“Brm brm brm”,
Kedua moge itu berhenti menyilang menghadang jalan Raito yang berjalan melewati jalan perumahan sunyi itu.
Preman berkacamata hitam itu membuka kacamatanya, menaruh kacamata itu di saku depan bajunya yang tertutup jaket hitam, memandangi Raito dengan tatapan tajam, sementara preman satunya membuang puntung rokok dan berjalan mendekati Raito.
Raito berjalan mundur berusaha menjauh dari kedua preman itu dengan kaki yang bergetar sedikit takut. Pada saat yang bersamaan, dari arah belakang kedua preman itu, seorang perampok yang mengenakan jaket kulit hitam sama dengan yang dipakai preman itu lari dari kejaran massa. Ketika berdekatan dengan preman itu, perampok tersebut melempar tas hasil rampokan ke pangkuan preman itu. Raito tak menyia-nyiakan kesempatan itu. ia berteriak dengan jarinya menunjuk ke arah kedua preman itu.
"KOMPLOTAN...KOMPLOTAN..."
Kedua preman itu bingung lalu ikut berlari. Perampok yang asli berlari berbelok ke arah kanan dan ke dua preman itu berlari berbelok ke arah kiri. Sementara massa terbelah menjadi dua untuk mengejar perampok dan preman yang berlari berlawanan arah itu. Ketika suasana sudah sepi, Raito dengan tenangnya melarikan diri dari TKP, tersenyum dan berbicara sendiri.
“ Dasar preman bodoh.”
Sementara kedua preman itu sembunyi dari kerumunan massa di balik tong sampah yang besar di balik gedung yang berhimpitan,
"Bodoh, kenapa kamu masih saja pegang tas itu!"
Preman yang satunya lalu melempar tas itu jauh dan jatuh di trotoar. Salah satu massa yang tahu dari mana arah tas jatuh langsung mengajak kawan-kawannya mengepung tempat persembunyian kedua preman itu. Mereka dihajar habis-habisan, sekalipun mereka memberikan perlawanan, namun, tubuh mereka tetap tak kuat menahan pukulan dan tendangan dari 25an orang. Sepuluh menit kemudian tiga orang Polisi datang menyelamatkan preman itu.
"Kalian salah keroyok."
Polisi itu memisahkan kedua preman dengan kerumunan massa dan membubarkan mereka.
Massa tanpa ada perasaan bersalah meninggalkan kedua preman yang babak belur itu. Polisi yang sudah kenal dengan preman di lingkungan itu menyuruh mereka ke rumah sakit untuk perawatan. Tapi mereka sok kuat,
"Tak apa pak, kami pulang saja."
Mereka pulang dengan jalan tertatih-tatih. Mereka melewati jalan perumahan dan mendapati mogenya yang diparkir di pinggir jalan hilang.
Mendengar cerita itu Bos Ersa tersenyum lalu turun dari tangga teras mendekati kedua anak buahnya, berdiri ditengah keduanya yang sedang berdiri di halaman rumahnya dan memberi ciuman pipi kepada kedua anak buahnya itu. Lalu Ersa merogoh saku jaket kulitnya, memberi uang satu juta untuk pengobatan dan kalau bersisa ia meminta mereka untuk mengajak teman-teman yang lain berpesta satu hari setelah itu. Ersa meminta mereka ke rumah sakit saat itu juga karena Ersa mau beristirahat. Ia juga berharap mereka tidak memikirkan masalah dengan orang yang dia suruh untuk dihajar. Dan mengingatkan mereka kalau Moge mereka biar diurus oleh pamannya.
"Ok bos"
Kedua preman itu lalu pergi ke rumah sakit terdekat menunggangi mobil yang dipinjami oleh Ersa. . Setelah itu Ersa masuk ke rumah dan menutup pintu depan. Ersa berbicara sendiri.
"Temanmu itu benar-benar menarik."
"Teman siapa kak?"
Risa mengagetkan kakaknya.
"Bukan siapa-siapa dik, tidur saja sana, sudah malam ini."
Dengan bibir cemberut Risa menuruti kata-kata kakaknya kembali ke kamar. Hari itu, hari yang cukup sibuk bagi keempatnya.
Sabtu, 8 Oktober 11. Pagi hari, Raito seperti biasa bangun pukul 04.00. Kali ini, Olan juga bangun sesuai alarm Raito. Olan menengok Raito di kamarnya. Tak seperti biasa, Raito sedang memegang raket tenis Wilson kesayangannya dengan tangan kirinya, mengayunkan raketnya di kamarnya itu seolah-olah sedang bermain tenis.
Raito mengajak Olan untuk bermain tenis lagi pagi itu. Tetapi, ajakan itu lagi-lagi ditolak oleh Olan.
Olan bertanya.
"Eh bagaimana tangan kananmu?"
"Setelah pin itu dilepas sebulan lalu, masih lemas tangan ini."
Kata Raito sembari menggerakkan pergelangan tangan kanannya. Dan menyatakan ketidakyakinan dia akan bermain tenis menggunakan tangan kanannya untuk sementara waktu.
Olan kemudian ingat dengan pak Eko, Pelatih Raito semasa smp-sma-kuliah yang menghubunginya dan meminta Raito untuk ikut seleksi pemain porda yang akan diadakan minggu depan.
"Kita lihat saja nanti."
Jawab Raito. Raito menaruh raketnya dibawah foto seorang wanita menawan yang mengenakan gaun kuning, berambut coklat muda yang dihiasi bando berwarna kuning. Foto itu dipigura ukiran kayu dan dihiasi berbagai bando warna-warni yang terpasang mengitarinya. Raito lalu mencium bibir yang berukuran sedang dan berwarna peach di foto itu cukup lama. Olan menggelengkan kepalanya ketika melihat kelakuan Raito tersebut, lalu pergi kembali ke kamarnya dan menutup pintu kamar Raito.
Pagipun berlalu. Raito berangkat ke kelas pelatihan pertemuan 8. Tak banyak perubahan, Raito masih tetap bersama Andi dan Renan menghuni bangku belakang. Risa di bagian tengah tepi kanan. Sementara teman-teman Risa, Rina, Wanda, dan Tyna berubah haluan untuk duduk sederet di depan bangku Raito, Renan, dan Andi. Dosen masuk.
Dosen itu memberi informasi kalau ia mendapat sms dari seseorang yang mengaku sohib dari penulis novel yang dijadikan tugas itu. Ia juga mengatakan bahwa penulis aslinya mengikuti kelas pelatihan di kampus ini yang berarti saat ini penulis itu sedang duduk diantara para mahasiswa.
Dosen itu dengan lantangnya,
“Bagi yang merasa, silahkan maju ke depan."
Para mahasiswa, berbisik-bisik penuh tanda tanya, tak terkecuali dengan Renan dan Andi. Jantung Raito berdegup kencang, dalam pikirnya 'Sial, ini pasti kerjaan Olan, tapi darimana dia tahu kalau tugas ini menggunakan objek novelku? Darimana pula ia tahu nomor handphone dosen. Kenapa ketahuan secepat ini?'
Raito mulai berpikir hal-hal semakin mengacaukan pikirannya sendiri. Karena tidak ada yang maju, dosennya pun kemudian.
"Saya sebenarnya sudah diberi tahu siapa, sekarang kita tunggu saja reaksi dari orangnya."
Risa bangkit dari duduknya membawa novel itu. Seluruh mata di kelas itu memandangnya heran. Rina, Wanda, Tyna juga. Tak ketinggalan Raito juga diam memandangi Risa. Risa lalu berjalan menuju bangku belakang, berdiri tepat di depan bangku Raito.
"Tanda tangani bukuku ya Rajasa."
Dengan suara khasnya dan sedikit lantang, Risa menaruh novel itu di meja Raito, kata-kata Risa terngiang dengan jelas di telinga Raito dan beberapa siswa yang didekatnya. Risa meninggalkan novel itu di meja Raito dan kembali ke bangkunya. Seseorang yang menyadari situasi yang terjadi bersiul, “Cuit cuitt...” Sementara yang lainnya bertepuk tangan.
“Dia rupanya.”
Raito masih dengan gugupnya maju ke depan kelas. Raito mendapat pengarahan dari dosennya. "Tak usah malu."
Riuh tepuk tangan kembali membahana di dalam kelas.
“Sekarang, perkenalkan dirimu."
Lanjut sang Dosen.
“Nama saya Raito Harja Prakasa, Rajasa diambil dari,”
Raito menuliskan namanya di papan tulis dan menulis huruf kapital huruf-huruf yang menyatukan namanya agar menjadi Rajasa.
"Nah, pekerjaanmu selanjutnya yaitu menilai hasil resensi temen-temenmu.”
Kata Dosen.
Beberapa orang di dalam kelas tertawa meremehkan, sementara yang lainnya bersuara,
"Huuu, dosennya cari enaknya saja."
"Ha ha, bukan begitu, saya hanya ingin dia mengapresiasi hasil pengamatan orang lain. Ayo sekarang kumpulkan tugas kalian."
Tugas pun dikumpulkan dan sekarang menumpuk di depan Raito yang duduk di bangku depan kelas. Sementara dosennya menerangkan beberapa materi kesusastraan jaman dulu sambil berjalan-jalan diantara bangku mahasiswanya. Selesai memberi nilai resensi dari tugas kawan-kawannya, Raito kembali ke bangkunya.
"Sudah Pak."
"Ya, terima kasih.”
Di mejanya Raito sekarang tertumpuk novelnya sendiri sejumlah siswa di kelas itu. 60 orang. "Tanda tangani semuanya ya kawan!"
Kata Renan sambil menepuk bahu kawannya itu. Raito menghela napas panjang, mengambil pulpen dan menanda tangani di bagian tebal buku. Selesai kelas, Selesai pula tugas tambahan Raito. Novel itu dikembalikan semua ke pemiliknya dan Raito mendapat tepukan bahu dari kawan-kawannya ketika mereka mengambil buku itu dari meja Raito.
"Ditunggu jilid selanjutnya!"
Kata mereka, tanpa disadari, Raito dikenal banyak teman dihari itu karena teman sekelasnya akhirnya mengenal dia semuanya. Renan pamit kepada Raito sambil menjinjing tas besar dengan merk yang terkenal di permainan tenis.
"Eh, kamu pemain tenis? Untuk apa kau bawa raket di kelas?"
"Ya, nanti selesai kuliah aku mau latihan untuk persiapan porda.”
Raito kemudian meminta Renan untuk berlatih tanding keesokan harinya di lapangan perumahan yang seharusnya sepi di hari kerja. Renan mengiyakan ajakan itu dan bersegera untuk pindah kelas.
Sementara itu buku didepan Raito sudah diambil semuanya oleh pemiliknya. Tinggal satu tersisa. Dan di kelas pun hanya menyisakan Raito dan Risa yang masih duduk di bangkunya. Raito berdiri, membawa bukunya, menghampiri Risa.
"Nih, sudah kutandatangani"
"Eh, terima kasih ya."
Risa berdiri, mencoba menahan tangan Raito yang sedang bergerak kembali ke bangkunya, Risa kemudian meminta maaf kepada Raito atas kejadian sewaktu di loket itu, waktu itu ia bilang kalau ia tak bermaksud mengacuhkan Raito karena waktu itu Risa berdalih mau menelpon seseorang, eh Raito menghampiri, jadinya ia pergi begitu saja.
Raito terkaget dengan pengakuan Risa,
“Kamu masih ingat saja kejadian tempo hari, tapi baguslah kamu mengatakannya.”
Raito mengira Risa itu anak orang penting yang tak tersentuh orang lain. Menurut raito hal itu juga diperjelas dengan mata yang lain saat memandang Risa. Terasa sekali ketakutan mereka.
"Nah sekarang kita sudah saling kenal kan."
Risa menyodorkan tangannya. Raito menyalami Risa. Senyum tersungging di bibir keduanya. Keduanya bersama keluar kelas. Sementara beberapa pasang mata memandangi Raito dan Risa di luar jendela.
"Sebentar lagi, si Raito pasti mampus."
Bisik mereka. Seakan tak menghiraukan suara-suara itu, Raito mengajak Risa pulang bersama. Ajakan itu dijawab dengan anggukan oleh Risa. Dalam perjalanan di lorong kampus Raito teringat sesuatu.
"Eh, tapi bagaimana kau tahu kalau aku yang menulis novel itu?"
"Rahasia ah."
Jawab Risa penuh misteri.
Rina dan Wanda mendekati Raito dan Risa yang berjalan beriringan bak pasangan baru ini.
"Cie cie."
"Apa-apaan kamu Wan!"
Risa menimpali dengan mencubit Wanda dengan suara sedikit sewot.
"Huh, kamu mengambil jatahku Ris."
Gerutu Rina.
"Rit, tadi dicari Andi, itu orangnya."
Kata Wanda. Andi berlari mendekati mereka sambil berteriak.
"Rajasa, Rajasa, pinjem rajasanya sebentar,”
Sambil menarik Raito yang patuh saja dirangkul dan diseret Andi dengan tangan kirinya. Rina pun mengikuti sambil menggandeng mesra tangan kiri Raito dan memamerkannya kepada Risa. Sementara Wanda menahan Risa yang berusaha mendekati Rina karena incarannya diambil.
Wanda mengingatkan Risa kalau bukan hal yang baik buat pria yang mendekatinya selama mata-mata kakaknya yang over protektif itu masih disekitar Risa.
"Aku sudah bilang kakakku kalau yang satu ini jangan ikut campur!"
"Walaupun kakakmu bilang begitu, sekarang lihat saja kenyataannya di sekitarmu."
Risa terdiam. Wanda berbisik di telinga Risa kalau Wanda curiga ada tiga orang yang sedang menyamar menjadi mahasiswa yang memperhatikan Risa, Wanda merasa mereka bertugas menjaga Risa. Sementara dua orang memperhatikan Raito. Tetapi, ketika Raito menjauh dari Risa, mereka berlima sekarang hanya memandangi Risa.
“Kamu yakin itu anak buah kakakku Wan?”
“Yakinlah Ris, tampang tua seperti mereka. Kamu percaya aku kan Ris?”
“Emm..., Ya, aku percaya kamu kok.”
Risa menjawab dengan menghela napas pasrah tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Wanda memberi solusi Risa dengan mengantarnya pulang dengan mengendarai motor mionya dan juga untuk meyakinkan apakah anak buah kakaknya mengikuti mereka atau tidak.
"Lalu Raito bagaimana?"
“Dia akan aman selama kamu tak mendekatinya di tempat umum."
Risa diantar pulang Wanda, memang benar kelima anak buah Ersa mengikuti dengan moge mereka. Namun, sesampai di rumah, mereka tak terlihat lagi.
Kembali ke kampus. Andi memanfaatkan Raito sebagai objek. Tyna menggelar bazaar buku di kampus. Raito ditemani Rina duduk menunggu orang yang berkeinginan novelnya ditandatangani. Beberapa orang mulai mengerumuni jualannya Andi dan Tyna.
"Jadi ini yang namanya rajasa?"
"Ya"
Jawab Rina yang duduk disamping Raito, beberapa orang mengantri untuk mendapat tanda tangannya dengan membawa novel pertamanya. Tak lupa juga Andi menjual beberapa buah novel pertama kawannya itu. Hari mulai sore, kampus mulai sepi. Raito terbebas dari kekangan kawannya.
"Novelmu cukup laris disini."
"Terima kasih juga sudah dijualin. Kita semua sama-sama capek kok."
Terlihat Tyna mengusap keringat yang mengucur di pipi Andi dengan sapu tangannya sedikit mesra. Cukup paham akan situasi yang terjadi
"Eh, Kalian jadian?"
Tyna menaruh jari telunjuk di mulutnya agar Raito diam.
Raito lalu berbisik di telinganya Andi, “Traktir lah ndi.”
"Sip kawan."
Jawab Andi sambil merangkul kawannya itu. Mereka ke warung depan kampus yang berjualan bakso dan mie ayam. Rina tak terlihat karena sudah pulang ketika Raito sibuk menandatangani novel pertamanya.
"Tyn, kau punya nomornya Risa?"
Tanya Raito ketika mereka menunggu pesanan datang.
"Sebaiknya kamu membelikan Risa handphone baru plus nomornya daripada minta punyanya."
"Kenapa memang?"
"Ikuti saja saranku."
Masih dalam kebingungannya, pesanan mereka datang. Selesai makan, mereka berpisah. Hari itu berakhir dengan kebingungan Raito mengenai hal-hal yang menurutnya janggal tentang Risa.
Minggu, 9 Oktober 11. Keesokan harinya. Raito datang sendiri, Sementara Renan tiba lebih awal bersama Wanda dan Ramsi di lapangan tenis rumput perumahan itu. Memang benar dugaan mereka, tempat itu sepi dihari kerja apalagi pagi hari.
Renan, Wanda, dan Ramsi yang lebih dulu sampai, sudah berlatih di lapangan sementara Raito sedang bersiap-siap. Raito mendatangi Renan dan kawannya.
Mereka saling menyapa dan Renan memperkenalkan Ramsi kepada Raito. Ramsi menyalami Raito.
"Kalau itu si Wanda kan?"
Raito melambaikan tangannya ke Wanda. Wanda yang sedang belajar mengayun raket membalas lambaian tangan itu.
Raito yang merasa janggal akan kehadiran Wanda menanyakannya ke Renan.
Renan tersenyum dan membalas Raito,
“ Urusan pribadi kawan, privacy protected.”
Raito tersenyum tak melanjutkan interogasinya.
"Bagaimana kalau sekarang permainannya dihitung?"
Ujar Raito. Ramsi yang sudah terlihat capek tak menjawab, ia tampak malas sambil duduk dengan meluruskan kakinya. Sementara Wanda menjawab.
"Mana paham aku hitungannya, ini saja pertama kali pegang raket!"
Raito dengan isyarat matanya mengisyaratkan ke Renan kalau mereka berdua saja yang bertanding.
Raito di sebelah timur lapangan sementara Renan di bagian barat. Renan melihat Raito yang mengayunkan raket menggunakan tangan kirinya kemudian berteriak.
"Kamu kidal Rit?"
"Tidak, tangan kananku masih sakit Ren!"
"Jah, ngga asyik kalau begini."
"Tenang saja Nan, kalau kamu bisa mengalahkan kidalku 2 set, aku anggap kamu itu pantas jadi wakil daerah."
"Memang kamu itu siapa, sombong kamu!"
"Sudah ah ngomongnya, kapan bermainnya ini!”
Mereka berlatih bola-bola panjang, spin, slice, groundstroke sebelum memulai permainan. Permainan pun dimulai dengan servis dari Renan, dihitung oleh Ramsi, dan ditonton oleh Wanda. Set pertama selesai dengan skor 7-5 untuk kemenangan Renan. Saat istirahat, terlihat Renan sudah mengeluarkan banyak keringat, tampak dari kausnya yang sudah basah kebanjiran keringat, sementara Raito terlihat masih segar bugar. Set kedua pun dimulai dengan servis keras dari Raito. Set kedua berakhir 2-6 untuk kemenangan Raito.
Renan dengan napas tersengal-sengalnya seakan tak percaya dikalahkan satu babak oleh tangan kidal dari seseorang yang tak dikenal seperti Raito. Ia lalu sedikit memaksa Raito untuk mengikuti porda. Renan juga menceritakan tentang Turnamen Tennis Men Internasional yang rutin diadakan di Jakar setiap tahun dimana dia tahun ini tertahan di perempatfinal dan berharap bisa melihat kiprah Raito di Turnamen itu tahun depan.
Raito hanya tersenyum mendengarnya sambil mengambil bola yang menyangkut di net.
"Bagaimana tidak hebat, dia itu finalis kejuaraan itu tiga mmh mmh."
Cerocos Olan yang datang tiba-tiba di tengah lapangan dan secara cepat pula mulutnya dibekap Raito.
"Apa, finalis?"
Olan yang mulutnya terlepas dari bekapan Raito nyerocos lagi
"Ea, sayang, orang ini kalah secara bye gara-gara tidak hadir di pertandingan finalnya."
Kata Olan yang berbicara cepat sekali sebelum Raito membungkan mulutnya lagi.
Renan masih dalam keterkejutannya, sementara Ramsi dan Wanda terbengong-bengong di pinggir lapangan tak paham apa yang mereka bicarakan.
"Jadi kamu orang yang sering dibicarakan pelatih karena menghilang untuk sekian lama?"
Renan dengan suara terkejutnya.
Turnamen Tennis Men International itu diikuti oleh pemain pro tier/tingkat 3 di dunia. Petenis rangking puluhan apalagi para juara grand slam tak akan ada yang mengikutinya karena tentunya mereka lebih memilih beristirahat ataupun berpartisipasi di kejuaraan yang lebih bergengsi seperti WTA Tour Master, Open Turnament yang diadakan di beberapa negara ataupun Grand Slam. Tetapi jika memang benar ada anak bangsa yang mampu menjadi finalisnya, itu prestasi yang luar biasa. Renan merasa Raito seharusnya sudah bermain di level series international saat ini.
"Nah, itu tak akan terjadi."
Raito menyambar tas tenis sembari masih menutup mulutnya Olan pamit pulang.
"Sorry, aku balik dulu."
"Minggu depan kau ikut kan?"
Kata Renan berteriak.
"Kita lihat nanti."
Kata Raito yang kemudian menyuruh Olan menyetir Avanzanya untuk pulang.
Renan mengernyitkan dahi memandangi Olan. Dan menanyakan tentangnya kepada Wanda dan Ramsi yang sedari tadi memperhatikan.
"Dia kok mirip dengan model yang ada di iklan jamu itu ya?"
"Mirip."
Jawab Wanda. Mereka beristirahat cukup lama di lapangan tenis itu sebelum pulang. Renan sampai di rumah, menelpon pelatihnya yaitu pak Eko.
Dari telpon itu, Renan mendapat informasi bahwa memang benar Raito adalah pemain yang sering dibicarakan para pelatih, Ia juga adalah finalis kejuaraan Tennis Men Internasional di Jakar 3 tahun lalu yang itu merupakan kejuaaraan pertama sekaligus terakhirnya, namun tak menghadiri pertandingan final, para pelatih walaupun tahu sebabnya tetapi tak mau membicarakannya. Cedera tangan kanan itu merupakan cedera yang tak sembuh-sembuh selama 3 tahun yang Raito sendiri sepertinya tak berkeinginan untuk mengobatinya. Kemudian dia menghilang bagai ditelan bumi dari kehidupan tenis. Dan sekarang, orang itu diharap kembali oleh sebagian besar pelatih dan juga Renan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H