Kata ar-rijal adalah bentuk jamak dari kata rajul yang bisa diterjemahkan lelaki, walaupun al-qur'an tidak selalu menggunakannya dalam arti tersebut. Banyak ulama yang memahami kata ar-rijal dalam ayat ini dalam arti para suami. M Quraish Shihab mendukung pendapat tersebut dan beliau menyatakan bahwa ar-rijali qawwamuna ala an-nisa; bukan berarti lelaki secara umum karena konsideran pernyataan seperti yang ditegaskan pada lanjutan ayatnya adalah "karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta mereka," yakni untuk istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksud dengan kata "lelaki" adalah kaum pria secara umum, tentu konsiderannya tidak demikian. Lebih-lebih lagi lanjutan ayat tersebut dan ayat berikutnya secara amat jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah tangga. Tetapi kemudian, M. Quraish Shihab menemukan Muhammad Thahir bin Asyur dalam tafsirnya mengemukakan satu pendapat yang amat perlu dipertimbangkan, yaitu bahwa kata ar-rijal tidak digunakan oleh bahasa Arab, bahkan bahasa Al-Qur'an, dalam arti suami. Berbeda dengan kata an-nisa atau imraah yang digunakan untuk makna istri. Menurutnya, penggalan awal ayat di atas berbicara secara umum tentang pria dan wanita, dan berfungsi sebagai pendahuluan bagi penggalan kedua ayat ini, yaitu tentang sikap dan sifat istri-istri yang shalehah. (M. Quraish Shihab, 2002, hal. 511)
Kata qawawmun adalah bentuk jamak dari kata qawwam yang terambil dari kata qama. Sering kali kata ini diterjemahkan dengan pemimpin. Namun, jika dilihat dari segi terjemahannya belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki. Meskipun harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu aspek yang dikandungnya. Kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan yang tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan. Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan suatu yang mutlak, lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama dan merasa memiliki pasangan dan keluarganya. Persoalan yang dihadapi suami istri, sering kali muncul seketika, tapi boleh jadi sirna seketika. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin. Kemudian Allah swt menetapkan lelaki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok yaitu:
Pertama, (karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain), yakni masing-masing memiliki keistimewaan-keistimewaan. Tetapi, keistimewaan yang dimiliki lelaki lebih menunjang tugas kepemimpinan dari pada keistimewaan yang dimiliki perempuan. Di sisi lain, keistimewaan yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada lelaki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Sejak dahulu, orang menyadari adanya perbedaan antara pria dan wanita dari segi psikis. Secara umum, laki-laki lebih cendrung kepada olahraga, berburu, pekerjaan yang melibatkan gerakan dibanding wanita. Laki-laki secara umum cenderung kepada tantangan dan perkelahian, sedangkan perempuan cenderung kepada kedamaian dan keramahan. Laki-laki lebih agresi dan suka rebut, sementara wanita lebih tenang dan tentram.
Perasaan wanita lebih cepat bangkit dari laki-laki sehingga sentiment dan rasa takutnya segera muncul, berbeda dengan laki-laki yang biasanya lebih berkepala dingin. Disisi lain, perasaan perempuan secara umum kurang konsisten disbanding dengan laki-laki. Perempuan lebih berhati-hati, lebih tekun beragama, cerewet, takut dan lebih banyak berbasa-basi.Â
Perasaan perempuan lebih keibuan, ini jelas tampak sejak kanak-kanak. Cintanya kepada keluarga serta kesadarannya tentang kepentingan lembaga keluarga lebih besar dari pada laki-laki. Psikolog wanita, Cleo Dalon, menemukan dua hal penting pada wanita sebagaimana dikutip oleh Murtadha Muthahhari dalam bukunya, Nizham Huquq al-Marah sebagai berikut: 1. Wanita lebih suka bekerja di bawah pengawasan orang lain. 2.Â
Wanita ingin merasakan bahwa ekspresi mereka mempunyai pengaruh terhadap orang lain serta menjadi kebutuhan orang lain. Psikolog wanita itu kemudian merumuskan bahwa kedua kebutuhan psikis ini bersumber dari kenyataan bahwa perempuan berjalan di bawah pimpinan perasaan, sedangkan laki-laki dibawah pertimbangan akal. Kelemahan utama wanita adalah pada perasaannya yang sangat halus. Lelaki berpikir secara praktis, menetapkan, mengatur, dan mengarahkan. Wanita harus menerima kenyataan bahwa mereka membutuhkan kepemimpinan lelaki.
 Perlu dicatat bahwa, walaupun secara umum pendapat diatas sejalan dengan petunjuk ayat yang sedang ditafsirkan ini, adalah sewajarnya untuk tidak menilai perasaan wanita yang sangat halus itu sebagai kelemahan. Justru itulah salah satu keistimewaan yang tidak kurang dimiliki oleh pria. Keistimewaan itu sangat dibutuhkan oleh keluarga, khususnya dalam rangka memelihara dan membimbing anak-anak.   Â
Kedua, (disebabkan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka). Kata ini merupakan bentuk kata kerja masa lampau yang menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi suatu kelaziman bagi lelaki serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga kini. Dalam konteks kepemimpinan dalam keluarga, alasan yang kedua inilah lebih logis. Bukankah dibalik setiap kewajiban ada hak? Bukankah yang membayar memperoleh fasilitas? Tetapi, pada hakikatnya, ketetapan ini bukan hanya di atas pertimbangan materi.Â
Secara psikologis wanita enggan diketahui membelanjai suaminya bahkan kekasihnya, di sisi lain pria malu jika ada yang mengetahui bahwa kebutuhan hidupnya ditanggung oleh istrinya. Karena itu, agama Islam yang tuntunan-tuntunannya sesuai dengan fitrah manusia, mewajibkan suami untuk menanggung biaya hidup istri dan anak-anaknya.Â
Dalam konteks pemenuhan kebutuhan istri secara eksterm dan berlebihan, pakar hukum Islam, Ibn Hazm, berpendapat bahwa wanita pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suaminya dalam hal menyediakan makanan, menjahit dan sebagainya. Justru sang suamilah yang berkewajiban menyiapkan untuk istri dan anak-anaknya pakaian jadi dan makanan yang siap dimakan.
Kedua faktor yang telah disebutkan diatas yakni keistimewaan fisik dan psikis serta kewajiban memenuhi kebutuhan, maka lahirlah hak suami yang harus dipenuhi oleh istri. Istri wajib taat pada suami dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama dan juga hak pribadi istri. Kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada suami tidak boleh mengantarnya kepada sewenang-wenangan. Akan tetapi harus melakukan musyawarah sebagai solusi untuk menyelesaikan setiap persoalan, termasuk persoalan yang dihadapi dalam keluarga. Kalau titik temu dalam musyawarah tidak diperoleh dan kepemimpinan suami yang harus ditaati dihadapi oleh istri dengan nusyuz, keangkuhan, dan pembangkangan, ada tiga langkah yang dinajurkan untuk ditempuh suami mempertahankan mahligai pernikahan.