Mohon tunggu...
Ana
Ana Mohon Tunggu... Lainnya - Perangkai kata

Menemani anak salah satunya juga mengajarkan bersikap sebagai manusia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Kita yang Tak Pernah Terlupa

11 September 2020   20:06 Diperbarui: 11 September 2020   20:09 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah enam bulan ini Heru dan Nami pisah rumah. Berharap semua baik-baik saja. Tidak terkecuali tiga anak mereka.

Perpisahan selalu jadi akhir menyakitkan. Apapun alasannya. Ketika dua orang yang pernah saling cinta kehilangan visi dan misi bersama.

Aaah ... Cinta pada akhirnya habis dimakan waktu, untuk seorang Heru yang gila kerja dan gila perempuan. Seorang istri  hanya sambil lalu. Sedang anak? Hadiah sebuah pernikahan.

LICIK!!

"Ayo kita pulang," ajak Heru saat mengunjungi Nami di kediaman orang tuanya.

"Supaya rumah ada satpamnya?" jawab Nami.

"Kau kan masih istriku?"

"Hah! Simbol."

"Terus kamu maunya kita bercerai? Ok ... Ok, nanti kuurus perceraian kita."

"Semakin cepat semakin baik. Aku sendiri sudah muak hidup dengan buaya sepertimu."

***

Hujan bulan Januari lebih lebat dari biasanya. Sepulang kerja yang tersisa tinggal satu stel pakaian basah. Nami memandang dengan wajah berkerut.

"Haduuh ... tas basah lagi. Mudah-mudahan isinya selamet, mana ada file perusahaan di situ," keluh Nami.

"Kalo capek biar Anto yang cuci, Ma!" seru anak keduanya dari ruang TV.

Nami menoleh. Anak keduanya itu  memang lebih perhatian dari yang lain.

"Kamu jangan TV terus diplototin. Belajarnya udah belum, Dek?"

"Hehehe ... bentar lagi, Ma. Gho Han lagi rame nih," ujar anak bungsunya.

Nami geleng-geleng kepala. Melangkahkan kaki menuju kamar. Lalu, merebahkan tubuhnya yang penat. Sepertinya belum lama Nami memejamkan matanya. Seketika terdengar ketukan di pintu kamar.

"Mama ...." Suara Lili, anak pertamanya.

"Ya Sayang, masuk aja. Mama belum tidur, kok!"

Pintu terbuka. "Ma ... ada Ayah."

Nami terhenyak sesaat. "Ayahmu?"

"Iya, Ma. Ayah Heru."

Nami segera keluar menemui pria yang disebut ayah oleh anaknya. Berjalan perlahan menuju ruang tamu. Dari kejauhan memang tampak Heru sedang ngobrol dengan Raka dan Anto. Mereka berdua terlihat serius. Entah ada masalah apa.

Kehadiran Nami di antara anak-anak tangga sudah dapat dirasakan Heru. Pria itupun menoleh ke arahnya sambil tersenyum.

Setelah dua tahun berselang semenjak mereka berpisah. Inilah kali pertama mereka bertemu. Sedikit banyak memang ada perubahan. Heru tampak lebih kurus dari yang dulu. Meskipun wajahnya masih awet muda.

Nami berdiri tepat di hadapan Heru. Matanya menatap dengan penuh selidik. Salah satu kekurangannya memang itu, melihat sesuatu dari sudut paling terburuk.

"Assalammualaikum, Mi," sapa Heru, mantan suaminya.

"Waalaikum salam, Mas. Sudah lama, ya?" Nami duduk berhadapan dengan Heru.

"Maaf, ya. Aku mengganggu waktu istirahat kalian," lanjut Heru. Sesekali tangan pria itu  menyeka keringat yang mengalir di wajahnya.

Mungkin karena uangnya sudah terlalu banyak dan hidupnya lebih bahagia. Heru tampak lebih putih dari dua tahun terakhir Nami melihatnya.

"Kamu ke sini sendiri, Mas?"

"Tidak. Aku dengan seorang sopir. Tuh! Menunggu di mobil." Kembali tangan pria itu menyeka keringat yang mengucur deras di dahinya. "Aku ingin lihat anak-anak, Mi."

"Ooh ... Alhamdulillah mereka baik, kok. Insya Allah aku akan menjaganya dengan baik."

Lili, anak pertamanya datang dengan segelas teh hangat. Nami bantu menyuguhkannya di meja.

"Minum, Mas. Maaf ya gak ada apa-apa. Harusnya kalo mau kemari kabarin aku dulu. Biar kita di sini siap-siap."

"Gak usah repot, Mi. Aku cuma sebentar. Kau kan tahu aku sibuk terus."

Nami sesekali bicara, sering kali diam sembari memperhatikan. Anak-anak juga tak banyak cerita. Karena, memang Heru bukan tipe seorang ayah yang dekat pada kehidupan anaknya dahulu. Buatnya kalo sudah diberi uang, ya selesai masalah.

selesai bercengkrama sedikit dengan anak-anak, Heru pun pamit. Nami dan ketiga anaknya mengantar sampai depan pintu. Dari dalam mobil, Heru melambaikan tangan.

"Ayah, kok lain sekarang, ya, Ma?"

"Iya. Mungkin dia lagi ada masalah kali dengan keluarganya."

"Bisa jadi ... kirain Lili, Ayah udah lupa sama kita, Ma."

Malam berlalu dengan ribuan pertanyaan di benak Nami. Ini tidak biasanya Heru dengan nada lemah menghampiri mereka semua. Secepat itu watak kerasnya hilang? Sungguh tidak masuk akal.

Apalagi dulu, tidak seujung kuku pun Heru menghargai Nami, yang hanya seorang ibu rumah tangga. Setahun sekali punya momongan, selalu lusuh, sibuk dengan anak-anak. Jangankan memakai lipstik, saat masak sarapan saja seringkali dalam keadaan belum mandi, dengan rambut yang asal-asalan dijepit. Demi bisa menyuguhkan sarapan tepat waktu.

Belum lagi bentuk tubuhnya yang makin tidak terurus. Punya tiga anak dengan jarak kelahiran dekat membuat wanita itu berbadan gembrot. Ia wajib makan banyak saat menyusui buah hatinya.

Semua deretan kewajiban seorang istri yang membuat wanita itu sulit menjaga penampilan di hadapan Heru. Nami hanya tahu, kewajibannya sudah ia tunaikan dengan baik, mengurus suami,  rumah dan anak-anak.

Ia tidak pernah tahu, bahwa seorang suami sering kali punya mimpi berlebihan. Tidak perduli betapa istrinya kerepotan, lelah, sakit ... di mata Heru, ia hanya ingin melihat bidadari di rumahnya, dengan alasan. Pulang kerja capek, inginnya di rumah ada hiburan.

Begitupun Heru, memilih bersenang-senang di luar dengan para karyawan yang berpenampilan lebih inyis-inyis.

Cita-cita rumah tangga kadang berubah seiring dengan tekanan, dan masa muda menjadi impian yang ingin diraih sebagai terjemahan dari bahasa awet muda. Padahal nyatanya, tidak ada satupun yang abadi kecuali perubahan itu sendiri.

Nami dan Heru ... Kapal itu akhirnya memilih, KARAM.

***

Sambil merebahkan tubuhnya, mata Nami menatap langit-langit kamar. Satu dua jam berlalu dengan sangat lama. Sebuah notif pesan ponsel menyadarkannya. Segera dibaca dengan teliti. Tampak wajah wanita itu menyiratkan cemas seketika, seolah menunggu pagi tiba, terasa begitu lama.

_________
"Dear Nami,"

"Temui aku untuk terakhir kali. Semua untuk anak kita."

RS. MILEA
Room 37 no. 01.
Lantai 5. Gedung Minangkabau.
_________

Pagi itu. Kamis, 16 Januari 2020. Cuaca Bandung berkabut.  Tak berbeda jauh dengan perasaan Nami saat itu. Kacau dan penuh tanda tanya.

Pintu ruangan terbuka. Dilihat oleh wanita itu, sosok pria yang pernah hidup bersamanya,  sedang tergeletak  dengan wajah pucat dengan sebuah selang oksigen melekat di hidungnya.

Nami berjalan mendekatinya.
"Mas?"
Terasa asing dengan keadaan yang dilihat saat itu. Nami duduk agak berjauhan.

Heru tersenyum, sesekali napasnya tampak berat. "Aku sakit, Mi."

"Ya ... aku tahu."

"Kemarilah agak dekat."  Heru coba melambaikan tangannya.

Nami menggeser duduknya.

Sambil memegang tangan wanita itu. "Maafkan -- aku -- Mi," ucapnya terbata-bata.

Mata wanita itu menghangat. "Ya, Mas. Aku sudah maafkan semua tentang kita." Kenangan saat mereka bersama dahulu kembali terlintas.

Mengapa semua cinta sekarang menjadi luka? Kau adalah pria yang aku puja dahulu dan aku sendiri wanita yang kau perjuangkan dahulu. Kita berjalan, tertatih hingga berlari. Lalu, mengapa semua menjadi tak berarti, sekarang?

"Terima kasih, ya. Kamu memang baik. Aku tidak menyesal menjadikanmu ibu dari anak-anakku."

Air mata wanita itu mengalir perlahan. "Kau sendirian, Mas? Mana keluargamu?" Nami menyapu keadaan sekeliling kamar.

"Aku tidak punya keluarga. Keluargaku, ya ... kalian. Istriku dan anak-anakku."

Nami terhenyak tak percaya. "Tapi ... kita sudah lama bercerai, Mas. Dua tahun yang lalu. Aku sendiri yang menandatangani surat itu."

"Surat itu tak pernah aku proses. Sampai detik ini. Maafkan aku." Heru menarik napas perlahan.

"Hidupku tak lama lagi. Ada beberapa peninggalan atas nama kalian, kutaruh di rumahku. Setelah ini pergilah ke sana. Kunci ada di laci." Heru menunjuk sebuah laci di meja samping brankarnya.

Dilihat oleh Nami, darah segar mengalir keluar dari hidung Heru. Sesekali ia terbatuk dan percik darah tampak di sudut bibirnya. Wajah Heru makin memucat, menahan nyeri di dada. Nami bergegas memanggil dokter dan perawat yang ada di luar ruangan.

"Mi ...," lirih Heru.

Nami memegang tangan lemah itu.

"Ma -- maaf -- kan -- aku."

Nami mengangguk.

"Sampaikan maafku juga untuk anak-anak. Tolong rawat dan temani mereka. Aku percaya ... kamu adalah wanita hebat yang Tuhan ciptakan untukku."

Nami kembali mengangguk.

"Mi ...."

"Ya, Mas ...?"

"Bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kali?" pinta Heru.

Nami memeluk tubuh pria yang ternyata masih mencintainya itu. Meskipun mereka telah lama berpisah. Merasakan dingin dan lemah tubuhnya. Hingga tumpahan demi tumpahan airmata membasahi setelan rawat inap milik suaminya.

"Aku sayang kamu, Mi. Maafkan suamimu, ya," bisik Heru kemudian.

Sesaat kemudian tangan Heru melemah ... rebah ... terkulai. Lalu, tergolek tanpa detak nadi.Tubuhnya semakin dingin. Pria itu pun akhirnya ... pergi.

Isak yang coba ditahan Nami, pecah. Hidup mulai terasa begitu sepi. Entah mengapa,  saat itu Nami baru bisa merasakan arti kata RINDU. Setelah kebencian demi kebencian menumpuk di hati kecilnya.

Kepergian begitu menyakitkan. Penuh urai air mata. Namun, beberapa kepergian kadang harus terjadi demi mengobati sebuah LUKA.

"Maafkan aku juga, Mas." Hatinya terus mengatakan kalimat percuma itu. Hingga ia lupa kapan terakhir ia berhenti meminta maaf pada suaminya.

Fin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun