Wess En Boedelkamer (Balai Harta Peninggalan) merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam kedudukannya merupakan satu-satunya Kurator dalam Kepailitan sebelum muncul kurator lainnya (swasta). Sejak berlakunya Faillisements-verordening Staatsbald 1905:217 jo Staatsbald 1906:348 yang merupakan peraturan kepailitan produk kolonial Belanda, Wess En Boedelkamer Balai Harta Peninggalan merupakan satu-satunya Kurator dalam kepailitan tersebut.
Krisis moneter yang melanda sebagian besar negara-negara Asia di pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan besar terhadap perekonomian dan perdagangan Nasional. Kemampuan dunia usaha untuk mengembangkan usahnya sangat terganggu bahkan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya juga tidak mudah, hal tersebut sangat mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya. Keadaan tersebut berakibat timbulnya permasalahan-permasalahan yang berantai yang apabila tidak segera diselesaikan berdampak lebih luas lagi antara lain hilangnya lapangan pekerjaan dan permasalahan sosial lainnya.
Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukung. Pada tanggal 22 April 1998 berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undangan Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Untung-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Berdasarkan UU no. 4 tahun 1998 terdapat ketentuan Kurator lain (swasta) selain Balai Harta Peninggalan yang diatur dalam Pasal 67 A (1) Kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, adalah :
a. Balai Harta Peninggalan; atau
b. kurator lainnya.
Disamping itu dibentuknya Pengadilan Niaga Pertama di Jakarta sesuai Pasal 248 Ketentuan Penutup. Perubahan UU Kepailitan dilakukan meningat undang-undang tentang kepailitan (Faillisements-verordening Staatsbald 1905:217 jo Staatsbald 1906:348 yang merupakan peraturan kepailitan peninggalan pemerintah hindia Belanda) sudah tidak sesuai lagi  dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat untuk menyelesaikan utang-piutang. Perubahan tersbeut dilakukan dengan memperbaiki, menambah dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat. UU No, 4 tahun 1998 berlaku selama kurun waktu 6 (enam) tahun. Pada tanggal 18 Oktober 2004 Pemerintah menetapkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang untuk mengganti UU no. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan.
Dunia usaha menyambut baik dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK PKPU) yang diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2004. Para pelaku usaha sangat berharap lahirnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan mampu memberikan perubahan tentang kepastian hukum terkait solusi penyelesaian masalah utang piutang antara debitor dengan para Kreditor, serta kepastian akan terjaganya kelangsungan usaha yang dijalani. Dengan UU No. 37 Tahun 2004 proses penyelesaian utang piutang tersebut dapat dilaksanakan secara Adil, Cepat, Terbuka, Efektif dan efisien. Harapan dunia usaha tersebut sangat wajar, mengingat muatan materi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU lebih lengkap dan konfrehensif. Hal ini berbeda dengan Undang-undang Kepailitan yang berlaku sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan, yang merupakan pengganti dari Faillissements-verodering Staatsblad 1905:217 jo Staatsblad  1906:348.
Namun demikian setelah berlaku selama + 18 (delapan belas) Tahun sejak diundangkan, pada kenyataanyanya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, jauh dari harapan dan bahkan semakin jauh dari cita-cita pembentukannya yaitu untuk ikut serta membantu pemulihan ekonomi dan memperkuat pranata hukum di bidang penyelesaian sengketa utang piutang yang legitimate. Recovery rate yang rendah, banyaknya putusan pengadilan yang kontroversial, perilaku sejumlah Kurator dan Pengurus yang tidak professional (tidak berintegritas), menunjukan ciri kelemahan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Proses kepailitan sering menimbulkan multi tafsir, mulai dari proses di pengadilan maupun setelah putusanan pernyataan pailit, dan proses pengurusan dan pemberesan oleh Kurator.
Putusan pernyataan pailit merubah status hukum seseorang yang semula cakap melakukan perbuatan hukum menjadi tidak cakap melakukan perbuatan hukum, menguasai dan bahkan mengurus harta kekayaannya sejak saat putusan pernyataan pailit diucapkan. Untuk menghindari perebutan harta Debitor pailit apabila dalam waktu yang sama terdapat  beberapa kreditor lainnya menagih piutangnya. Berdasarkan putusan pernyataan pailit tersebut maka seluruh harta Debitor pailit berada dalam sita umum, yang mengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan seorang Hakim Pengawas.
Faktor perlunya pengaturan kepailitan selain untuk menghindari adanya perebutan harta Debitor dari para kreditornya, juga dapat menghindari adanya kecurangan-kecurangan baik yang dilakukan oleh Debitor itu sendiri maupun oleh satu atau lebih kreditor. Untuk itu dalam undang-undang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang memuat beberapa asas antara lain:
a. Â Â Â Asas Keseimbangan;
Dalam Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keweimbangan yaitu di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya pnyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.
b. Â Â Â Asas Kelangsungan Usaha;
Dalam undang-undang ini terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang berrospektif tetap dilangsungkan
c. Â Â Â Asas Keadilan;
Dalam undang-undang ini terdapat ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan  ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan  pihak penagih yang mengisahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya.
d. Â Â Â Asas Integritas.
Undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiil merupakan satu kesatuan yang utuh daari sistem hukum perdata dan hukum perdata Nasional.
Namun dalam perjalanannya implementasi UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tidak sesaui harapan para pelaku usaha dan bahkan semakin jauh dari cita-cita pembentukannya yaitu untuk ikut serta membantu pemulihan ekonomi dan memperkuat pranata hukum di bidang penyelesaian sengketa utang piutang yang legitimate. Hal ini tentu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah yang saat ini sedang berusaha keluar dari tekanan-tekanan ekonomi akibat persaingan global. Terlebih saat ini Indonesia sedang berusaha untuk meningkatkan ranking dunia dalam kaitannya kemudahan berusaha essaey Of doing bussines.
Arah dan kebijakan pemerintah dibidang ekonomi baik skala regional maupun nasional telah didukung dengan berbagi kebijakan di bidang Ekonomi termasuk salah satunya adalah kebijakan terkait dengan Kemudahan Berusaha Eassy Of Doing Bussines, dengan upaya de regulasi (penataan kembali berbagai  peraturan perundang-undangan) sebagai wujud nyata dan keseriusan pemerintah dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi. Dalam pandangan umum kemudahan berusaha merupakan harapan bagi semua pelaku usaha (pebisnis). Kemudahan berusaha harus didukung pula uapaya mempertahankan kelangsungan usaha sehingga para pelaku usaha memperoleh kepastian akan usahanya.
Sebagai suatu contoh bahwa, Data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) mencatat bahwa sejak Tahun 2015 kredit bermasalah terus menerus mengalami peningkatan. Pada periode Tahun 2015 jumlah kredit bermasalah perbankan sebesar Rp. 73,38 Trilyun, pada Periode Tahun 2016 kredit bermasalah sebesar Rp. 128,13 Trilyun dan pada Periode Tahun 2017 berjalan meningkat Rp.139,99 Trilyun. Pertumbuhan kredit pada Juni 2017 tumbuh lambat sebesar 7,6%.Perlambatan drastis terjadi pada jenis kredit investasi yang melanda sembilan dari 10 sektor usaha utama, Tercatat hanya sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan yang mencatatkan pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan Juni 2016. Jadi diluar sector keuangan, real estate dan jasa perusahaan dapat diindikasikan terjadi krisis.
Penyebab dari kredit bermasalah tersebut dikarenakan  oleh banyak hal diantaranya adalah situasi bisnis yang tidak kondusif baik faktor internal ataupun faktor eksternal.  Efek dari kesulitan bisnis lalu lilitan utang dapat terlihat pada angka PHK, dimana Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mencatat  mengaku rata-rata anggotanya sudah mengurangi pekerja sebanyak 20%.
Kembali pada jumlah total kredit yang macet pada tahun berjalan 2017 sebesar Rp.139,99 Trilyun maka dipastikan pengguna kredit tersebut sedang mengalami masalah finansial yang berujung pada lilitan utang. Perlu diketahui bahwa utang perbankan merupakan utang yang penyelesaiannya memperoleh skala prioritas bagi para pengusaha. Dengan tidak dibayarnya utang perbankan dapat dipastikan para pengusaha tersebut  sudah mengalami kompleksitas utang dengan kreditor diluar perbankan.
Dalam situasi seperti ini, apa yang harus dilakukan? Dari situasi yang kompleks tersebut, dibutuhkan suatu solusi bagi penyelesaian masalah utang-piutang yang melilit sebagian para pelaku usaha dengan cara merestrukturisasi utang-piutang. Â Restrukturisasi utang piutang tentu dapat menjadi solusi yang dapat ditawarkan, mengingat restrukturisasi utang-piutang demi hukum yang lebih berkepastian dan dapat menjamin kelangsungan usaha bagi para pelaku usaha. Sehingga Hukum memiliki mekanisme untuk melindungi debitor yang terlilit utang piutang yang dapat dimanfaatkan pengusaha untuk keluar dari situasi yang sangat sulit.
B. Â Â Â Manfaat Restrukturisasi Utang
Restrukturisasi utang merupakan upaya untuk mengurai utang-piutang dengan tujuan untuk mencegah situasi menjadi lebih kompleks. Apabila perusahaan debitur yang bermasalah dengan pembayaran utang tidak melakukan restrukturisasi terhadap utangnya maka akan timbul wanprestasi atau cacat yang nantinya dapat mengakibatkan masalah yang lebih kompleks bagi kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Hal yang mungkin terjadi dalam jika tidak dilakukan restrukturisasi utang maka Debitor dapat diajukan permohonan pailit di Pengadilan Niaga oleh para krediturnya atau atau kemungkinan Debitor digugat dengan mengajukan gugatan perdata di pengadilan negeri.
Dengan dilakukannya restrukturisasi utang maka, kemungkinan Debitor tidak akan dipailitkan, sehingga Debitur akan memiliki lebih banyak alternatif penyelesaian pembayaran. Restrukturisasi utang juga memudahkan pelaksanaan hak-hak kreditur dalam hal terjadi suatu gagal bayar serta memberikan kesempatan bagi debitur untuk tetap hidup sehingga dapat meningkatkan kinerja dan menyelesaikan utangnya dengan disiplin yang tinggi.
Dengan Restrukturisasi utang, menjadikan utan-utang Debitur terintegrasi, yaitu dengan memanfaatkan skema penyelesaian utang piutang yang lebih metodis disesuaikan dengan kemampuan bisnis atau kemampuan keuangan. Dengan demikian hal ini menyederhanakan dan memudahkan kendali penegakan disiplin kewajiban pembayaran serta memperkecil biaya administrasi keuangan debitur. Â Manfaat lebih luas lagi adalah restrukturisasi utang biasanya akan dilanjutkan dengan restrukturisasi perusahaan sehingga perusahaan sehat kembali serta dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
C. Â Â Â Restrukturisasi Melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
Restrukturisasi utang melalui PKPU ini bertujuan untuk mendamaikan Debitor dan Kreditor manakala Debitor bermasalah dengan utang-utangnya. PKPU ini diatur secara khusus dalam UU No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
1. Â Â Â Hukum Acara Yang Berkepastian Waktu
Salah satu problem mendasar dunia hukum Indonesia adalah sulitnya mendapatkan kepastian waktu untuk mendapatkan kepastian hukum, hal ini berbeda dengan hukum acara PKPU yang memiliki kepastian waktu. Apabila permohonan dilakukan oleh Debitor maka paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal didaftarkan permohonan PKPU Â maka Pengadilan harus mengabulkan PKPU. Dalam hal diajukan oleh Kreditor maka Pengadilan harus mengabulkan permohonan PKPU paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak permohonan di daftarkan di pengadilan. Â Bandingkan dengan putusan perdata biasa atau pidana yang bisa memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. ( Lihat Pasal 224 dan 225 UU No. 37 Tahun 2004 tetang Kepailitan dan PKPU)
2.    Hukum Acara Pembuktian  Yang Sederhana
Pembuktian hanya memerlukan adanya tagihan dari lebih satu kreditor . (Pasal 222 ayat 1 UUK)
3. Â Â Â Berkepastian Hukum dan dapat dijalankan seketika.
4. Â Â Â Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. (Pasal 235 ayat 1 UUK)
5. Â Â Â Diangkat pengurus yang independen dan hakim pengawas yang bekerja bersama Debitor.
6. Â Â Â Debitor bersama dengan Pengurus melakukan tindakan kepengurusan perusahaan. ( Pasal 240 ayat 1 UUK)
7. Â Â Â Pengurus memastikan bahwa harta Debitor tidak dirugikan. (Pasal 240 ayat 2 UUK)
8. Â Â Â Kewajiban Debitor yang menguntungkan harta Debitor dapat dilaksanakan. (Pasal 240 ayat3 UUK)
9. Â Â Â Debitor untuk meningkatkan hartanya dapat melakukan pinjaman dan membebani hartanya dengan agunan. (Pasal 240 ayat 4 dan 5 UUK)
10. Â Â Selama berlangsungnya PKPU Debitor tidak dapat dipaksa membayar utang dan tindakan eksekusi untuk pelunasan hutang harus ditangguhkan ( Pasal 242 ayat 1 UUK)
11. Â Â Putusan PKPU mengangkat putusan sita atas harta debitor dan juga sandera pada Debitor. (Pasal 242 ayat 2 UUK)
12. Â Â Perkara yang berjalan di pengadilan diluar peradilan atas perkara PKPU yang memiliki implikasi putusannya terhadap harta maka putusannya ditangguhkan. (Pasal 243 ayat 2 UUK)
13.   Hak eksekusi pemegang jaminan dan pengembalian harta milik pihak ketiga ditangguhkan selama 90 ( sembilan puluh) hari sejak putusan diucapkan. Penangguhan ini  untuk memperbesar kemungkinan tercapai perdamaian, memperbesar kemungkinan optimalisasi harta pailit, dan memungkinkan kepengurusan harta secara optimal. (Pasal 56 ayat 1 UUK)
14. Â Â Harta bergerak ataupun tidak bergerak tetap dapat digunakan untuk kelangsungan usaha. (Pasal 56 ayat 2 UUK)
15.   Barang persediaan dan atau benda bergerak  walau pun atas harta tersebut telah dibebani  hak agunan dapat dijual demi kelangsungan usaha Debitor. (Pasal 56 ayat 3 UUK)
16. Â Â Utang kepada Debitor dapat diperjumpakan dengan Utang Kreditor pada Debitor selama utang piutang tersebut lahir sebelum PKPU. (247 ayat 1 UUK)
17. Â Â Perjanjian timbal balik yang belum atau sebagian dipenuhi dapat dilanjutkan sepanjang menguntungkan Debitor. (249 ayat 1 UUK)
18. Â Â Debitor dapat melakukan pemutusan hubungan kerja. (252 ayat 1 UUK)
19. Â Â PKPU tidak berlaku bagi keuntungan Debitor dan Penanggung. (254 UUK)
20.   Debitor setiap waktu dapat memohon pada Pengadilan  agar PKPU dicabut karena pembayaran memungkinkan kembali dilakukan. (259 ayat 1 UUK)
21. Â Â Selama PKPU berlangsung terhadap Debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit. (260 UUK)
22. Â Â Rencana perdamaian berhak diajukan pada saat permohonan ataupun selama PKPU berlangsung. (265 UUK)
23. Â Â Tagihan diurus oleh pengurus dan dicocokkan dengan catatan dan laporan dari Debitor selanjutnya piutang tersebut diakui atau dibantah oleh pengurus. (270 s/d 272 UUK)
24. Â Â Perhitungan bunga utang dilakukan hanya sampai pada putusan PKPU. (273 UUK)
25. Â Â Piutang dapat ditagihkan dengan perhitungan yang menguntungkan Debitor. (275 UUK)
26. Â Â Hutang yang ditagihkan setelah batas waktu dimasukkannya tagihan kepada pengurus dapat ditolak. (278 ayat 3 UUK)
27.   Rencana perdamaian didasarkan persetujuan oleh hanya lebih  dari  jumlah kreditor konkuren yang diakui atau sementara diakui yang mewakilii paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan  kreditor konkuren yang hadir dalam rapat, dan persetujuan jumlah kreditor yang dijamin yang hadir mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan kreditor yang tagihannya dijamin.
28. Â Â Kreditor yang tagihannya di jamin yang tidak menyetujui rencana perdamaian diberikan kompensasi sebesar nilai terendah di antara nilai jaminan atau nilai aktual pinjaman. (281 ayat 2 UUK)
29. Â Â PKPU berakhir pada saat putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan tetap dan pengurus wajib mengumumkannya. (288 UUK)
30. Â Â Putusannya Mengikat Semua Hutang Piutang
31. Â Â Semua kreditor baik yang ikut dalam acara di peradilan atau pun tidak tunduk pada putusan PKPU.
Dan yang tidak kalah pentingnya dari Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Debitor tidak kehilangang haknya untu mengurus, menguasai dan membereskan aset-asetnya. Hanya dalam pengurusan selama beralngsungnya PKPU dibantu oleh Pengurus dan Hakim Pengawas.
D. Â Â Â Hambatan Dalam Restrukturisasi
1. Â Â Â Lemahnya pemahaman tentang restrukturisasi baik debitor ataupun kreditor. Pemahaman debitor dan kreditor terkait utang-piutang seringkali terlalu sederhana dan sangat kaku, seolah-olah hanya ada satu cara penyelesaian utang-piutang yaitu bayar kontan, gugat perdata dan dipailitkan. Debitor dan kreditor seringkali tidak menyadari cara penyelesaian utang piutang secara sederhana tidak dapat dilakukan dalam situasi tertentu terutama dalam situasi kompleks. Akibat pemahaman yang terlalu sederhana dan kaku sering kali Debitor menyelesaikan utang dengan hanya pinjaman baru yang syarat-syaratnya justru lebih memberatkan dinbanding utang lamanya.
2. Â Â Â Sosiopsikologi
Debitor seringkali merasa mengalami beban psikologis dan social manakala menjalankan suatu program restrukturisasi, terutama ketika dimohonkan restrukturisasi melalui PKPU. Restrukturisasi dirasakan sebagai kekalahan dan penuh ketidakberdayaan.
3. Â Â Â Materi Restrukturisasi yang terbatas
Seringkali Debitor menyusun rencana restrukturisasi tidak dengan metode yang tepat, bahkan metode yang digunakan hanya mengandalkan keterbatasan restrukturisasi dari perbankan. Metode restrukturisasi perbankan sangat terbatas, dan belum tentu cocok untuk menghadapi kreditor diluar perbankan.
4. Â Â Â Restrukturisasi Delusi
Debitor seringkali memiliki rencana restrukturisasi yang tidak realistis. Asumsi-asumsi yang dikembangkan adalah asumsi yang terlalu optimis, dan bahkan restrukturisasi dijalankan hanya dengan mengandalkan keajaiban.
5. Â Â Â Takut Pailit
Restrukturisasi yang gagal bisa menyebabkan debitor menjadi pailit. Dengan demikian debitor seringkali mengambil jalan diluar restrukturisasi yang justru semakin mempercepat resiko kepailitan itu sendiri.
E. Â Â Â Bagaimana Peran Balai Harta Peninggalan dalam Restrukturisasi?
Peran Balai Harta Peninggalan dalam Restrukturisasi (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) boleh dikatakan tertutup, mengingat Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, tidak secara spesifik menempatkan Balai Harta Peninggalan bagian dari Pengurus. Dalam Pasal 234 ayat (3) UU no. 37 Tahun 2004, ditentukan bahwa, "yang dapat menjadi Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Orang perorang yang berdomisili di wilayah Negara Republik Indoensia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus harta Debitor.
b Terdaftar pada Kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan".
Berbeda dengan Pasal 69 jo 70 yang mengatur mengenai Kurator. Dalam Pasal 70 ayat (1) Kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 adalah a. Balai Harta Peninggalan atau Kurator lainnya, yakni orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit.
Namun demikian jika kita melihat tugas Balai Harta Peninggalan yaitu "mewakili dan mengurus kepentingan orang-orang maupun badan yang karena hukum maupun Putusan/penetapan pengadilan tidak dapat menjalankan sendiri kepentingannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku". sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.01-80 Tahun 1980 tanggal 1 Juni 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan.
Apabila dilihat dari tugas tersebut di atas, maka Balai Harta Peninggalan dapat saja menjalankan tugas Pengurusan harta Debitor yang diputus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, karena dasarnya adalahan adanya Putusan yang mana dalam petitum putusan tersebut menunjuk Balai Harta Peninggalan selaku Pengurus. Penujukkan Balai Harta Peninggalan selaku Pengurus bukan karena UU namun karena Putusan hakim yang berlaku sebagai undang-undang. Â Penunjukan Balai Harta Peninggalan selaku Pengurus merupakan satu pilihan dalam hal Debitor, maupun Kreditor yang berwenang mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak mengusulkan usul Pengurus, maka Hakim Pengadilan Niaga harus menunjuk Balai Harta Peninggalan selaku Pengurus. Dengan demikian Pasal mengenai Kurator berlaku mutatis mutandis. Â Putusan pengangkatan Balai Harta Peninggalan selaku Pengurus seringkali menimbulkan problem karena Putusan Pengangkatan BHP selaku Pengurus bertentangan dengan UU, sehingga Balai Harta Peninggalan dapat saja menolak diangkat selaku Pengurus dalam PKPU, meskipun sebenarnya Balai Harta dapat saja menjalankan putusan PKPU karen asalah satu payung hukum Balai Harta Peninggalan dalam menjalankan tugas adalam melaksanakan Putusan.
Tidak masuknya unsur Balai Harta Peninggalan selaku Pengurus dalam PKPU Â berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menambah daftar minimnya peran Negara dalam proses kepailitan dan PKPU. Sebagai upaya untuk menjaga kelangsungan usaha (goin conssern), Restrukturisasi utang para debitor (pelaku usaha) yang sedang mengalami kesulitan keuangan lebih dikedepankan dibandingkan penyelesaian utang-piutang melalui mekanisme kepailitan. Sehingga perlu memasukan Balai Harta Peninggalan selaku Kurator dalam Batang tubuh UU No. 37 Tahun 2004 jika akan dilakukan perubahan maupun pembaharuan hukum.
Dengan masuknya Balai Harta Peninggalan selaku Pengurus dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang potensi untuk menerima imbalan jasa Pengurus menjadi semakin besar, terlebih dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 1 tahun 2013 tentang Pedoman Imbalan Jasa Kurator dan Pengurus dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 2 Tahun 2017, ketentuan Upah Pengurus jauh lebih besar dari upah Kurator. Jika dilihat dari tugas dan tanggungjawabnya, Kurator jauh lebih berat dibandingkan tugas dan tanggungjawab Pengurus. Kurator dalam Kepailitan mengambil alih posisi Debitor pailit dan tanggungjawab melekat pada diri pribadi Kurator.
Berbeda dengan tugas Pengurus yang hanya membantu melakukan pengurusan Debitor. Karena Debitor PKPU masih berwenang untuk mengurus hartanya, hanya saja dalam pengurusan tersebut dibantu oleh Pengurus. Perlu ada keseimbangan antara Balai Harta Peninggalan dengan Pengurus Perorangan, sehingga perlu dimasukan Balai Harta Peninggalan selaku Pengurus dalam undang-undang kepailitan, agar posisi Balai Harta Peninggalan sebagai Pengurus sejajar dengan Pengurus Perorangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H