Mohon tunggu...
Ia Sitti aisah
Ia Sitti aisah Mohon Tunggu... Guru - Guru DTA Bunyanul Hasan

Menulis puisi, menonton dan menulis naskah pidato

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kepemimpinan Perempuan dalam Qs. An-Nisa Ayat 34 Berdasarkan Tafsir Al-Misbah dan Tafsir Ibnu Katsir

22 Mei 2024   19:04 Diperbarui: 22 Mei 2024   19:09 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga langkah tersebut adalah nasehat, menghindari hubungan seks dan memukul. Langkah yang ketiga "memukul" dalam arti "menyakiti". Jangan diartikan sebagai sesuatu yang terpuji. Rasulullah mengingatkan agar "Jangan memukul wajah dan jangan pula menyakiti". Dan beliau pun juga pernah bersabda, "Tidakkah kalian malu memukul istri kalian, seperti memukul keledai?" Malu bukan saja karena memukul, tetapi juga malu karena gagal mendidik dengan nasehat dan cara lain. Sementara ulama memahami perintah menempuh langkah pertama dan kedua di atas ditujukan kepada suami, sedangkan langkah ketiga yakni memukul ditujukan kepada penguasa. Atas dasar ini ulama besar, Atha, berpendapat bahwa suami tidak boleh memukul istrinya, paling tinggi hanya memarahinya. Ibn al-Arabi mengomentari pendapat Atha itu dengan berkata, "Pemahamannya itu berdasar adanya kecaman Nabi saw. kepada suami yang memukul istrinya, seperti sabda beliau: "Orang-orang terhormat tidak memukul istrinya".  (M. Quraish Shihab, 2002, hal. 518)

Sejumlah ulama sependapat dengan Atha dan menolak atau memahami secara metafora hadits-hadits yang membolehkan suami memukul istrinya. Betapapun kalau ayat ini dipahami sebagai izin memukul istri bagi suami harus dikaitkan dengan hadist-hadist Rasul saw. di atas yang mensyaratkan tidak mencederainya, tidak juga pukulan itu ditujukan kepada kalangan yang menilai pemukulan sebagai suatu penghinaan atau tindakan yang tidak terhormat. Untuk masa kini dan dikalangan terpelajar, pemukulan bukan lagi satu cara yang tepat. Karena itu, tulis Muhammad Thahir Ibn Asyur, "Pemerintah jika mengetahui bahwa suami tidak dapat menempatkan sanksi-sanksi agama ini di tempat yang semestinya dan tidak mengetahui batas-batas yang wajar, dibenarkan bagi pemerintah untuk menghentikan sanksi ini dan mengumumkan bahwa siapa yang memukul istrinya maka dia akan dijatuhi hukuman. Ini agar tidak berkembang luas tindakan-tindakan yang merugikan istri, khususnya dikalangan mereka yang tidak memiliki moral". (M. Quraish Shihab, 2002, hal. 520-521)

Penafsiran Surat An-Nisa ayat 34 Menurut Ibnu Katsir

Menurut Ibnu Katsir, laki-laki adalah pengurus wanita, yakni pemimpinnya, kepalanya, yang menguasai, dan yang mendidiknya jika menyimpangnya. Kepemimpinan seorang laik-laki atas istrinya didasarkan atas dua alasan. Pertama, karena kaum laki-laki lebih afdhal daripada kaum wanita, seorang lelaki lebih baik daripada seorang wanita, karena itulah nubuwwah (kenabian) hanya khusus bagi kaum laki-laki. Demikian pula seorang raja. Pendapat ini diperkuat dengan sabda Nabi saw:

Artinya: Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusan mereka dipegang oleh seorang wanita.

Kedua, karena kaum laki-laki telah menafkahkan sebagian hartanya berupa mahar (mas kawin), nafkah, dan biaya-baiya lainnya yang diwajibkan oleh Allah kepada kaum laki-laki. Laki-laki mempunyai keutamaan di atas wanita, dan juga laki-lakilah yang memberikan keutamaan kepada wanita. Maka sangatlah sesuai bila dikatakan bahwa lelaki adalah pemimpin wanita. Seperti yang disebutkan dalam ayat lain, yaitu:

Artinya: Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.

Menurut Ali Ibnu Abu Talhah yang dimaksud  adalah seorang istri diharuskan taat kepada suaminya dalam hal-hal yang diperintahkan oleh Allah. Taat kepada suami ialah dengan berbuat baik kepada keluarga suami dan menjaga harta suami. Hal yang sama dikatakan oleh Muqatil, As-Saddi, dan Ad-Dahhak.

Al-Hasan Al-Basri meriwayatkan bahwa ada seorang istri datang kepada Nabi Muhammad saw. mengadukan perihal suaminya yang telah menamparnya. Maka Rasulullah bersabda, "Balaslah!". Maka Allah swt menurunkan firmannya: "Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34). Akhirnya si istri kembali kepada suaminya tanpa ada qishas. Sehubungan dengan ayat ini, yaitu firman-Nya: "kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum, wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Yaitu berupa mas kawin yang diberikan oleh laki-laki kepadanya. Seandainya si suami menuduh istrinya berzina, maka si suami telah melakukan mulaanah terhadapnya (dan bebas dari hukuman had). Tetapi jika si istri menuduh suaminya berbuat zina, si istri dikenai hukuman dera. Oleh sebab itu. Wanita yang shalehah adalah mereka yang taat kepada suaminya. Menurut As-Sadi dan lainnya, yang dimaksud wanita shalehah adalah wanita yang memelihara kehormatan dirinya dan harta benda suaminya di saat suaminya tidak ada di tempat.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa rasulullah saw, pernah bersabda: "Sebaik-baik wanita ialah seorang istri yang apabila kamu melihat kepadanya, membuatmu gembira. Dan apabila kamu memerintahkannya, maka ia menaatimu. Dan apabila kamu pergi meninggalkannya, maka ia memelihara kehormatan dirinya dan hartamu". Imam Ahmad mengatakan bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Seorang wanita itu apabila mengerjakan shalat lima waktunya, puasa bulan ramadhannya, memelihara kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya, "Masuklah kamu ke dalam surga dari pintu mana pun yang kamu sukai". (Katsir, 1388 H, hal. 491)

Apabila timbul tanda-tanda nusyuz pada diri si istri, wanita yang bersikap sombong, tidak mau melakukan perintah suaminya, berpaling darinya, maka hendaklah si suami menasihati dan menakutinya dengan siksa Allah. Dan apabila si istri tetap membangkang, hendaklah suami berpisah ranjang. Menurut Ali Ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, yang dimaksud pisah ranjang adalah hendaklah suami tidak menyetubuhinya, tidak pula tidur bersamanya. Jika terpaksa tidur bersama, maka hendaklah suami memalingkan punggungnya. Apabila nasihat tidak bermanfaat dan pisah ranjang juga tidak ada hasilnya, maka suami boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai. Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud boleh memukul adalah pukulan yang tidak melukakan. Menurut Al-Hasan Al-Basri, yang dimaksud pukulan adalah pukulan yang tidak membekas. Ulama Fiqih mengatakan, yang dimaksud adalah pukulan yang tidak sampai mematahkan suatu anggota tubuh dan tidak membekas barang sedikitpun. Apabila seorang istri taat kepada suaminya sesuai dengan apa yang dikehendaki suaminya selama tidak bertentangan dengan Islam, maka suami tidak boleh menyusahkannya dan suami tidak boleh memukulnya, tidak boleh pula mengasingkannya. Jika mereka (para suami) berlaku aniaya terhadap istri-istrinya tanpa sebab, sesungguhnya Allah Maha tinggi lagi Mahabesar yang akan menolong para istri. Dialah yang akan membalas terhadap lelaki (suami) yang berani berbuat aniaya terhadap istrinya. Ini merupakan ancaman kepada lelaki (suami) yang menganiaya istrinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun