Nilai-nilai Pancasila sulit tumbuh di tanah yang kering dan tidak subur.Â
Sebagai contoh, dalam penggunaan media sosial, kita sering kali tidak benar-benar mengarah kepada apa yang seharusnya menjadi media "sosial" (bermakna bersahabat dan terhubung dengan hangat). Sebaliknya, seringkali media sosial malah berubah menjadi media "a-sosial" di mana saling mencaci, merundung, dan saling menolak satu sama lain yang mengakibatkan ketidakharmonisan.
Karena itu, meskipun kemajuan infrastruktur perhubungan dan penggunaan media sosial telah meningkatkan konektivitas fisik, konektivitas mental-kejiwaan justru mengalami kemunduran.
Dulu, dunia pendidikan dan media menjadi pintu gerbang bagi keterbukaan dalam berteman dengan berbagai budaya dan bertukar pikiran. Namun, saat ini, ada kecenderungan peminggiran dalam hal ini.
Saya setuju, salah satu faktornya adalah kurangnya minat membaca dan pengetahuan yang terbatas membatasi pemahaman yang luas, yang pada gilirannya mengurangi rasa empati terhadap perbedaan. Salah telah menulis artikel khusus terkait isu ini.
Selain itu, gejala eksklusivitas semakin meluas dengan pertumbuhan pemukiman, sekolah, dan tempat kerja yang mendorong segregasi sosial yang kuat.
Ditambah lagi, selama ini Pancasila masih cenderung hanya menjadi 'daftar keinginan' dan belum menjadi 'daftar kebutuhan'. Pancasila belum menjadi referensi dan preferensi tindakan. Pancasila masih cenderung surplus percakapan, minus pengetahuan apalagi tindakan.
Sebagai contoh, beberapa waktu lalu, sebuah video viral di media sosial menunjukkan pencopotan label bantuan gereja pada tenda bantuan untuk korban gempa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Kejadian ini harus menjadi refleksi bahwa Pancasila belum sepenuhnya diamalkan oleh bangsa kita.
Harus menjadi catatan bahwa, Ketuhanan dalam Pancasila tidak merujuk secara ekslusif kepada agama apa pun, namun juga tidak bertentangan dengan keyakinan agama apa pun (Latif, 2020, p. 137). Maka dari itu, saat perumusannya nilai-nilai Pancasila bisa diterima baik oleh perwakilan  keagamaan maupun golongan nasionalis.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!