- A. PENDAHULUAN
Bank sebagai bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara dalam menjalankan kegiatan usahanya sering mengalami banyak permasalahan. Peranan bank di era globalisasi sekarang ini semakin penting, karena bank juga telah menjadi bagian dari sistem keuangan dan pembayaran dunia.Â
Kegiatan perbankan sepenuhnya bergerak atas dasar kepercayaan, karena tanpa kepercayaan dari masyarakat/pebisnis mustahil mereka akan mau mempercayakan dana-dananya untuk disimpan di Bank. Dengan demikian maka jika sebuah bank ingin sukses dalam kegiatannya harus menjaga dengan baik kepercayaan masyarakat terhadapnya.
Industri Perbankan sebagai salah satu bentuk industri keuangan memiliki karakteristik usaha yang unik dan  sangat spesifik yang berbeda dengan jenis usaha-usaha lain. Oleh karena itu, bank sebagai sektor usaha yang mengutamakan menjaga kepercayaan masyarakat dalam berbisnis sangat sensitif terhadap penyimpangan dan kejahatan serta sangat rentan terhadap potensi kegagalan yang bersifat sistemik.Â
Karena apabila terjadi suatu permasalahan, penyimpangan ataupun penyelewengan di sebuah bank secara langsung akan berdampak menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut. Bahkan sering kita dengan sebuah bank di rush oleh nasabahnya karena hilangnya kepercayaan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka pengawasan terhadap kegiatan usaha Bank  perlu dilaksanakan lebih ketat  guna memastikan bahwa  pengelolaanya telah dilakukan secara sehat dan berhati-hati sesuai dengan prinsisp manajemen risiko dan tata kelola yang baik.
Menurut Prof.Sondang P.Siagian dalam bukunya Fungsi-Fungsi Manajemen (hal.107) pengertian Pengawasan adalah sebuah proses pengamatan dari  pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan[1]
 Pengawasan itu merupakan terjemahan dari bahasa Inggris "monitoring atau supervision'. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: Penilikan dan pengarahan kebijakan jalannya perusahaan. Sedangkan menurut penjelasan pasal 29 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang dimaksud pengawasan dalam pasal tersebut adalah pengawasan tidak langsung yang terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis dan evaluasi laporan bank, dan pengawasan langsung (pemeriksaan yang disusul dengan tindakan perbaikan).
 Adapun tujuan pengawasan bank secara umum diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia untuk ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi serta pemerataan; agar tercipta sistem perbankan yang sehat, baik sistem perbankan secara menyeluruh maupun individual dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar serta bermanfaat bagi perekonomian nasional.Â
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pendekatan pengawasan bank yang mampu mendorong bank untuk melaksanakan secara konsisten ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulatory banking) dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan tetap mengacu kepada prinsip kehati-hatian.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang permasalahan tersebut diatas maka identifikasi masalah sebagi rumusan yang akan dibahas selanjutnya dalam makalah ini adalah :
1). Bagaimana Peranan Fungsi Pengawasan Kegiatan Usaha Bank , menyangkut pentingnya serta dampak yang bisa ditimbulkan apabila pengawasan tidak berjalan dengan baik.
2). Apa peran dari Dewan Komisaris dalam pengawasan sebuah Bank serta risiko-risiko apa saja yang harus diantisipasi dari pelaksanaan pengawasan bank.
B. PENTINGNYA PENINGKATAN PENGAWASAN BANK.
 Dengan semakin kompleksnya permasalahan yang sering dihadapi Perbankan, maka semakin disadari betapa pentingnya pengawasan bank dilaksanakan secara tertib dan ketat. Karena apabila sektor perbankan mengalami permasalahan maka bisa melahirkan dampak sistematik yang dapat menganggu sendi-sendi keuangan dan perekonomian suatu Negara.Â
Untuk itu sangat penting dan perlu dilaksanakan pengawasan yang ketat terhadap kegiatan usaha Bank. Dalam hal ini lembaga yang diberikan amanah untuk melaksanakan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Bank adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang No.21 than 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Dalam hal ini pengawasan yang dilakukan OJK termasuk dalam lingkup Pengawasan Eksternal .
 Fungsi Pengawasan Bank Secara Umum
Secara umum dapat dikatakan bahwa Badan atau lembaga yang melakukan Pengawasan terhadap Bank cukup banyak. Namun ditinjau dari segi sumber pengawasan, maka fungsi pengawasan Bank dapat dibagi 2 (dua) yakni Pengawasan Eksternal dan Pengawasan Internal.
1. Peranan dan Fungsi Pengawasan Ekternal,Â
 Adalah merupakan pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga/badan lain diluar dari Organisasi Bank itu sendiri. Termasuk dalam hal ini Pengawasan dari OJK (dahulu BI), dari Auditor Independen/Akuntan Publik.
a. Pengawasan yang dilakukan OJK terhadap Perbankan.
Berdasarkan UU No. 21 tahun 2011 tentang OJK, Â pasal 6 dan Pasal 7 disebutkan bahwa OJK diberikan kewenangan untuk mengatur dan melakukan pengawasan kepada kegiatan usah Bank, yang meliputi :
(1). Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka menciptakan perbankan sehat yang mampu memenuhi jasa perbankan yang diinginkan masyarakat.
(2). Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision). Pengawasan langsung dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus, yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktek-praktek yang tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank. Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan melalui alat pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank, laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya.
Dalam menjalankan tugas pengawasan bank, Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan sistem pengawasannya dengan menggunakan 2 pendekatan yakni pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance based supervision) dan pengawasan berdasarkan risiko (risk based supervision/RBS). Kedua tugas pengawasan tersebut dilaksanakan secara serentak oleh Otoritas Jasa Keuangan guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengawasan.
a). Â Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan (Compliance Based Supervision)
Pendekatan pengawasan berdasarkan kepatuhan pada dasarnya menekankan pemantauan kepatuhan bank untuk melaksanakan ketentuan ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank. Pendekatan ini mengacu pada kondisi bank di masa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar menurut prinsip-prinsip kehati-hatian.
b). Pengawasan Berdasarkan Risiko (Risk Based Supervision)
Pendekatan pengawasan berdasarkan risiko merupakan pendekatan pengawasan yang berorientasi ke depan (forward looking). Dengan menggunakan pendekatan tersebut pengawasan/pemeriksaan suatu bank difokuskan pada risiko-risiko yang melekat (inherent risk) pada aktivitas fungsional bank serta sistem pengendalian risiko (risk control system). Melalui pendekatan ini akan lebih memungkinkan otoritas pengawasan bank untuk proaktif dalam melakukan pencegahan terhadap permasalahan yang potensial timbul di bank.
Adapun resiko yang dihadapi bank adalah : Risiko Operasional, Risiko Kredit, Risiko Likuiditas,Risiko Pasar,Risiko Hukum,Risiko Reputasi,Risiko Strategik, Risiko Kepatuhan.
b. Pengawasan Auditor independen, dilaksanakan oleh Akuntan Publik
2. Peranan Fungsi Pengawasan Internal
Pengawasan Internal merupakanan pengawasan yang dilakukan oleh organ internal bank itu sendiri baik pengawasan langsung maupun pengawasan tidak langsung. Tingkat pengawasan internal terhadap kegiatan usaha bank dilakukan secara berjenjang dimulai dari pengawasan atas setiap eksekusi/transaksi oleh atasan langsung (pengawasan melekat), pengawasan dari  internal control dan badan audit internal serta pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Komisaris yang terdiri dari Komisaris Independen dan komisaris Non Independen. Selain itu Pengawasan Internal Bank juga dilaksanakan oleh Direktur Kepatuhan.
Dalam menjalankan fungsi pengawasan internal perbankan ada tiga tingkatan tugas pengawasan internal yang harus dilaksanakan oleh setiap bank yaitu, level eksekusi dan transaksi, level kontrol dan verifikasi serta level kebijakan dan prosedur.
Pada level pertama, seorang internal kontrol bank akan melakukan pengendalian melalui prosedur kerja yang dirancang sedemikian rupa, sehingga terbangun mekanisme check and balance.Â
Hal ini untuk memastikan bahwa setiap pegawai yang terlibat dalam eksekusi dan transaksi telah melaksanakannya sesuai dengan standar baku/SOP yang ada. Melalui mekanisme ini, diharapkan akan mampu meminimalisir terjadinya kesalahan (error), penyimpangan dan penyelewengan (fraud) yang dilakukan pihak-pihak di internal bank.
Sedangkan pada level kedua, yakni kontrol dan verifikasi, auditor internal bank akan membantu direksi dalam pengawasan terhadap keuangan, akutansi, operasional dan kegiatan lainnya melalui mekanisme pemeriksaan langsung maupun tidak langsung. Pada poin ini, peran audit internal lebih pada pengecekan atas transaksi yang sudah berlangsung.
Sementara pada level ketiga, pengawasan internal bank dijalankan oleh direksi khususnya Direktur Kepatuhan dan Dewan Komisaris (independen). Tugas Direktur Kepatuhan inilah yang memastikan bahwa semua pelaksanaan kebijakan, aturan, dan ketentuan telah dipenuhi oleh manajemen. Direktur ini yang melaporkan secara berkala akan berbagai temuan yang dilakukan di bank itu ke OJK
Sedangkan Komisaris Independen selain memiliki tugas pengawasan, juga memiliki yang sangat strategis yakni dalam penyusunan strategi bisnis dan kebijakan bank yang selalu harus berada dalam jalur kehati-hatian (prudent) dan tidak melanggar ketentuan.
Dengan adanya pengawasan bank secara berlapis seperti telah dijelaskan di atas diharapkan bank-bank akan melakukan kegiatan usahanya dalam koridor sebagaimana diatur oleh Undang-Undang.
C. PENGAWASAN INTERNAL OLEH DEWAN KOMISARIS
Keberadaan Dewan Komisaris dalam industri perbankan merupakan suatu kewajiban yang diamanahkan Undang-Undang. Untuk Bank Pembangunan Daerah yang merupakan Perusahaan Perseroan Daerah yang berbentuk Perseroan Terbatas keberadaan Dewan Komisaris diatur dalam UU No. 23 thn 2014 tentang Pemerintahan Daerah[2] dan PP No. 57 thn 2017 tentang BUMD. Dewan Komisaris pada dasarnya merupakan wakil pemegang saham dalam sebuah perusahaan.Â
Dalam melakukan pengawasan, dewan komisaris lebih berorientasi untuk memastikan agar misi dan tujuan utama pendirian perusahaan tersebut dapat tercapai. Oleh sebab itu pengawasan yang dilakukan mencakup aktivitas menejemen supaya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam anggaran dasar Perusahaan serta ketentuan dari Undang-undang No 10 tahun 1998 tentang Perbankan.Â
Dengan demikan cakupan pengawasan yang dilakukan Dewan Komisaris sangat luas dan meliputi pelaksanaan program kerja, manajemen, kondisi keuangan dan kepatuhan terhadap ketentuan umum yang berlaku dalam lingkungan perbankan.
 Hal-hal yang harus dilakukan Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan untuk masing-masing bidang meliputi sbb :
 1). Pengawasan bidang Program kerja.
 Program kerja ini  merupakan rencana kerja (Business Plan) baik berupa rencana kerja jangka pendek maupun rencana kerja jangka panjang yang harus menjadi acuan dasar bagi manajemen dalam melaksakana tugasnya. Didalamnya mencakup rencana perluasan jaringan kantor, rencana pengembangan sumber daya dan rencana ekstensifikasi layanan yg akan diberikan kepada masyarakat.Â
Karena pelaksanaan program kerja ini berkaitan langsung dengan target-target yang harus dicapai, maka Komisaris harus melakukan pengawasan yang lebih intensif sehingga target-target yang telah ditetapkan pemegang saham dapat tercapai dengan baik dan sehat.Â
Pengawasan terhadap program kerja ini dimaksudkan untuk mengetahui sampai sejauh mana hasil-hasil telah dicapai, apakah pencapaian kinerja keuangan tersebut dicapai melalui cara-cara yang memenuhi aturan yang berlaku (patuh/comply) atau tidak, hambatan apa yang seringkali menganggu dan langkah strategi mana yang dipilih untuk mengurangi hambatan tersebut.
 2). Pengawasan terhadap manajemen
 Pengawasan ini bertujuan untuk memperoleh keyakinan bahwa manajemen telah melaksanakan aktivitas sesuai dengan wewenang yang diberikan, mentaati ketentuan yang berlaku dan semua keputusan yang dilahirkan tidak akan membahayakan kelangsungan usaha.Â
Di samping itu harus dipastikan apakah manajemen bank telah menyusun sistem kontrol internal yang memadai sehingga aktivitas usahanya akan terlindungi dari kemungkinan terjadinya penyimpangan.
 3). Kondisi keuangan
 Kondisi keuangan bank perlu dipantau secara periodik karena bidang inilah yang senantiasa memberikan gambaran tentang meningkat tidaknya bidang usaha yang sedang dijalankan. Pantauan terhadap bidang ini biasanya mencakup keadaan permodalan, pengaturan likuiditas, keadaan rentabilitas, keadaan kualitas aktiva produktif  (KAP) dan pembentukan cadangan aktiva produktif.
 4). Kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku ( Compliance)
 Dalam hal ini komisaris melakukan pengawasan agar para pemilik dan atau manajemen senantiasa menjalankan kegiatan usaha perbankan dengan tetap berpedoman pada prinsip kehati-hatian (Prudential Banking Priciple) dan kepada ketentuan yang berlaku.Â
Dalam kondisi persaingan yang sangat ketat Bank dituntut untuk memiliki sistem pengawasan yang tepat dan dapat bekerja secara efektif serta berfungsi sebagai pengaman atas setiap eksekusi dan transaksi yang dilaksanakan . Di samping itu tumbuhnya jaringan kantor serta kompleksitas produk yang ditawarkan dapat menimbulkan masalah tersendiri yang berkaitan dengan rentang kendali pengawasan.Â
Rentang kendali yang cukup luas biasanya melahirkan kelemahan dalam pengawasan, sehingga terbuka peluang bagi kemungkinan terjadinya penyimpangan yang merugikan eksistensi bank yang bersangkutan. Apalagi bila rentang kendali yang sangat luas ini tidak didukung oleh sistem informasi manajemen yang memadai, apabila terjadi penyimpangan akan mengalami kesulitan untuk melacaknya.Â
Oleh sebab itu peran kontrol internal menjadi sangat penting dan harus memperoleh perhatian sungguh-sungguh dari Dewan Komisaris sebagai wakil Pemegang saham.
Efektivitas internal kontrol akan mempengaruhi pencapaian kinerja bank secara sehat dan berhasil. Adanya penilaian sistem pengawasan internal, diharapkan dapat menjadi masukan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk mengetahui efektif tidaknya penerapan ketentuan dibank tersebut.
 Dewan Komisaris Bank bertugas melakukan Pengawasan terhadap kegiatan usaha Bank dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas-tugas Direksi Bank sesuai dengan ketentuan Peraturan OJK No.55/POJK.03/2016, Pasal 31 ayat (2),(3), yang berbunyi sbb[3]:
      Ayat 2 : Dewan Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap  pelaksanaan  tugas dan tanggungjawab Direksi serta memberikan nasihat        Direksi
Ayat 3 Â : Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris wajib mengarahkan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan strategis Bank.
D. PENUTUP.
1. Kesimpulan
Meski tindakan pengawasan di industry perbankan telah dilaksanakan berlapis dan berjenjang, tapi dalam kenyataan masih banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Artinya bahwa tugas pengawasan yang telah dibuat berjenjang dan berlapis tersebut bukan berarti akan menjamin bakal tidak ada permasalahan yang menyangkut penyimpangan dan penyelewengan dibank tersebut.Â
Hal ini sangat tergantung kepada kualitas SDM yang ditugaskan menjadi pengawas maupun karyawan yang melakukan eksekusi dan transaksi sehari hari disetiap Bank. Jika kualitas prilaku semua pihak yang terlibat dalam pengawasan dan operasional buruk (integritas dan kejujuran tidak terjaga) maka saya kira permasalahan di bank akan tetap sering terjadi.Â
Tetap terbuka adanya kemungkinan bank bermasalah yang dipicu oleh berbagai sebab. Bisa karena persoalan dari internal penyimpangan atau penyelewengan yang dilakukan internal pegawai (fraud) atau juga permasalahan yang berasal dari eksternal. Permasalahan yang timbul dari internal dapat dikatakan sepenuhnya merupakan salah satu bukti kelemahan pengawasan yang dilakukan oleh bank tersebut.Â
Selain itu permasalahan bisa terjadi karena tata kelola yang diterapkan dalam bank tersebut belum berjalan dengan baik, dimana manajemen bank tersebut sering tidak menerapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan sehat yang meliputi prinsip akuntabilitas (accountability), keterbukaan (transperancy), pertanggungjawaban (responsibility), Independensi (independency).
 2.  Saran
1). Sistem pengawasan bank secara internal perlu lebih diperkuat melalui penguatan dan peningkatan kualitas SDM yang diberi kepercayaan sebagai internal control dan auditor internal. Agar mereka dibekali dengan pelatihan dibidang kompetensi pengawasan (menyangkut ketentuan, SOP dan alur setiap eksekusi dan transaksi dan dokumen yang terjadi sehari-hari), pelatihan motivasi dan penguatan dibidang budaya kerja perusahaan. (corporate culture).
2). Melakukan transformasi budaya kerja untuk memperkuat bisnis. Tranformasi diawali dengan penguatan program budaya kerja yang unggul/kokoh yang menggambarkan perilaku kerja yang harus dilakukan seluruh pegawai dalam menjalankan tugasnya sehari hari.Â
Adanya budaya kerja yang kuat dan dipedomani serta ditaati oleh seluruh pegawai akan menghantarkan bank dalam posisi yang siap bersaing, khususnya menghadapi tantangan kedepan dalam memasuki era Revolusi Industri 4.0.
Untuk itu manajemen Bank harus berani melakukan transformasi Budaya Kerja Perusahaan ini ( Corporate Culture Transformation)  dengan menyusun cetak biru Budaya Kerja yang menggambarkan Visi dan Misi yang hendak dicapai. Dewan komisaris dalam hal ini dapat mendorong  manajemen melakukan transformasi dengan menyusun sebuah cetak biru Budaya Kerja Perusahaan dan penguatannya.
3). Perlu dibentuk dan dididik agen perubahan (change agent) untuk mempercepat akselerasi transfomasi budaya kerja. Para change agent diambil dari karyawan yang mempunyai komitmen yang tinggi dalam melaksanakan budaya kerja tersebut yang disebar kesemua unit kerja/cabang.Â
Para change agent ini juga harus didorong menjadi pelopor, pendobrak dan agen perubahan disetiap unit kerja/cabang agar budaya kerja tersebut dapat diterima dengan baik dan penuh kesadaran oleh seluruh karyawan. Mereka dibekali dengan training motivasi untuk menjadi role model yang dapat menularkan prinsip-prinsip budaya kerja yang baik dalam perilaku kerja karyawan sehari-hari.
Dengan terimplementasi dan terinternalisasinya budaya kerja kepada seluruh pegawai, maka penyimpangan dan penyelewengan serta ketidaktaatan terhadap ketentuan dari seluruh pegawai akan semakin berkurang. Perilaku budaya kerja yang baik ini juga akan memperbaiki kualitas layanan, meningkatkan bisnis dan meningkatkan kualitas aktiva produktif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H