Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Melihat ke Belakang, Merenung ke Depan: Refleksi Hari Lahir Pancasila, Relevansi, dan Tantangannya di Masa Mendatang

1 Juni 2023   00:00 Diperbarui: 1 Juni 2023   00:04 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
BPUPKI mengadakan sidang. Foto: Wikimedia Commons/Arsip Nasional Republik Indonesia

Tentang pencoretan 'tujuh kata' dalam Piagam Jakarta, Mohammad Hatta punya andil besar (Latif, 2020, p. 49). Seperti diakui sendiri dalam otobiografinya, Memoir Mohammad Hatta (1979). Pagi hari menjelang dibukanya rapat PPKI, Hatta mendekati tokoh-tokoh Islam agar bersedia mengganti kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dengan kalimat "Ketuhanan Yang Maha Esa". 

Ini adalah perubahan yang sangat penting untuk menyatukan seluruh bangsa

Perubahan ini dianggap sebagai rumusan final dasar negara yang dikenal dengan nama Pancasila.

Dalam mengamati pemikiran para founding fathers saat merumuskan dasar negara Indonesia yang merdeka, kita dapat melihat kejernihan dan keaslian pemikiran mereka. Mereka memiliki kekayaan intelektual yang mendalam.

Saat ini, hampir satu abad telah berlalu sejak Pancasila dijadikan sebagai dasar negara, menjadi pandangan dunia (weltanschauung), norma dasar, ideologi negara, dan identitas bangsa Indonesia. 

Dalam konteks perkembangan zaman yang terus berubah, pertanyaan pun muncul: Apakah Pancasila masih relevan dan sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman yang ada, atau sudah waktunya untuk mengusulkan perubahan?

Untuk mempertahankan Pancasila sebagai karakter dan haluan bersama, sebagai ‘titik temu,’ ‘titik tumpu,’ dan titik tuju bangsa Indonesia, diperlukan usaha penanaman (pembudayaan) secara terus menerus, terencana, dan terpadu (Latif, 2020, p. 7).

Ibarat budidaya tanaman, laju pertumbuhan Pancasila tidak dengan sendirinya akan berjalan baik-baik saja, tanpa kesengajaan merawatnya dengan penuh pemahaman, kecermatan, dan ketekunan sepanjang proses pembibitan, penanaman, pemupukan, dan pencahayaan.

Jika Sukarno menyebut Pancasila sebagai weltanschauung,  Yudi Latif dalam bukunya Wawasan Pancasila Edisi Komprehensif menyebut pancasila sebagai  “agama sipil” (civil religion) (Latif, 2020, p. 12). Pancasila harus menjadi nilai inti (core values) sebagai basis moral publik bangsa Indonesia.

Dalam upaya membudayakan Pancasila, penting untuk memahami bahwa perlu adanya penekanan pada pembentukan karakter yang kuat. 

Namun, hal ini perlu dipertanyakan ketika kita melihat bahwa kehidupan bangsa kita dipenuhi oleh konflik, sikap sinis, kurangnya kepercayaan, kesenjangan sosial, ketidakadilan, dan bahkan korupsi, yang menunjukkan adanya perubahan besar dalam budaya kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun