Mohon tunggu...
Ia Sitti aisah
Ia Sitti aisah Mohon Tunggu... Guru - Guru DTA Bunyanul Hasan

Menulis puisi, menonton dan menulis naskah pidato

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kepemimpinan Perempuan dalam Qs. An-Nisa Ayat 34 Berdasarkan Tafsir Al-Misbah dan Tafsir Ibnu Katsir

22 Mei 2024   19:04 Diperbarui: 22 Mei 2024   19:09 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepemimpinan perempuan adalah sebuah isu yang selalu menarik perhatian dan menjadi subjek perdebatan dalam masyarakat. Hal ini juga relevan dalam konteks agama, terutama dalam Islam, di mana peran perempuan dalam kepemimpinan seringkali menjadi perbincangan yang hangat. 

Dalam kaitannya dengan pemahaman agama, Surah An-Nisa ayat 34 dalam Al-Qur'an sering dijadikan sebagai sumber utama untuk memahami peran dan kedudukan perempuan dalam kepemimpinan. Ayat ini menyatakan bahwa "Lelaki adalah pemimpin bagi wanita," dan pernyataan ini telah menjadi titik fokus dalam penafsiran dan pemahaman ajaran Islam seputar kepemimpinan perempuan.

Pentingnya pemahaman terhadap Surah An-Nisa ayat 34 terletak pada interpretasi dan penafsiran yang beragam yang muncul dari para ulama dan peneliti. Beberapa pandangan menekankan bahwa ayat ini mengandung aspek-aspek sosial dan kontekstual yang perlu dipertimbangkan dalam pemahaman kepemimpinan, sehingga jenis kelamin bukanlah faktor tunggal dalam menentukan kualifikasi seorang pemimpin. 

Di sisi lain, ada pandangan yang lebih tekstual yang mengartikan ayat ini secara harfiah, menegaskan bahwa laki-laki secara inheren memiliki peran yang lebih dominan dalam kepemimpinan. Oleh karena itu, penelitian terkait tafsir dan pemahaman ayat ini sangat penting untuk menghadirkan perspektif yang lebih mendalam dan komprehensif tentang peran perempuan dalam kepemimpinan dalam kerangka ajaran Islam.

Sejumlah penelitian terdahulu yang relevan dengan topik kepemimpinan perempuan dalam Islam telah memberikan wawasan yang berharga. Sebagai contoh, penelitian oleh Kamaruddin Amin, dkk (2017) menginvestigasi pemahaman masyarakat Muslim tentang kepemimpinan perempuan dalam konteks Malaysia dan menemukan bahwa mayoritas responden mendukung partisipasi perempuan dalam kepemimpinan asalkan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. 

Penelitian oleh Hidayah Shahid (2019) berfokus pada pemahaman ulama dan sarjana Islam terkait dengan peran perempuan dalam kepemimpinan dan menyoroti bahwa interpretasi ayat-ayat seperti Surah An-Nisa, ayat 34, dapat bervariasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perspektif agama dan konteks sosial memainkan peran penting dalam pemahaman tentang kepemimpinan perempuan dalam Islam (Amin et al., 2017; Shahid, 2019).

Dalam konteks sosial yang terus berubah, pemahaman tentang kepemimpinan perempuan dalam Islam menjadi semakin penting. Penelitian dan analisis yang cermat terhadap ayat-ayat Al-Qur'an seperti Surah An-Nisa ayat 34, serta pandangan dari berbagai tafsir dan ulama, membantu menguraikan keragaman pandangan dan memberikan landasan bagi pemahaman yang lebih inklusif dan kontekstual tentang peran perempuan dalam kepemimpinan dalam Islam.

Tafsir Al-Misbah dan Ibnu Katsir adalah dua sumber penting dalam pemahaman terhadap ayat tersebut. Dalam beberapa dekade terakhir, penelitian terkait tafsir Al-Qur'an dan peran perempuan dalam Islam telah semakin berkembang, dan pandangan yang berbeda dari berbagai tafsir dan ulama telah menjadi fokus perhatian. Penelitian ini akan menjelaskan pandangan Al-Qur'an terhadap kepemimpinan perempuan berdasarkan Surah An-Nisa ayat 34, serta membandingkannya dengan interpretasi yang diberikan oleh Al-Misbah dan Ibnu Katsir.

Dalam konteks pemahaman Surah An-Nisa ayat 34, Quraish Shihab menekankan pendekatan kontekstual yang mempertimbangkan aspek-aspek sosiologis. Baginya, kepemimpinan tidaklah bergantung pada jenis kelamin, melainkan pada kompetensi individu. Kepemimpinan bisa tercapai jika individu memiliki kualifikasi dan kemampuan yang diperlukan, tanpa memandang jenis kelamin. Namun, Ibnu Katsir lebih cenderung pada pendekatan tekstual, di mana ayat ini diinterpretasikan secara harfiah. Baginya, ayat tersebut menyiratkan bahwa laki-laki memiliki peran yang lebih dominan dalam kepemimpinan karena dianggap lebih afdal dibandingkan perempuan

Sekilas tentang Kitab Tafsir Ibnu Katsir

Nama pengarang kitab Ibnu Katsir adalah Ibnu Katsir. Nama lengkapnya adalah Syekh al- Imam al-Hafidz Abu al-Fida Imaduddin Ismail bin Umar Katsir bin Dhau bin Katsir al-Qurasy al-Dimasyqi. Mengenai tahun kelahiran Ibnu Katsir terdapat banyak perbedaan dikalangan penulis. Ada yang mengatakan bahwa Ibnu Katsir lahir pada tahun 700 H/ 1300 M. Ada juga yang berpendapat bahwa Ibnu Katsir lahir pada tahun 700 H/ 1301 M.140 Bahkan menurut Az-Zarqani menyatakan bahwa Ibnu Katsir lahir pada tahun 705 H/ 1305 M. Ibnu Katsir dilahirkan di desa Mijdal dalam wilayah Bushara (Bashrah). 

Oleh karena itu beliau mendapat predikat "albusharawi" (orang Bushra). (Khursyid, 2019, hal. 219) Ayahnya bernama Syihab al-Din Abu Hafsh Amr Ibnu Katsir bin Dhaw ibnu Zara al-Qurasyi yang merupakan salah satu ulama terkemuka dimasanya. Beliau pernah mendalami madzhab Hanafi, kendatipun menganut madzhab Syafii setelah menjadi khatib di Bushra. Ibnu Katsir berkata dalam biografi ayahnya bahwa ayahnya wafat pada tahun 703 H ketika beliau berusia tiga tahun. Setelah ayahnya wafat, Ibnu katsir dibawa kakaknya (kamal al-Din Abd al-Wahhab) dari desa kelahirannya ke Damaskus. Di kota inilah ia tinggal hingga akhir hayatnya. Karena perpindahan ini, beliau mendapat predikat al-dimasyqi (orang Damaskus).  (Maswan, 2002, hal. 35)

Ibnu Katsir adalah seorang ulama yang dari segi pengetahuannya tidak dapat diragukan lagi. Beliau juga sangat produktif dalam menulis karyanya dari berbagai disiplin ilmu-ilmu pengetahuan. Hal ini terbukti dengan karya-karyanya yang masih eksis sampai sekarang dan banyak dikaji oleh kalangan umat islam baik dibidang fiqh, sejarah, hadits dan tafsir. Salah satu karya Ibnu Katsir adalah Tafsir al-Quran al-Azhim, lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibnu Katsir. Diterbitkan pertama kali dalam 10 jilid, pada tahun 1342 H/ 1923 M di Kairo. Fadhil Al-Quran, berisi ringkasan sejarah al-quran. Kitab ini ditempatkan pada halaman akhir Tafsir Ibnu Katsir. (Maswan, 2002, hal. 43-44)

Sekilas tentang Kitab Tafsir Al-Mishbah

Tafsir Al-Mishbah merupakan sebuah tafsir yang menafsirkan al-quran lengkap tiga puluh juz sebanyak lima belas jilid yangdi karang oleh Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil "nyantri" di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah. Pada 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar.Pada 1967, dia meraih gelar LC (S-I) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits Unifersitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Quran dengan tesis berjudul Al-Ijaz Al-Tasyriiy li Al-Quran Al-Karim. (Shihab, 1994, hal. 6)

Al-Qur'an Surah An-Nisa ayat 34

Para-lelaki adalah qawwamun atas para wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh, ialah yang taat, memelihara diri ketika ia tidak di tempat, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan tinggalkanlah mereka di tempat-tempat pembaringan, dan pukullah mereka. Lalu jika mereka telah menaati kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Munasabah 

Ayat-ayat yang lalu (ayat 32) melarang iri hati terhadap seseorang yang memperoleh karunia lebih banyak, kemudian menyuruh agar semua harta peninggalan diberikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya, menurut bagiannya masing-masing. Ayat ini menerangkan alasan laki-laki dijadikan pemimpin kaum perempuan, dan cara-cara menyelasaikan perselisihan suami istri. (RI, 2009, hal. 162)

Asbabun Nuzul

Pada suatu waktu datanglah seorang lelaki dari kalangan sahabat anshar menghadap Rasulullah saw bersama istrinya. Istrinya mengadu kepada Rasulullah saw: "Wahai Rasulullah, suamiku ini telah memukul mukaku sehingga terdapat bekas luka". Rasulullah saw bersabda: "Suamimu tidak hak untuk melakukan demikian. Dia harus diqishash". Sehubungan dengan keputusan rasulullah saw tersebut, Allah swt menurunkan ayat ke-34 dan 35 sebagai ketegasan hukum, bahwa seorang suami berhak untuk mendidik istrinya. Dengan demikian hukum qishash yang dijatuhkan rasulullah saw itu gugur, tidak jadi dilaksanakan. (HR. Ibnu Marduwaih dan Ali binAbi Thalib). (Mahalli, 2002, hal. 224)

Penafsiran Surat An-Nisa ayat 34 Menurut M. Quraish Shihab

Kata ar-rijal adalah bentuk jamak dari kata rajul yang bisa diterjemahkan lelaki, walaupun al-qur'an tidak selalu menggunakannya dalam arti tersebut. Banyak ulama yang memahami kata ar-rijal dalam ayat ini dalam arti para suami. M Quraish Shihab mendukung pendapat tersebut dan beliau menyatakan bahwa ar-rijali qawwamuna ala an-nisa; bukan berarti lelaki secara umum karena konsideran pernyataan seperti yang ditegaskan pada lanjutan ayatnya adalah "karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta mereka," yakni untuk istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksud dengan kata "lelaki" adalah kaum pria secara umum, tentu konsiderannya tidak demikian. Lebih-lebih lagi lanjutan ayat tersebut dan ayat berikutnya secara amat jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah tangga. Tetapi kemudian, M. Quraish Shihab menemukan Muhammad Thahir bin Asyur dalam tafsirnya mengemukakan satu pendapat yang amat perlu dipertimbangkan, yaitu bahwa kata ar-rijal tidak digunakan oleh bahasa Arab, bahkan bahasa Al-Qur'an, dalam arti suami. Berbeda dengan kata an-nisa atau imraah yang digunakan untuk makna istri. Menurutnya, penggalan awal ayat di atas berbicara secara umum tentang pria dan wanita, dan berfungsi sebagai pendahuluan bagi penggalan kedua ayat ini, yaitu tentang sikap dan sifat istri-istri yang shalehah. (M. Quraish Shihab, 2002, hal. 511)

Kata qawawmun adalah bentuk jamak dari kata qawwam yang terambil dari kata qama. Sering kali kata ini diterjemahkan dengan pemimpin. Namun, jika dilihat dari segi terjemahannya belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki. Meskipun harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu aspek yang dikandungnya. Kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan yang tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan. Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan suatu yang mutlak, lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama dan merasa memiliki pasangan dan keluarganya. Persoalan yang dihadapi suami istri, sering kali muncul seketika, tapi boleh jadi sirna seketika. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin. Kemudian Allah swt menetapkan lelaki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok yaitu:

Pertama, (karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain), yakni masing-masing memiliki keistimewaan-keistimewaan. Tetapi, keistimewaan yang dimiliki lelaki lebih menunjang tugas kepemimpinan dari pada keistimewaan yang dimiliki perempuan. Di sisi lain, keistimewaan yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada lelaki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Sejak dahulu, orang menyadari adanya perbedaan antara pria dan wanita dari segi psikis. Secara umum, laki-laki lebih cendrung kepada olahraga, berburu, pekerjaan yang melibatkan gerakan dibanding wanita. Laki-laki secara umum cenderung kepada tantangan dan perkelahian, sedangkan perempuan cenderung kepada kedamaian dan keramahan. Laki-laki lebih agresi dan suka rebut, sementara wanita lebih tenang dan tentram.

Perasaan wanita lebih cepat bangkit dari laki-laki sehingga sentiment dan rasa takutnya segera muncul, berbeda dengan laki-laki yang biasanya lebih berkepala dingin. Disisi lain, perasaan perempuan secara umum kurang konsisten disbanding dengan laki-laki. Perempuan lebih berhati-hati, lebih tekun beragama, cerewet, takut dan lebih banyak berbasa-basi. 

Perasaan perempuan lebih keibuan, ini jelas tampak sejak kanak-kanak. Cintanya kepada keluarga serta kesadarannya tentang kepentingan lembaga keluarga lebih besar dari pada laki-laki. Psikolog wanita, Cleo Dalon, menemukan dua hal penting pada wanita sebagaimana dikutip oleh Murtadha Muthahhari dalam bukunya, Nizham Huquq al-Marah sebagai berikut: 1. Wanita lebih suka bekerja di bawah pengawasan orang lain. 2. 

Wanita ingin merasakan bahwa ekspresi mereka mempunyai pengaruh terhadap orang lain serta menjadi kebutuhan orang lain. Psikolog wanita itu kemudian merumuskan bahwa kedua kebutuhan psikis ini bersumber dari kenyataan bahwa perempuan berjalan di bawah pimpinan perasaan, sedangkan laki-laki dibawah pertimbangan akal. Kelemahan utama wanita adalah pada perasaannya yang sangat halus. Lelaki berpikir secara praktis, menetapkan, mengatur, dan mengarahkan. Wanita harus menerima kenyataan bahwa mereka membutuhkan kepemimpinan lelaki.

 Perlu dicatat bahwa, walaupun secara umum pendapat diatas sejalan dengan petunjuk ayat yang sedang ditafsirkan ini, adalah sewajarnya untuk tidak menilai perasaan wanita yang sangat halus itu sebagai kelemahan. Justru itulah salah satu keistimewaan yang tidak kurang dimiliki oleh pria. Keistimewaan itu sangat dibutuhkan oleh keluarga, khususnya dalam rangka memelihara dan membimbing anak-anak.     

Kedua, (disebabkan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka). Kata ini merupakan bentuk kata kerja masa lampau yang menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi suatu kelaziman bagi lelaki serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga kini. Dalam konteks kepemimpinan dalam keluarga, alasan yang kedua inilah lebih logis. Bukankah dibalik setiap kewajiban ada hak? Bukankah yang membayar memperoleh fasilitas? Tetapi, pada hakikatnya, ketetapan ini bukan hanya di atas pertimbangan materi. 

Secara psikologis wanita enggan diketahui membelanjai suaminya bahkan kekasihnya, di sisi lain pria malu jika ada yang mengetahui bahwa kebutuhan hidupnya ditanggung oleh istrinya. Karena itu, agama Islam yang tuntunan-tuntunannya sesuai dengan fitrah manusia, mewajibkan suami untuk menanggung biaya hidup istri dan anak-anaknya. 

Dalam konteks pemenuhan kebutuhan istri secara eksterm dan berlebihan, pakar hukum Islam, Ibn Hazm, berpendapat bahwa wanita pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suaminya dalam hal menyediakan makanan, menjahit dan sebagainya. Justru sang suamilah yang berkewajiban menyiapkan untuk istri dan anak-anaknya pakaian jadi dan makanan yang siap dimakan.

Kedua faktor yang telah disebutkan diatas yakni keistimewaan fisik dan psikis serta kewajiban memenuhi kebutuhan, maka lahirlah hak suami yang harus dipenuhi oleh istri. Istri wajib taat pada suami dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama dan juga hak pribadi istri. Kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada suami tidak boleh mengantarnya kepada sewenang-wenangan. Akan tetapi harus melakukan musyawarah sebagai solusi untuk menyelesaikan setiap persoalan, termasuk persoalan yang dihadapi dalam keluarga. Kalau titik temu dalam musyawarah tidak diperoleh dan kepemimpinan suami yang harus ditaati dihadapi oleh istri dengan nusyuz, keangkuhan, dan pembangkangan, ada tiga langkah yang dinajurkan untuk ditempuh suami mempertahankan mahligai pernikahan.

Ketiga langkah tersebut adalah nasehat, menghindari hubungan seks dan memukul. Langkah yang ketiga "memukul" dalam arti "menyakiti". Jangan diartikan sebagai sesuatu yang terpuji. Rasulullah mengingatkan agar "Jangan memukul wajah dan jangan pula menyakiti". Dan beliau pun juga pernah bersabda, "Tidakkah kalian malu memukul istri kalian, seperti memukul keledai?" Malu bukan saja karena memukul, tetapi juga malu karena gagal mendidik dengan nasehat dan cara lain. Sementara ulama memahami perintah menempuh langkah pertama dan kedua di atas ditujukan kepada suami, sedangkan langkah ketiga yakni memukul ditujukan kepada penguasa. Atas dasar ini ulama besar, Atha, berpendapat bahwa suami tidak boleh memukul istrinya, paling tinggi hanya memarahinya. Ibn al-Arabi mengomentari pendapat Atha itu dengan berkata, "Pemahamannya itu berdasar adanya kecaman Nabi saw. kepada suami yang memukul istrinya, seperti sabda beliau: "Orang-orang terhormat tidak memukul istrinya".  (M. Quraish Shihab, 2002, hal. 518)

Sejumlah ulama sependapat dengan Atha dan menolak atau memahami secara metafora hadits-hadits yang membolehkan suami memukul istrinya. Betapapun kalau ayat ini dipahami sebagai izin memukul istri bagi suami harus dikaitkan dengan hadist-hadist Rasul saw. di atas yang mensyaratkan tidak mencederainya, tidak juga pukulan itu ditujukan kepada kalangan yang menilai pemukulan sebagai suatu penghinaan atau tindakan yang tidak terhormat. Untuk masa kini dan dikalangan terpelajar, pemukulan bukan lagi satu cara yang tepat. Karena itu, tulis Muhammad Thahir Ibn Asyur, "Pemerintah jika mengetahui bahwa suami tidak dapat menempatkan sanksi-sanksi agama ini di tempat yang semestinya dan tidak mengetahui batas-batas yang wajar, dibenarkan bagi pemerintah untuk menghentikan sanksi ini dan mengumumkan bahwa siapa yang memukul istrinya maka dia akan dijatuhi hukuman. Ini agar tidak berkembang luas tindakan-tindakan yang merugikan istri, khususnya dikalangan mereka yang tidak memiliki moral". (M. Quraish Shihab, 2002, hal. 520-521)

Penafsiran Surat An-Nisa ayat 34 Menurut Ibnu Katsir

Menurut Ibnu Katsir, laki-laki adalah pengurus wanita, yakni pemimpinnya, kepalanya, yang menguasai, dan yang mendidiknya jika menyimpangnya. Kepemimpinan seorang laik-laki atas istrinya didasarkan atas dua alasan. Pertama, karena kaum laki-laki lebih afdhal daripada kaum wanita, seorang lelaki lebih baik daripada seorang wanita, karena itulah nubuwwah (kenabian) hanya khusus bagi kaum laki-laki. Demikian pula seorang raja. Pendapat ini diperkuat dengan sabda Nabi saw:

Artinya: Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusan mereka dipegang oleh seorang wanita.

Kedua, karena kaum laki-laki telah menafkahkan sebagian hartanya berupa mahar (mas kawin), nafkah, dan biaya-baiya lainnya yang diwajibkan oleh Allah kepada kaum laki-laki. Laki-laki mempunyai keutamaan di atas wanita, dan juga laki-lakilah yang memberikan keutamaan kepada wanita. Maka sangatlah sesuai bila dikatakan bahwa lelaki adalah pemimpin wanita. Seperti yang disebutkan dalam ayat lain, yaitu:

Artinya: Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.

Menurut Ali Ibnu Abu Talhah yang dimaksud  adalah seorang istri diharuskan taat kepada suaminya dalam hal-hal yang diperintahkan oleh Allah. Taat kepada suami ialah dengan berbuat baik kepada keluarga suami dan menjaga harta suami. Hal yang sama dikatakan oleh Muqatil, As-Saddi, dan Ad-Dahhak.

Al-Hasan Al-Basri meriwayatkan bahwa ada seorang istri datang kepada Nabi Muhammad saw. mengadukan perihal suaminya yang telah menamparnya. Maka Rasulullah bersabda, "Balaslah!". Maka Allah swt menurunkan firmannya: "Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34). Akhirnya si istri kembali kepada suaminya tanpa ada qishas. Sehubungan dengan ayat ini, yaitu firman-Nya: "kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum, wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Yaitu berupa mas kawin yang diberikan oleh laki-laki kepadanya. Seandainya si suami menuduh istrinya berzina, maka si suami telah melakukan mulaanah terhadapnya (dan bebas dari hukuman had). Tetapi jika si istri menuduh suaminya berbuat zina, si istri dikenai hukuman dera. Oleh sebab itu. Wanita yang shalehah adalah mereka yang taat kepada suaminya. Menurut As-Sadi dan lainnya, yang dimaksud wanita shalehah adalah wanita yang memelihara kehormatan dirinya dan harta benda suaminya di saat suaminya tidak ada di tempat.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa rasulullah saw, pernah bersabda: "Sebaik-baik wanita ialah seorang istri yang apabila kamu melihat kepadanya, membuatmu gembira. Dan apabila kamu memerintahkannya, maka ia menaatimu. Dan apabila kamu pergi meninggalkannya, maka ia memelihara kehormatan dirinya dan hartamu". Imam Ahmad mengatakan bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Seorang wanita itu apabila mengerjakan shalat lima waktunya, puasa bulan ramadhannya, memelihara kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya, "Masuklah kamu ke dalam surga dari pintu mana pun yang kamu sukai". (Katsir, 1388 H, hal. 491)

Apabila timbul tanda-tanda nusyuz pada diri si istri, wanita yang bersikap sombong, tidak mau melakukan perintah suaminya, berpaling darinya, maka hendaklah si suami menasihati dan menakutinya dengan siksa Allah. Dan apabila si istri tetap membangkang, hendaklah suami berpisah ranjang. Menurut Ali Ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, yang dimaksud pisah ranjang adalah hendaklah suami tidak menyetubuhinya, tidak pula tidur bersamanya. Jika terpaksa tidur bersama, maka hendaklah suami memalingkan punggungnya. Apabila nasihat tidak bermanfaat dan pisah ranjang juga tidak ada hasilnya, maka suami boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai. Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud boleh memukul adalah pukulan yang tidak melukakan. Menurut Al-Hasan Al-Basri, yang dimaksud pukulan adalah pukulan yang tidak membekas. Ulama Fiqih mengatakan, yang dimaksud adalah pukulan yang tidak sampai mematahkan suatu anggota tubuh dan tidak membekas barang sedikitpun. Apabila seorang istri taat kepada suaminya sesuai dengan apa yang dikehendaki suaminya selama tidak bertentangan dengan Islam, maka suami tidak boleh menyusahkannya dan suami tidak boleh memukulnya, tidak boleh pula mengasingkannya. Jika mereka (para suami) berlaku aniaya terhadap istri-istrinya tanpa sebab, sesungguhnya Allah Maha tinggi lagi Mahabesar yang akan menolong para istri. Dialah yang akan membalas terhadap lelaki (suami) yang berani berbuat aniaya terhadap istrinya. Ini merupakan ancaman kepada lelaki (suami) yang menganiaya istrinya.

Analisis Substansi Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Mishbah

Dilihat dari segi isi penafsirannya terhadap ayat tentang kepempinan wanita dalam surat an-nisa ayat 34, M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah penafsirannya lebih banyak dari pada Tafsir Ibnu Katsir. Mengenai tafsir Al-Mishbah, M. Qurais Shihab mencantumkan pendapat-pendapat ilmuan dan hasil penelitian dari berbagai sumber bahkan dari orang non islam sekalipun, semua itu untuk memperkuat argument tafsir. Dalam menafsirkan ayat tersebut, beliau mengutip Murtadha Muthahari dan pakar psikolog, Cleo Dalon, dan Prof. Reek, untuk mendukung pendapatnya.

Didalamnya, M. Quraish Shihab banyak mengupas perbedaan laki-laki dan perempuan. Sedangkan dalam Tafsir Ibnu Katsir tidak menyebutkan pendapat-pendapat para pakar dalam menafsirkan ayat tersebut, hanya menyebutkan pendapat sahabat, tabiin dan ulama lainnya. Berdasarkan penafsiran Ibnu Katsir dan M. Quraish Shihab terhadap surat an-nisa ayat 34, dapat kita lihat bahwa keduanya sama-sama menjelaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Namun perbedaannya adalah terletak pada pertimbangan mereka dalam menyatakan hal tersebut. Ibnu Katsir menyatakan bahwa pertimbangan beliau yang menyatakan laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan adalah laki-laki lebih utama dari wanita dan laki-laki lebih baik dari wanita, karena itulah sifat nubuwwah hanya khusus bagi. kaum laki-laki dan begitu juga para raja yang agung.

Oleh karena itu, Ibnu Katsir melarang perempuan menjadi pemimpin, baik dalam sektor domestik ataupun ranah publik. Karena laki-laki dinilai lebih daripada perempuan, yaitu sebagai atasannya, pemimpinnya dan sebagai orang yang memperbaiki sikapnya jika ia melenceng. Pandangan ini juga diperkuat dengan hadist nabi, yaitu: "Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusan mereka dipegang oleh seorang wanita". Pertimbangan yang kedua adalah laki-laki (suami) mempunyai kewajiban untuk membayar mahar, nafkah dan biaya-biaya lainnya. Laki-laki (suami) juga mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada wanita (istri). Oleh karena itu, seorang istri harus taat kepada suami dengan berbuat baik kepada keluarga suami dan menjaga harta suami. Sedangkan dalam Tafsir Al-Mishbah, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan dengan dua pertimbangan.

Pertama, keistimewaan yang ada pada diri laki-laki baik secara fisik maupun psikologis, yang lebih menunjang tugas kepemimpinan. Kedua, karena laki-laki membelanjakan hartanya untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Ini menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi suatu kelaziman bagi laki-laki. Ayat ini tidaklah mengenai kepemimpinan laki-laki dalam segala hal (termasuk dalam sosial dan politik) atas perempuan, melainkan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga. Jika ayat ini dijadikan dalil tidak bolehnya perempuan untuk memimpin dalam ranah publik tidaklah tepat. Melihat konteks dan munasabah ayatnya yakni mengenai hubungan rumah tangga. M. Quraish Shihab juga menyatakan dalam buku yang lain bahwa kepemimpinan merupakan sebuah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar ia mengarah secara sadar dan sukarela ketujuan yang hendak dicapai. Kemampuan mempengaruhi ini bisa dilakukan oleh siapapun, termasuk perempuan. Sesungguhnya perempuan juga bisa menjadi pemimpin dalam rumah tangga secara tidak langsung ketika ia bisa mempengaruhi keputusan suami melalui musyawarah yang menyangkut kepentingan keluarga.

Oleh sebab itu, M. Quraish Shihab menganjurkan kepada para perempuan untuk terus memperbaiki kualitas dirinya dengan terus belajar supaya bisa mempengaruhi laki-laki dengan argumentasi yang logis dan ilmiah. Mengenai kepemimpinan M. Quraish Shihab tidak menentang jika seorang perempuan memang memiliki kemampuan untuk memimpin. Maka dari itu, sah-sah saja jika perempuan tersebut menjadi pimpinan sebuah komunitas atau kelompok, dengan syarat bahwa tugas pokoknya yakni memberikan kasih sayang kepada anak dan mendampingi suami tidak terabaikan.199 Perbedaan penafsiran antara Ibnu Katsir dan M. Quraish Shihab tentang kepemimpinan wanita, disebabkan oleh dimana mereka hidup dan tinggal.

Terlebih keduanya hidup di zaman yang jauh berbeda. Ibnu Katsir hidup pada abad klasik (ke-14 M), yang pada masanya belum terfikirkan untuk melihat ayat-ayat yang dibahas dalam perspektif gender. Bisa jadi karena faham baru tumbuh dan berkembang di Barat, sementara di dunia Islam, terutama di Timur Tengah, pengaruhnya relative belum dirasakan. Sehingga Ibnu Katsir pun tidak mencoba meninjau atau membandingkan penafsiran dengan perspektif feminisme. Sedangkan M. Quraish Shihab hidup di abad ke-20 hingga saat ini. Pada abad ini indonesia telah merdeka, dan beliau juga hidup pada masa dimana masa tersebut adalah masa peralihan dari fase pembebasan menuju kepemimpinan. Selain dilatar belakangi oleh perbedaan masa, perbedaan dalam menafsirkan ayat-ayat al-quran, juga dilatar belakangi oleh keilmuan yang ditekuni, perbedaan lain juga karena perbedaan tempat dimana budayanya juga berbeda, antara Damaskus dan Indonesia. Karena Al-Quran tidak menjelaskan secara eksplisit apa keunggulan laki-laki atas perempuan, maka penafsirannya pun jadi beragam dan kontroversial.

Para mufassir khususnya Ibnu Katsir sebagaimana yang telah diuaraikan sebelumnya mengemukakan beberapa kelebihan laki-laki sehingga wanita sangat dilarang untuk menjadi pemimpin dalam berbagai sektor. Kesenjangan seperti ini, menurut peniliti perlu melakukan reinterpretasi dan rekonstruksi terhadap konteks sosial sekarang ini. Hal ini Harus dilakukan melihat idealitas agama berjalan dalam realitas sosial atau sebaliknya. Melihat dari dua penafsir di atas, peniliti lebih kepada pemikiran asal Indonesia yaitu M. Quraish Shihab. Karena wanita masa kini sudah banyak yang memiliki skill dalam bidang kepemimpinan. Hal ini terbukti dengan adanya organisasi pemilu yang dipimpin oleh wanita. Selain hal tersebut, di dalam al-quran tidak ada dalil yang sangat jelas untuk melarang wanita terjun ke ranah publik. Bahkan dalam Al-Quran memberikan gambaran kesuksesan kepemimpinan wanita yaitu ratu Bilqis. Selain alasan tersebut di atas, mengapa peniliti lebih setuju dengan pendapat M. Quraish Shihab? Jika dianalisis secara kaedah bahasa arab, lafadz yang menggunakan "al" (alif lam) ini dikategorikan isim marifah (menunjukkan arti Khusus). Maka lafadz dan  adalah isim marifah yang menunjukkan orang tertentu. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan dalam ayat ini adalah laki-laki tertentu yaitu suami tidak mencakup semua laki-laki demikian juga yang dimakasud dengan lafadz dalam ayat ini adalah perempuan tertentu yaitu istri tidak mencakup samua perempuan.

Di samping itu juga, jika lafadz ini dikaitkan dengan kalimat sesudahnya (wa bima anfaqu min amwalihim) semakin kuat ayat ini dalam rangka membicarakan konteks keluarga sehingga lebih mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan arrizalu adalah suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga bukan sebagai pemimpin secara umum, termasuk pemimpin dalam mengelola negara, dan Annisau adalah istri sebagai anggota keluarga yang dipimpin. Jadi yang dimaksud kepemimpinan laki-laki dalam sektor domestik bukan kepemimpinan secara umum (publik).

Ibnu Katsir juga menjelaskan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh suami terhadap istri yang nusyuz. Pertama, suami harus menasehatinya dan menakutinya dengan siksa Allah apabila dia durhaka terhadap dirinya. Kedua, apabila langkah yang pertama tidak berhasil, maka suami harus memisahkan diri dari tempat tidurnya, tidak menyetubuhinya. Jika terpaksa tidur bersama, maka suami harus memalingkan punggungnya. Ketiga, jika langkah yang pertama dan yang kedua tidak berhasil, maka suami boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai, tidak sampai mematahkan suatu anggota tubuhpun dan tidak membekas sama sekali. Jika ketiga langkah tersebut belum juga berhasil, maka Allah menghalalkan bagi suami untuk menerima tebusan (khulu) dari istinya.

M. Qurais Shihab juga menjelaskan bahwa kepemimpinan yang dianugerahkan kepada laki-laki tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan. Akan tetapi harus melalui musyawarah dalam menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi dalam sebuah keluarga. Apabila titik temu dalam musyawarah tidak diperoleh dan kepemimpinan suami yang harus ditaati dihadapi oleh istri dengan nusyuz, ada tiga langkah yang harus ditempuh untuk mempertahankan mahligai pernikahan. Pertama, nasehat. Kedua, menghindari hubungan seks, artinya suami harus pisah ranjang, jika terpakasa tidur bersama maka tidak ada cumbu, tidak ada kata-kata manis dan tidak ada hubungan seks.

Akan tetapi, suami tidak boleh meninggalkan rumah, bahkan tidak meninggalkan kamar tempat suami istri biasanya tidur. Kejauhan dari pasangan yang sedang dilanda kesalahpahaman dapat memperlebar jurang perselisihan. Perselisihan hendaknya tidak diketahui oleh orang lain, karena semakin banyak yang mengetahui semakin sulit untuk memperbaiki, kalaupun kemudian ada keinginan untuk meluruskan benang kusut, boleh jadi harga diri dihadapan mereka yang mengetahuinya akan menjadi arah penghalang. Ketiga, memukul yang tidak mencederai. Jika ketiga langkah tersebut belum juga berhasil, langkah selanjutnya adalah apa yang diperintahkan ayat berikutnya, yaitu  mendatangkan seorang hakam dari keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Jika keduanya yakni suami dan istri atau kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya, yakni suami istri tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun