Simpatik[1]
Â
Hujan  mengguyur pagi, membuatku enggan untuk bangkit dari peraduan. Sisa-sisa mimpi tadi malam masih membayang. Rasanya aku ingin sakit saja hari ini agar ada alasan untuk tidak menginjakkan kaki ke sekolah. Terasa berat mata untuk terbuka. Namun teriakan ibu yang seperti guntur menggelegar memaksaku untuk melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Selain itu, tadi malam aku, Ella dan Rusli teman genk di kelas untuk bolos pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.
 Aku paling malas dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Malas dengan seabrek tugas yang harus diselesaikan. Menurut Bu Salma guru bahasa indonesiaku, tugas tersebut untuk  menguji pencapaian Kompotensi Dasar (KD).  Bu Salma sosok guru yang tegas dan tak segan-segan menghukum siswa yang terlambat masuk di kelas atau tidak menyelesaikan tugas, menambah deretan kemalasanku. Kami menjulukinya Guru militer.Â
Hari ini kembali tercatat namaku di buku piket pelanggaran tata tertib sekolah.  Dengan berat hati aku menerima sanksi dari guru piket untuk mengepel masjid dilanjutkan kegiatan Pengembangan Pendidikan Karakter (PPK) Mari Zikir bersama (Markisa) yang jadwalnya pada hari itu.  Jam kedua aku pun diperbolehkan masuk kelas. Bel pergantian jam berbunyi, Ella dan Rusli  teman genkku memberi kode untuk segera kabur sebelum Bu Salma masuk kelas. Kami pun segera keluar kelas. Sepintas terlihat Rahmi siswa sedang berjalan menuju ke arah kami. Hati ini berdegup kencang melihat senyum Rahmi yang sangat menawan. Aku memang diam-diam menyukainya. Rahmi pun melambaikan tangannya ke arah kami. Sambil berlari kecil dia menuju ke arah kami.
Â
"Ella, kamu dapa undangan ke ruang BK" kata Rahmi "Ngana Rusli, ti Ibu Risna ada tunggu pa depe ruangan."
Â
"Kiapa So, ti Ibu Risna ba pangge?" tanya Rusli.
Â
"Manaketehe", kata Rahmi sambil mengangkat bahu dan tangannya. "Pigi jo kasana Uti,,,".
Â
"Bo kita tidak dapa undangan?" tanyaku menyombongkan diri. "Ti Rahmi tidak baundang pa kita?" Iseng kuraih tangan Rahmi. Rahmi pun menepis tanganku sambil berlalu dengan muka cemberut.
Â
Ella dan Rusli berpandangan sambil tertawa.
Â
"Bo Li ngana Bu Salma yang ba undang aba" kata Ella sambil mengedipkan mata
Â
"Malas,,, " jawabku suntuk.
Â
"Ok, Bro,,, kami kesana dulu w,,,? Ngana tunggu jo torang di lapangan!" kata Rusli sambil menarik tangan Ella.
Â
Aku pun menuju ke lapangan bergabung dengan siswa kelas lain yang sedang bermain takrow. Ketika seru-serunya bermain takrow, ketua kelasku Muslim datang.
Â
"Sapar, Ibu Salma so masuk, ti Ibu suru undang uti..." Seru Muslim "Kamari juga, bo kita poli dia mo marah uti,, ".Â
Â
"Iyo, masuk jo ngana duluan, kita tunggu te Ella sama te Rusli."
Â
"Mo tunggu bagemana, dorang guru da sidang aba"
Â
"Iyo, kalo putusan masuk penjara kita mo baliat dorang"
Â
"Maksud le Hasan?"
Â
"Maksud Le Hasan... ngana pi sama Bu Salma bilang kasana kiapa ada ba undang-undang, rindu so pa kita?
Â
"Eiyyy, mari jo, mo dapa undangan poli ngana pe orang tua aba, malas masuk di kalas."
Â
"Pusing amat ngana Muslim. Amat aja tidak pusing,,,"
Â
"We kita pusing aba, Bu Salma suka torang pe kalas kompak Uti, ngana beken pelanggaran torang semua dapa getahnya.
Â
"Tenang Bro, kalo ngana tidak suka getahnya, minta jo dp buah,,,"
Â
"Buah lo,,,! Eee,,, kita so mo masuk kalas,,, Â baku bantah ngana ini!"
Â
Muslim lalu meninggalkanku dengan wajah kesal. Aku bermaksud melanjutkan permainanku tapi berhenti karena terdengar di pelantang, semua siswa tidak ada yang di lapangan kecuali yang  jam olah raga.  Siswa yang merasa bukan jam pelajaran olah raga berlarian menuju kelas masing-masing kecuali aku. Malah kulangkahkan kakiku ke mushollah. Di sana aku menunggu Ella dan Rusli sampai akhirnya aku ketiduran.
Â
Keesokan harinya, jam pertama sampai jam kedua adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Aku melihat teman-teman sibuk menyelesaikan tugas yang diberikan Bu Salma kemarin, maklum kerja kelompok, jadi terkadang hanya beberapa siswa yang mengerjakan, yang lain siap menyalin ke buku masing-masing. Aku santai aja karena merasa tidak masuk kelas kemarin.
Â
Tiba-tiba terdengar salam dari Ibu Salma. Dan serentak kami menjawab. Beliau pun masuk dan segera duduk di kursi guru, walau sekilas tampak tersenyum, kami tetap memiliki perasaan  tegang setiap beliau masuk di kelas kami. Beberapa teman laki-laki yang kaki bajunya berada di luar segera merapikannya dengan memasukkan ke dalam celana mereka.
Â
Muslim pun dengan sigap memberi aba-aba siap mengikuti pelajaran. Sesudah itu Ibu Salma mengabsen kami, aku berdebar-debar ketika Ibu Salma menyebutkan namaku, tetapi tidak seperti biasa ketika aku tidak masuk di kelas, dia pasti langsung memanggilku ke muka kelas untuk diintrogasi sampai pada sanksi yang sebenarnya mendapat jepitan kepiting yang maha dahsyat di perut. Napas lega ketika ibu Salma selesai mengabsen.
Â
"Yang tidak berhubungan dengan pelajaran bahasa Indonesia segera disingkirkan." kata Bu Salma dengan suaranya yang khas. Keras dan tegas.
Â
Semua siswa merapikan meja dan kursi mereka. Yang ada di atas meja adalah buku catatan dan buku teks Bahasa Indonesia. Sesudah itu beliau meminta Rusli untuk memimpin doa. Dengan suara yang kentara tegang Rusli memandu kami berdoa. Sampai pada detik itu Bu Salma belum menyinggung ketidakhadiranku kemarin di kelas. Â Kulirik Ella dan Rusli. Mereka seolah-olah serius menyimak dengan apa yang disampaikan Ibu Salma tentang kegiatan akan dilakukan pada pertemuan ini.
Â
Aku yang hanya sibuk memperhatikan teman-teman, tiba-tiba tersentak, karena Bu Salma tiba-tiba menyebutkan namaku.
Â
"Ya, Bu." ucapku bingung, gugup, dan tersipu malu melihat ke arah Ibu Salma.
Â
Beliau pun melanjutkan perkatannya.
Â
"Bagaimana Ella, sudah paham dengan kegiatan kita kali ini?
Â
"Sudah Bu." Jawab Ella
Â
"Kalo begitu, silahkan mengatur tempat duduk sesuai dengan kelompok masing-masing!"
Â
Tak bisa dipungkiri kelas yang tadinya tenang, ribut mencari dan memanggil teman kelompok mereka. Aku langsung masuk di kelompok Rusli. Marwah langsung nyelutuk "Eiy balapor pa Ibu Salma aba, ngana belom ada kelompok"
Â
" De'e tako kita, Marwah jo bantu kita uti bilang kasana,,,".
Â
"Eh, kiapa olo tidak maso kamarin. Cuma li ngana yang tidak hadir kemarin aba, jang maso pa kita pe kelompok. Oi, Ella kasana temani ngana pe taman balapor belom ada kelompok".
Â
"Ih tako kita, babilang jo pa Muslim."
Â
"Awas ngana Ella tidak setia kawan ngana e,,,"
Â
Dengan rasa marah dan takut, kucari Rusli, tetapi Rusli tidak kelihatan di kelas. Aku rencana meminta pertolongan untuk sama-sama menghadap pada Ibu Salma untuk menanyakan aku boleh masuk di kelompok yang mana. Semua teman-teman sudah duduk di kelompoknya masing-masing. Aku masih berdiri sendiri dengan sikap bingung, dan malu. Apalagi kulihat Rahmi mengarahkan pandangannya kepadaku. Dia mengisyaratkan untuk melapor pada Ibu Salma. Melihat kode Rahmi, Sang Idola, memberi respon seperti itu, aku pun bangkit hendak menuju ke tempat Bu Salma.
Â
Namun Bu Salma segera mengecek kelengkapan anggota tiap-tiap kelompok. Kulihat Bu Salma tak menghiraukanku, walau kutahu kadang pandangannya mengarah kepadaku. Aku mulai merasakan kejanggalan dengan sikap Ibu Salma yang walau di mata kami galak tapi beliau sebenarnya ramah dan perhatian kepada kami. Tapi kali ini agak lain sikapnya kepadaku.
Â
Tiba-tiba ingin mengganggu salah satu temanku untuk mengalihkan perhatian Ibu Salma. Namun tatapan Ibu Salma yang memperhatikan teman-teman yang sudah mulai mengerjakan tugasnya membuat bergidik. Rasanya aku ingin lenyap saja di tempat itu. Seandainya ini dunia hikayat yang berisi kemustahilan akan kurapatkan kedua tanganku dan berseru hilang, maka pasti diriku menghilang, sayang ini dunia nyata.
Â
Tiba-tiba aku kaget karena ada sentuhan halus dipundakku, kuarahkan pandanganku ke belakang ternyata Rahmi.
Â
"Eiyyy, jang poli bikin ibu militer kita, melepaskan kepiting panasnya pa torang. Kasana juga babilang ngana blom ada kelompok, he'o,,,". Bisik Rahmi.
Â
Kutatap mata Rahmi yang penuh permohonan, seolah memohon cintanya untuk diterima. Timbul semangatku, aku pun segera menemui Ibu Salma,
Â
"Ibu, saya pe kelompok tidak ada, Bu."
Â
"Kenapa tidak ada uti?"
Â
"Kemarin tidak hadir, Bu".
Â
"Ada kemana kemarin uti?
Â
Pertanyaan Ibu Salma yang berkhas perhatian, membuatku merasa bersalah. Aku terdiam. Kembali Bu Salma Bertanya.
Â
"Kemarin temanmu bilang jam kedua, Kamu baru masuk karena terlambat, iya? "
Â
"Iya, Bu". Jawabku malu-malu sambil menundukkan kepala.
Â
"Kamu tahu kan, siswa di sini belajar sampai jam ke berapa? Sampai jam berapa coba?
Â
"Jam kedelapan Bu,"
Â
"Bagus, ibu pe jam kemarin jam berapa Sapar?
Â
"Jam ketiga keempat Bu".
Â
"Baru jam ketiga keempat kau dimana uti?"
Â
"Bermain bola takrow Bu..."
Â
"Oh,,,Sapar sering bermain bola takrow ya"
Â
"Iya bu, saya pe hobbi, Bu!" jawabku sedikit bangga
Â
"Hobi ya?
Â
"Iya Bu"
Â
" Baiklah Sapar, sebagaimana kontrak kita di awal pertemuan semester ini, yang melakukan pelanggaran harus menerima sanksi, yach?
Â
Aku mengiyakan perkataan Ibu Salma. Beliau pun melanjutkan,
Â
"Sapar, main takrow kan posisinya berdiri ya, karena kemarin ibu sudah bagi kelompok, Sapar baca materi kegiatan di buku teks, ini LKS yang ibu bagikan kemarin dan ini LKS untuk hari ini. Sapar menyesuaikan kegiatan hari ini, menyusun teks prosedur sehubungan dengan permainan bola takrow. Kegiatan berikutnya tulis pesan dan kesanmu tentang sanksi yang akan kamu jalani selama mata pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung hari ini. Kamu boleh berdiri di depan papan tulis, mejamu adalah tanganmu. Teks tersebut upayakan paling sedikit 3 halaman, ini kertasnya. Waktu pengerjaannya sama dengan temanmu 15 menit."
Â
Aku pun mengambil LKS dan kertas dari Ibu Salma. Kubaca materi tentang LHO. Aku mulai paham. Sebenarnya aku senang dengan pelajaran Bahasa Indonesia, hanya malas untuk menulis. Aku pun menulis teks prosedur tentang teknik permainan bola takrow. Rasa gerah dan pegal menulis dengan posisi berdiri serta jumlah halaman yang harus dipenuhi. Keringat bercucuran di kemejaku. Pokoknya aku menulis apa yang terlintas di pikiranku. Dengan segala daya dan upayaku akhirnya tugas tesrsebut selesai juga.
Â
Sebelum temanku presentasi Ibu Salma memintaku duluan presentasi. Dengan malu-malu aku membacakan tulisanku, yang beberapa bahasanya masih mengarah ke dialek kami, gorontalo. Sampailah pada kesan dan pesan tentang sanksi ini. Mukaku seolah tebal, aku membacakannya.
Â
"Kesan saya dengan sanksi ini, saya kesulitan menulis dengan posisi seperti ini dan harus memutar otak saya untuk menyelesaikan tugas ini dengan berdiri. Otak saya ba putar-putar tadi mengingat apa poli yang saya mo tulis supaya saya pe tulisan bisa sampai tiga halaman. Pesan saya, teman-teman jang baku iku wa,,,sekian dan terima kasih!".
Â
Semua tertawa mendengar kata-kataku.
Â
Bu Salma pun berdiri dan bertepuk tangan diikuti dengan teman-teman.
Â
"Terima kasih buat Sapar yang sudah mempresentasikan tugasnya. Ini saja, menulisnya sambil berdiri, bagaimana kalo memang Sapar lebih serius lagi mengerjakan tugasnya, ibu yakin pasti lebih baik lagi. Jika adik-adik rajin menulis dan merangkai kata-kata sendiri lambat laun, penggunaan kata atau bahasa yang kalian keluhkan dalam tulisan kalian. pasti lebih baik lagi. Adik-adik  pasti ingini memberikan yang terbaik dan menjadi yang terbaik.
Â
Aku tersenyum malu-malu tapi bangga. Selama ini semua tugasku cuma hasil contekan dari teman-temanku. Tapi hari ini aku bisa membacakan hasil pekerjaanku sendiri.
[1] Cerpen Tugas Diklat Genre Teks PPPPTK Bahasa, LPMP Sulsel 2019
[2] Guru SMAN 1 Limboto Barat Sekolah GIAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H