membuat haru seisi acara.
***
Satu bulan telah berjalan. Ibuku bahagia karena penyakitnya terselamatkan. Dita pergi ke luar negeri menuntut kuliah di Singapura. Cindy menyumbangkan uangnya ke pabrik milik ayahnya. Sedangkan aku menyimpan uangku di bank untuk masa depan.
Sekarang, aku berada di taman bersama … sesorang yang sudah kukenal selama sebulan ini. Yap, Cindy. Aku berhasil mengutarakan perasaanku setelah acara kuis itu usai sebulan lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H