Pidato yang mengguncangkan dari Yamin itu ditutup dengan syair (Aning, 2019, p. 48). Banyak kata-kata dalam Pancasila diambil dari pidato Yamin, seperti 'permusyawaratan', 'kebijaksanaan', dan 'perwakilan'.
Sidang terus berlanjut dengan berbagai pembahasan, termasuk pembahasan tentang batas-batas wilayah yang termasuk dalam wilayah Indonesia. Banyak yang berpendapat, termasuk Mohammad Hatta dan Soepomo. Meskipun berbeda sudut pandang, pada dasarnya pendapat mereka memiliki kesamaan.
Lebih dari 30 pembicara mengemukakan pandangannya.
Baru pada hari terakhir sidang, mereka menemukan titik terang. Pada Jumat, 1 Juni 1945, tepat pukul 09.00, semua anggota BPUPKI telah duduk di kursi mereka masing-masing.
Sidang kembali dimulai dengan doa, dan kemudian Sukarno dipersilakan naik ke podium. Dia diminta untuk menyampaikan pemikirannya tentang dasar negara.
Seperti biasanya, pidato Sukarno selalu memikat dan menyihir pendengarnya (Arif Zulkifli, dkk, 2013, p. 18).
Betapa pun juga, pandangan dari 30 pembicara sebelumnya memberikan masukan penting bagi Sukarno dalam merumuskan konsepsinya (Latif, 2020, p. 38). Masukan-masukan ini yang dikombinasikan dengan gagasan-gagasan ideologisnya yang telah dikembangkan sejak 1920-an dan refleksi historisnya mengkristal dalam pidato Sukarno.
“... Saudara-saudara, saya bertanya: apakah kita hendak mendirikan Indonesia untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? ... Sudah tentu tidak!”
“... Saudara-saudara! Dasar-dasar Negara, telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan ...”
“... Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.”