Analisis Substansi Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Mishbah
Dilihat dari segi isi penafsirannya terhadap ayat tentang kepempinan wanita dalam surat an-nisa ayat 34, M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah penafsirannya lebih banyak dari pada Tafsir Ibnu Katsir. Mengenai tafsir Al-Mishbah, M. Qurais Shihab mencantumkan pendapat-pendapat ilmuan dan hasil penelitian dari berbagai sumber bahkan dari orang non islam sekalipun, semua itu untuk memperkuat argument tafsir. Dalam menafsirkan ayat tersebut, beliau mengutip Murtadha Muthahari dan pakar psikolog, Cleo Dalon, dan Prof. Reek, untuk mendukung pendapatnya.
Didalamnya, M. Quraish Shihab banyak mengupas perbedaan laki-laki dan perempuan. Sedangkan dalam Tafsir Ibnu Katsir tidak menyebutkan pendapat-pendapat para pakar dalam menafsirkan ayat tersebut, hanya menyebutkan pendapat sahabat, tabiin dan ulama lainnya. Berdasarkan penafsiran Ibnu Katsir dan M. Quraish Shihab terhadap surat an-nisa ayat 34, dapat kita lihat bahwa keduanya sama-sama menjelaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Namun perbedaannya adalah terletak pada pertimbangan mereka dalam menyatakan hal tersebut. Ibnu Katsir menyatakan bahwa pertimbangan beliau yang menyatakan laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan adalah laki-laki lebih utama dari wanita dan laki-laki lebih baik dari wanita, karena itulah sifat nubuwwah hanya khusus bagi. kaum laki-laki dan begitu juga para raja yang agung.
Oleh karena itu, Ibnu Katsir melarang perempuan menjadi pemimpin, baik dalam sektor domestik ataupun ranah publik. Karena laki-laki dinilai lebih daripada perempuan, yaitu sebagai atasannya, pemimpinnya dan sebagai orang yang memperbaiki sikapnya jika ia melenceng. Pandangan ini juga diperkuat dengan hadist nabi, yaitu: "Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusan mereka dipegang oleh seorang wanita". Pertimbangan yang kedua adalah laki-laki (suami) mempunyai kewajiban untuk membayar mahar, nafkah dan biaya-biaya lainnya. Laki-laki (suami) juga mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada wanita (istri). Oleh karena itu, seorang istri harus taat kepada suami dengan berbuat baik kepada keluarga suami dan menjaga harta suami. Sedangkan dalam Tafsir Al-Mishbah, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan dengan dua pertimbangan.
Pertama, keistimewaan yang ada pada diri laki-laki baik secara fisik maupun psikologis, yang lebih menunjang tugas kepemimpinan. Kedua, karena laki-laki membelanjakan hartanya untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Ini menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi suatu kelaziman bagi laki-laki. Ayat ini tidaklah mengenai kepemimpinan laki-laki dalam segala hal (termasuk dalam sosial dan politik) atas perempuan, melainkan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga. Jika ayat ini dijadikan dalil tidak bolehnya perempuan untuk memimpin dalam ranah publik tidaklah tepat. Melihat konteks dan munasabah ayatnya yakni mengenai hubungan rumah tangga. M. Quraish Shihab juga menyatakan dalam buku yang lain bahwa kepemimpinan merupakan sebuah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar ia mengarah secara sadar dan sukarela ketujuan yang hendak dicapai. Kemampuan mempengaruhi ini bisa dilakukan oleh siapapun, termasuk perempuan. Sesungguhnya perempuan juga bisa menjadi pemimpin dalam rumah tangga secara tidak langsung ketika ia bisa mempengaruhi keputusan suami melalui musyawarah yang menyangkut kepentingan keluarga.
Oleh sebab itu, M. Quraish Shihab menganjurkan kepada para perempuan untuk terus memperbaiki kualitas dirinya dengan terus belajar supaya bisa mempengaruhi laki-laki dengan argumentasi yang logis dan ilmiah. Mengenai kepemimpinan M. Quraish Shihab tidak menentang jika seorang perempuan memang memiliki kemampuan untuk memimpin. Maka dari itu, sah-sah saja jika perempuan tersebut menjadi pimpinan sebuah komunitas atau kelompok, dengan syarat bahwa tugas pokoknya yakni memberikan kasih sayang kepada anak dan mendampingi suami tidak terabaikan.199 Perbedaan penafsiran antara Ibnu Katsir dan M. Quraish Shihab tentang kepemimpinan wanita, disebabkan oleh dimana mereka hidup dan tinggal.
Terlebih keduanya hidup di zaman yang jauh berbeda. Ibnu Katsir hidup pada abad klasik (ke-14 M), yang pada masanya belum terfikirkan untuk melihat ayat-ayat yang dibahas dalam perspektif gender. Bisa jadi karena faham baru tumbuh dan berkembang di Barat, sementara di dunia Islam, terutama di Timur Tengah, pengaruhnya relative belum dirasakan. Sehingga Ibnu Katsir pun tidak mencoba meninjau atau membandingkan penafsiran dengan perspektif feminisme. Sedangkan M. Quraish Shihab hidup di abad ke-20 hingga saat ini. Pada abad ini indonesia telah merdeka, dan beliau juga hidup pada masa dimana masa tersebut adalah masa peralihan dari fase pembebasan menuju kepemimpinan. Selain dilatar belakangi oleh perbedaan masa, perbedaan dalam menafsirkan ayat-ayat al-quran, juga dilatar belakangi oleh keilmuan yang ditekuni, perbedaan lain juga karena perbedaan tempat dimana budayanya juga berbeda, antara Damaskus dan Indonesia. Karena Al-Quran tidak menjelaskan secara eksplisit apa keunggulan laki-laki atas perempuan, maka penafsirannya pun jadi beragam dan kontroversial.
Para mufassir khususnya Ibnu Katsir sebagaimana yang telah diuaraikan sebelumnya mengemukakan beberapa kelebihan laki-laki sehingga wanita sangat dilarang untuk menjadi pemimpin dalam berbagai sektor. Kesenjangan seperti ini, menurut peniliti perlu melakukan reinterpretasi dan rekonstruksi terhadap konteks sosial sekarang ini. Hal ini Harus dilakukan melihat idealitas agama berjalan dalam realitas sosial atau sebaliknya. Melihat dari dua penafsir di atas, peniliti lebih kepada pemikiran asal Indonesia yaitu M. Quraish Shihab. Karena wanita masa kini sudah banyak yang memiliki skill dalam bidang kepemimpinan. Hal ini terbukti dengan adanya organisasi pemilu yang dipimpin oleh wanita. Selain hal tersebut, di dalam al-quran tidak ada dalil yang sangat jelas untuk melarang wanita terjun ke ranah publik. Bahkan dalam Al-Quran memberikan gambaran kesuksesan kepemimpinan wanita yaitu ratu Bilqis. Selain alasan tersebut di atas, mengapa peniliti lebih setuju dengan pendapat M. Quraish Shihab? Jika dianalisis secara kaedah bahasa arab, lafadz yang menggunakan "al" (alif lam) ini dikategorikan isim marifah (menunjukkan arti Khusus). Maka lafadz dan  adalah isim marifah yang menunjukkan orang tertentu. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan dalam ayat ini adalah laki-laki tertentu yaitu suami tidak mencakup semua laki-laki demikian juga yang dimakasud dengan lafadz dalam ayat ini adalah perempuan tertentu yaitu istri tidak mencakup samua perempuan.
Di samping itu juga, jika lafadz ini dikaitkan dengan kalimat sesudahnya (wa bima anfaqu min amwalihim) semakin kuat ayat ini dalam rangka membicarakan konteks keluarga sehingga lebih mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan arrizalu adalah suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga bukan sebagai pemimpin secara umum, termasuk pemimpin dalam mengelola negara, dan Annisau adalah istri sebagai anggota keluarga yang dipimpin. Jadi yang dimaksud kepemimpinan laki-laki dalam sektor domestik bukan kepemimpinan secara umum (publik).
Ibnu Katsir juga menjelaskan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh suami terhadap istri yang nusyuz. Pertama, suami harus menasehatinya dan menakutinya dengan siksa Allah apabila dia durhaka terhadap dirinya. Kedua, apabila langkah yang pertama tidak berhasil, maka suami harus memisahkan diri dari tempat tidurnya, tidak menyetubuhinya. Jika terpaksa tidur bersama, maka suami harus memalingkan punggungnya. Ketiga, jika langkah yang pertama dan yang kedua tidak berhasil, maka suami boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai, tidak sampai mematahkan suatu anggota tubuhpun dan tidak membekas sama sekali. Jika ketiga langkah tersebut belum juga berhasil, maka Allah menghalalkan bagi suami untuk menerima tebusan (khulu) dari istinya.
M. Qurais Shihab juga menjelaskan bahwa kepemimpinan yang dianugerahkan kepada laki-laki tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan. Akan tetapi harus melalui musyawarah dalam menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi dalam sebuah keluarga. Apabila titik temu dalam musyawarah tidak diperoleh dan kepemimpinan suami yang harus ditaati dihadapi oleh istri dengan nusyuz, ada tiga langkah yang harus ditempuh untuk mempertahankan mahligai pernikahan. Pertama, nasehat. Kedua, menghindari hubungan seks, artinya suami harus pisah ranjang, jika terpakasa tidur bersama maka tidak ada cumbu, tidak ada kata-kata manis dan tidak ada hubungan seks.