Air mata wanita itu mengalir perlahan. "Kau sendirian, Mas? Mana keluargamu?" Nami menyapu keadaan sekeliling kamar.
"Aku tidak punya keluarga. Keluargaku, ya ... kalian. Istriku dan anak-anakku."
Nami terhenyak tak percaya. "Tapi ... kita sudah lama bercerai, Mas. Dua tahun yang lalu. Aku sendiri yang menandatangani surat itu."
"Surat itu tak pernah aku proses. Sampai detik ini. Maafkan aku." Heru menarik napas perlahan.
"Hidupku tak lama lagi. Ada beberapa peninggalan atas nama kalian, kutaruh di rumahku. Setelah ini pergilah ke sana. Kunci ada di laci." Heru menunjuk sebuah laci di meja samping brankarnya.
Dilihat oleh Nami, darah segar mengalir keluar dari hidung Heru. Sesekali ia terbatuk dan percik darah tampak di sudut bibirnya. Wajah Heru makin memucat, menahan nyeri di dada. Nami bergegas memanggil dokter dan perawat yang ada di luar ruangan.
"Mi ...," lirih Heru.
Nami memegang tangan lemah itu.
"Ma -- maaf -- kan -- aku."
Nami mengangguk.
"Sampaikan maafku juga untuk anak-anak. Tolong rawat dan temani mereka. Aku percaya ... kamu adalah wanita hebat yang Tuhan ciptakan untukku."