B. Berangkat Menuju MekkahÂ
Setahun setelah melaksanakan pernikahan sekitar tahun 1908, Abdul Halim berangkat ke Mekkah dengan menggunakan kapal laut. Sesampai  di Mekkah segera Abdul Halim  bergabung dengan para jama'ah Haji untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Setelah rangkaian ibadah Haji sudah dilaksanakan maka Abdul Halim merubah namanya dari Otong Syatori menjadi H. Abdul Halim, semenjak ini lah orang mengenal beliau dengan nama H. Abdul Halim.
Selain menunaikan ibadah Haji,  H. Abdul Halim juga memanfaatkan untuk belajar kepada beberapa syekh Mekkah. Setidaknya ada 4 syekh yaitu Syekh Ahmad Khatib, Syekh Ahmad Khayyat, Emir Syakib Arslan, dan Syekh Tanthawi Jauhari. Di Mekkah tinggal dan belajar selama kurang lebih 3 tahun (1908 s.d 1911). Selain belajar dari 4 Syekh tersebut, H. Abdul Halim  menyempatkan untuk melihat dan mempelajari sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan di Mekkah dan Jeddah.
Dimana di dua lembaga pendidikan ini sudah  menggunakan sistem kelas yang dilengkapi dengan bangku, meja dan pelaratan lain sebagai pendukung  kegiatan pendidikannya. Hal ini menjadi perhatian dari H. Abdul Halim karena selama belajar di negerinya kegiatan belajar tidak ada sistem kelas dan sarana pendukung lainnya, kecuali kitab kuning.
KH. Mas Mansur, KH. Abdul Wahab Hasbullah, dan KH. Ahmad Sanusi,  merupakan tiga teman dari Indonesia yang selalu di sebut oleh H. Abdul Halim. Pertemuan dengan KH. Ahmad Sanusi terjadi di Mekkah, KH. Ahmad Sanusi datang ke Mekkah tahun 1904 tahu 4 tahun lebih dahulu. Dari pertemuan tersebut akhirnya berkembang menjadi sebuah  persahabatan, mereka membuat tekad bersama, kalau pulang ke Indonesia akan sama -- sama berjuang untuk  membebaskan Indonesia dari penjajah melalui bidang pendidikan. Dan persahabat tersebut terus terjalin sampai mereka pulang kembali ke Indonesia.
C. Peran Dakwah KH. Abdul HalimÂ
H. Abdul Halim pulang ke Indonesia tahun 1911, waktu itu bertepatan dengan tumbuhnya gerakan --gerakan perlawanan terhadap Penjajahan Belanda, tentunya H. Abdul Halim langsung mengambil peran dalam situasi tersebut. Sesuai dengan tekadnya sewaktu di Mekkah, maka peran yang diambil adalah memberikan penyadaran melalui pengajian. Walau pada saat itu tidak banyak yang mengikuti pengajian tetapi dengan sabar pengajian tersebut secara rutin dilakukan.
Selain melaksanakan pengajian, H. Abdul Halim pun secara jeli  memperhatikan kondisi masyarakat disekitarnya. Sehingga beliau mampu menyimpulkan bahwa terjadi  ketimpangan sangat jauh, salahsatunya dibidang ekonomi. Kondisi ekonomi dan kesempatan yang diperoleh orang Cina dan kaum pribumi sangat berbeda. Sehingga kaum pribumi tidak mampu untuk menyaingi orang -- orang Cina yang memiliki sejumlah fasilitas kemudahan dari pemerintahan Hindia Belanda. Dapat dikatan bahwa saat itu perkonomian dikuasai oleh orang cina.
Hal tersebut terjadi karena pada masa penjajahan, orang Cina menempati kelas dua pada struktur masyarakat dan kaum pribumi berada di kelas tiga. Dan orang Cina berperan dalam dunia perdagangan sebagai penghubung antara penjajah dengan kaum pribumi. Untuk keluar dari masalah tersebut,  pada tahun 1912 H. Abdul Halim mendirikan Hayatul Qulub yang artinya Kehidupan Hati, yang memiliki dua  kegiatan, yang pertama pendidikan, dimana pengajian rutin yang biasa dilakukan dijadikan sebagai bagian dari Hayatul Qulub ini. Sedangkan yang kedua adalah bergerak di bidang  ekonomi, dalam oprasionalnya hampir sama dengan koperasi simpan pinjam.
Dengan proses penyadaran melalui pembinaan yang dilakukan oleh H. Abdul Halim dan pola ekonomi yang dilakukan yaitu selalu memperjuangkan hak -- hak pedagang muslim, maka Hayatul Qulub dianggap sebagai ancaman bagi  pedagang Cina. Sehingga pada tahun 1915 Pemerintah Hindia Belanda  membubarkan Hayatul Qulub. Masih pada tahun 1912, H. Abdul Halim mendirikan majelis pengajian bagi para pemuda yang dinamakan Majlisul Ilmi, maka ketika Hayatul Qulub di bubarkan aktifitas pengajian di pindahkan ke Majlisul Ilmi.
Tidak sampai disitu, Majlisul Ilmi berkembang menjadi besar yang  akhirnya dipandang butuh sebuah organisasi yang dapat memayungi  aktifitasnya. Maka H. Abdul Halim  dibantu oleh KH. Moh. Ilyas (mertuanya). KH. Moh Ilyas pun mengajak KH.  Dju-baedi, KH. Mas Hidayat, Mas Setya Sentana, Habib Ab-dullah Al-Djufri, R. Sastrakusuma, dan R. Acung Sahlan untuk berunding akan ide gagasan  H. Abdul Halim. Akhirnya disepakati untuk mendirikan organisasi yang berbentuk perkumpulan dan bergerak di bidang pendidikan. Disepakati pula nama perkumpulan tersebut adalah Jam'iyat I'anat Al-Muta'allimin yang artinya Perkumpulan Pertolongan Untuk Pelajar.