"Ooh ... Alhamdulillah mereka baik, kok. Insya Allah aku akan menjaganya dengan baik."
Lili, anak pertamanya datang dengan segelas teh hangat. Nami bantu menyuguhkannya di meja.
"Minum, Mas. Maaf ya gak ada apa-apa. Harusnya kalo mau kemari kabarin aku dulu. Biar kita di sini siap-siap."
"Gak usah repot, Mi. Aku cuma sebentar. Kau kan tahu aku sibuk terus."
Nami sesekali bicara, sering kali diam sembari memperhatikan. Anak-anak juga tak banyak cerita. Karena, memang Heru bukan tipe seorang ayah yang dekat pada kehidupan anaknya dahulu. Buatnya kalo sudah diberi uang, ya selesai masalah.
selesai bercengkrama sedikit dengan anak-anak, Heru pun pamit. Nami dan ketiga anaknya mengantar sampai depan pintu. Dari dalam mobil, Heru melambaikan tangan.
"Ayah, kok lain sekarang, ya, Ma?"
"Iya. Mungkin dia lagi ada masalah kali dengan keluarganya."
"Bisa jadi ... kirain Lili, Ayah udah lupa sama kita, Ma."
Malam berlalu dengan ribuan pertanyaan di benak Nami. Ini tidak biasanya Heru dengan nada lemah menghampiri mereka semua. Secepat itu watak kerasnya hilang? Sungguh tidak masuk akal.
Apalagi dulu, tidak seujung kuku pun Heru menghargai Nami, yang hanya seorang ibu rumah tangga. Setahun sekali punya momongan, selalu lusuh, sibuk dengan anak-anak. Jangankan memakai lipstik, saat masak sarapan saja seringkali dalam keadaan belum mandi, dengan rambut yang asal-asalan dijepit. Demi bisa menyuguhkan sarapan tepat waktu.