Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Melihat ke Belakang, Merenung ke Depan: Refleksi Hari Lahir Pancasila, Relevansi, dan Tantangannya di Masa Mendatang

1 Juni 2023   00:00 Diperbarui: 1 Juni 2023   00:04 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pidato yang mengguncangkan dari Yamin itu ditutup dengan syair (Aning, 2019, p. 48). Banyak kata-kata dalam Pancasila diambil dari pidato Yamin, seperti 'permusyawaratan', 'kebijaksanaan', dan 'perwakilan'.

Sidang terus berlanjut dengan berbagai pembahasan, termasuk pembahasan tentang batas-batas wilayah yang termasuk dalam wilayah Indonesia. Banyak yang berpendapat, termasuk Mohammad Hatta dan Soepomo. Meskipun berbeda sudut pandang, pada dasarnya pendapat mereka memiliki kesamaan.

Lebih dari 30 pembicara mengemukakan pandangannya. 

Baru pada hari terakhir sidang, mereka menemukan titik terang. Pada Jumat, 1 Juni 1945, tepat pukul 09.00, semua anggota BPUPKI telah duduk di kursi mereka masing-masing.

Pidato Sukarno pada sidang BPUPKI. Foto: kemdikbud.go.id
Pidato Sukarno pada sidang BPUPKI. Foto: kemdikbud.go.id

Sidang kembali dimulai dengan doa, dan kemudian Sukarno dipersilakan naik ke podium. Dia diminta untuk menyampaikan pemikirannya tentang dasar negara. 

Seperti biasanya, pidato Sukarno selalu memikat dan menyihir pendengarnya (Arif Zulkifli, dkk, 2013, p. 18).

Betapa pun juga, pandangan dari 30 pembicara sebelumnya memberikan masukan penting bagi Sukarno dalam merumuskan konsepsinya (Latif, 2020, p. 38). Masukan-masukan ini yang dikombinasikan dengan gagasan-gagasan ideologisnya yang telah dikembangkan sejak 1920-an dan refleksi historisnya mengkristal dalam pidato Sukarno.

“... Saudara-saudara, saya bertanya: apakah kita hendak mendirikan Indonesia untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? ... Sudah tentu tidak!”

“... Saudara-saudara! Dasar-dasar Negara, telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan ...”

“... Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun