Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Melihat ke Belakang, Merenung ke Depan: Refleksi Hari Lahir Pancasila, Relevansi, dan Tantangannya di Masa Mendatang

1 Juni 2023   00:00 Diperbarui: 1 Juni 2023   00:04 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
BPUPKI mengadakan sidang. Foto: Wikimedia Commons/Arsip Nasional Republik Indonesia

Sukarno menganggap Pancasila sebagai weltanschauung, yaitu filosofi dasar negara Indonesia yang menjadi semangat penyatuan dan pembebasan.

Pidato Sukarno tentang Pancasila itu begitu heroik, empatik, berbobot, runtut, solid dan koheren, meskipun dengan pidato tanpa teks. Dalam pidato tersebut Sukarno menyebut istilah weltanschauung sebanyak 31 kali.

Istilah weltanschauung dalam bahasa Jerman disamakan dengan worldview dalam bahasa Inggris. Dalam jurnalnya yang berjudul  Three Aspects of Weltanschauung, Jerome Ashmore menyebut weltanschauung sebagai paradigma atau pandangan hidup bagi individu atau kelompok tertentu (Ashmore, 2016, p. 215).

Pidato Sukarno yang menggetarkan ini kemudian dikukuhkan sebagai momen kelahiran Pancasila (Arif Zulkifli, dkk, 2013, p. 18). Tapi tak semua puas dan setuju. 

Selama reses satu setengah bulan, kasak-kusuk tentang dasar negara ini tak pernah berhenti. Karena itu, di tengah-tengah masa istirahat, 36 anggotanya bersidang untuk membagi pekerjaan dalam panitia-panitia yang lebih kecil.

Sukarno kemudian membentuk panitia 'tidak resmi', yang terdiri atas Sukarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Achmad Soebardjo, A. A Maramis, Kiai Abdoelkahar Moezakir, Wachid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Haji Agus Salim.

Tim inilah yang kemudian melahirkan Piagam Jakarta yang kelak menjadi rancangan preambul atau pembukaan Undang-Undang Dasar.

Piagam Jakarta yang disusun cukup alot itu hasil kompromi antara golongan nasionalis dan Islam. Piagam ini ditandatangani pada 22 Juni 1945. Meski disepakati, bagian piagam ini juga mengundang kontroversi. Itu terletak pada tujuh kata berbunyi “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Tujuh kata ini juga menjadi perdebatan dalam pembahasan beberapa pasal dalam rancangan Undang-Undang Dasar.

BPUPKI kemudian dibubarkan dan perannya dijalankan oleh badan lain, yakni Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbi Iinkai. Panitia ini beranggotakan 25 orang yang dipimpin oleh Sukarno sebagai ketua, dan Hatta sebagai wakilnya.

Setelah melalui berbagai kompromi dalam rapat PPKI,  tepat satu hari setelah kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 18 Agustus 1945, Moh. Hatta mengungkapkan rumusan akhir pembukaan UUD Negara. Salah satunya adalah perubahan kalimat dasar negara menjadi "Negara berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa" saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun