KH. Abdul Halim merupakan tokoh ulama dan tokoh pergerakan kemerdekaan, mungkin namanya kurang dikenal masyarakat luas, tidak seperti tokoh  seangkatannya, diantaranya KH. Hasyim Asy'ari (pendiri NU) dan KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), namun hasil perjuangannya masih dapat kita saksikan sampai dengan hari ini, baik dalam bidang Politik, Ekonomi dan Pendidikan.
Perjuangannya di mulai sejak jaman penjajahan Belanda, KH. Abdul Halim berjuang melalui Persjarikatan Oelama (PO), Syarekat Islam dan PII. Selain itu juga beliau aktif sebagai  wartawan di berbagai media politik dan dakwah yang terbit pada masa itu.Â
Peran KH. Abdul Halim dalam bidang  pendidikan adalah dengan mendirikan lembaga pendidikan yang diberi nama Santi Asromo, yang merupakan pelopor pendidikan yang menggabungkan antara pendidikan Agama, Pendidikan Umum dan Pendidikan Keterampilan. Beliau pun tercatat menjadi pelopor berdirinya Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta. Dalam bidang ekonomi adalah dengan mendirikan Hayatul Qulub sebagai bentuk perlawanan terhadap kapitalisme kolonial. Dan banyak lagi tapak sujud yang ditinggalkan oleh tokoh ulama ini.
Masa Kecil KH. Abdul HalimÂ
Lahir di Kabupaten Majalangka, tepatnya di desa Sutawangi, Kecamatan Jatiwangi, dengan nama kecil Otong Syatori, pada tanggal 26 Juni 1887. Dalam sumber lain disebutkan bahwa nama lain Abdul Halim adalah Muhammad Sjatari. Ayah Abdul Halim bernama KH. Muhammad Iskandar, kalau dilihat dari silsilah masih keturunan Maulana Hasanudin, anak Sunan Gunung Jati, yang merupakan penguasa Kesultanan Banten.
KH. Muhammad Iskandar selain sebagai mengasuh  pesantren, juga menjabat sebagai penghulu di Kawedanan Jatiwangi. Sedangkan ibunya benama Hj. Siti Mutmainah,  adalah anak dari KH. Imam Safari yang juga masih keturunan Sunan Gunung Jati. Namun, ada juga yang menyebut Siti Mutmainah merupakan keturunan Pangeran Sabranglor dari Kesultanan Demak.Â
Abdul Halim merupakan anak bungsu dari delapan  bersaudara, ketujuh kakaknya adalah : Iloh Mardiyah, Empon Kobtiyah, E Sodariyah, Jubaedi, Iping Maesaroh, Hidayat, dan Siti Sa'diyah.Â
Abdul Halim hidup di dalam keluarga yang  memiliki tradisi keagamaan yang sangat kuat, pendidikan dasar agama diberikan oleh ayah dan ibunya sebagai dasar sebelum memasuki usia sekolah. Setelah ayahnya wafat, yang saat itu Abdul Halim masih kecil, maka ibunya tetap meneruskan  pendidikan agama kepadanya. Dengan dasar pendidikan yang diberikan oleh ayah dan ibunya, menjadikan Abdul Halim  menjadi anak yang gemar belajar, ilmu -- ilmu tentang agama dan kemasyarakatan adalah bacaan yang sangat disukainya.
Pada usia 9 tahun tepatnya tahun 1896, keluarga Abdul Halim pindah ke kampung Cideres, Desa Dawuan, Kecamatan Dawuan. Di tempat baru, proses belajar semakin meningkat, Abdul Halim belajar belajar membaca Al Qur'an setiap selesai menunaikan shalat lima waktu. Abdul Halim dalam menuntut ilmu tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bangku sekolah, orang tuanya lebih memilih pendidikan di pesantren, karena pesantren dianggap lebih baik dari pada sekolah yang didirikan oleh Hindia Belanda, terlebih di sekolah pada saat itu tidak diajarkan pelajaran agama Islam.
Di usianya ke 10 (1897) Abdul Halim memulai pendidikannya di pesantren, pesantren Ranji Wetan di Jatiwangi, Majalengka merupakan pesantren yang pertama menjadi tempat belajarnya dan dia belajar ilmu keislaman kepada KH Anwar. Disini Abdul Halim belajar sekitar 1 tahun lamanya. Untuk memperdalam ilmu  Al Qur'annya pada tahun 1898, Abdul Halim masuk ke pesantren Lontangjaya, berlokasi masih di sekitara Majalengka, tepatnya di Desa Panjalin, Kecamatan Leuwimunding yang pada saat itu di asuh oleh KH. Abdullah.
Disini dia belajar Qira'at dan Tajwid. Setelah kurang lebih satu setengah tahun, KH. Abdullah menyuruh Abdul Halim untuk mempelajari kesusateraan arab kepada KH. Suja'I di pesantren Bobos yang beralamat di kecamatan Sumber Cirebon. Dan pada beberapa bulan kemudian Abdul Halim belajar ilmu Fiqh kepada KH. Ahmad Sobari,
di Pondok Pesantren Ciwedus, Cilimus, Kuningan. Selama nyantri di Pesantren Ciwedus, Abdul Halim sempat menuntut ilmu kepada KH. Agus dari Pesantren Kanayangan, Jawa Tengah. Setelah dianggap tamat Abdul Halim pun  disuruh kembali ke Pesantren Ciwedus untuk meneruskan pendidikannya.
Selama menuntut ilmu dari pesantren ke pesantren satu hal yang menonjol dari sosok Abdul Halim ini, yaitu  kecerdasan dan kemampuan menyerap ilmu yang melebihi teman--temannya saat itu. Juga ada hal yang cukup menonjol dari diri Abdul Halim, yaitu jiwa kemandirian dan kewirausahaan, sehingga Abdul Halim selalu mampu menyelesaikan berbagai rintangan yang dihadapi.
Dagang merupakan keahlian  yang dimiliki Abdul Halim, selama pesantren di luar majalengka ia  berdagang kebutuhan para santri di pesantren seperti kecap, sarung, kain batik, minyak wangi juga kitab -- kitab yang di bawa ketika berkesempatan pulang dari Majalengka. Keuntungan dari berdagang digunakan untuk memenuhi kebutuhannya dan sebagian dikirimkan kepada orang tuanya.
Menjelang usia 21 tahun (tahun 1907) Abdul Halim yang kala itu masih berstatus santri di kuningan, dipanggil pulang oleh orang tuanya untuk dijodohkan dengan Siti Murbiyah. Â Siti Murbiyah adalah putri KH. Muhammad Ilyas bin Hasan Basyari, saat itu menjabat sebagai Penghulu di Majalengka. Abdul Halim dikaruniai tujuh anak yaitu :
1. Moh. Toha A. Halim
2. Siti Fatimah
3. Siti Mahriyah
4. Abdul Aziz Halim
5. Siti Halimah Halim
6. Abdul Karim Halim
7. Toto Taufik Halim
B. Berangkat Menuju MekkahÂ
Setahun setelah melaksanakan pernikahan sekitar tahun 1908, Abdul Halim berangkat ke Mekkah dengan menggunakan kapal laut. Sesampai  di Mekkah segera Abdul Halim  bergabung dengan para jama'ah Haji untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Setelah rangkaian ibadah Haji sudah dilaksanakan maka Abdul Halim merubah namanya dari Otong Syatori menjadi H. Abdul Halim, semenjak ini lah orang mengenal beliau dengan nama H. Abdul Halim.
Selain menunaikan ibadah Haji,  H. Abdul Halim juga memanfaatkan untuk belajar kepada beberapa syekh Mekkah. Setidaknya ada 4 syekh yaitu Syekh Ahmad Khatib, Syekh Ahmad Khayyat, Emir Syakib Arslan, dan Syekh Tanthawi Jauhari. Di Mekkah tinggal dan belajar selama kurang lebih 3 tahun (1908 s.d 1911). Selain belajar dari 4 Syekh tersebut, H. Abdul Halim  menyempatkan untuk melihat dan mempelajari sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan di Mekkah dan Jeddah.
Dimana di dua lembaga pendidikan ini sudah  menggunakan sistem kelas yang dilengkapi dengan bangku, meja dan pelaratan lain sebagai pendukung  kegiatan pendidikannya. Hal ini menjadi perhatian dari H. Abdul Halim karena selama belajar di negerinya kegiatan belajar tidak ada sistem kelas dan sarana pendukung lainnya, kecuali kitab kuning.
KH. Mas Mansur, KH. Abdul Wahab Hasbullah, dan KH. Ahmad Sanusi,  merupakan tiga teman dari Indonesia yang selalu di sebut oleh H. Abdul Halim. Pertemuan dengan KH. Ahmad Sanusi terjadi di Mekkah, KH. Ahmad Sanusi datang ke Mekkah tahun 1904 tahu 4 tahun lebih dahulu. Dari pertemuan tersebut akhirnya berkembang menjadi sebuah  persahabatan, mereka membuat tekad bersama, kalau pulang ke Indonesia akan sama -- sama berjuang untuk  membebaskan Indonesia dari penjajah melalui bidang pendidikan. Dan persahabat tersebut terus terjalin sampai mereka pulang kembali ke Indonesia.
C. Peran Dakwah KH. Abdul HalimÂ
H. Abdul Halim pulang ke Indonesia tahun 1911, waktu itu bertepatan dengan tumbuhnya gerakan --gerakan perlawanan terhadap Penjajahan Belanda, tentunya H. Abdul Halim langsung mengambil peran dalam situasi tersebut. Sesuai dengan tekadnya sewaktu di Mekkah, maka peran yang diambil adalah memberikan penyadaran melalui pengajian. Walau pada saat itu tidak banyak yang mengikuti pengajian tetapi dengan sabar pengajian tersebut secara rutin dilakukan.
Selain melaksanakan pengajian, H. Abdul Halim pun secara jeli  memperhatikan kondisi masyarakat disekitarnya. Sehingga beliau mampu menyimpulkan bahwa terjadi  ketimpangan sangat jauh, salahsatunya dibidang ekonomi. Kondisi ekonomi dan kesempatan yang diperoleh orang Cina dan kaum pribumi sangat berbeda. Sehingga kaum pribumi tidak mampu untuk menyaingi orang -- orang Cina yang memiliki sejumlah fasilitas kemudahan dari pemerintahan Hindia Belanda. Dapat dikatan bahwa saat itu perkonomian dikuasai oleh orang cina.
Hal tersebut terjadi karena pada masa penjajahan, orang Cina menempati kelas dua pada struktur masyarakat dan kaum pribumi berada di kelas tiga. Dan orang Cina berperan dalam dunia perdagangan sebagai penghubung antara penjajah dengan kaum pribumi. Untuk keluar dari masalah tersebut,  pada tahun 1912 H. Abdul Halim mendirikan Hayatul Qulub yang artinya Kehidupan Hati, yang memiliki dua  kegiatan, yang pertama pendidikan, dimana pengajian rutin yang biasa dilakukan dijadikan sebagai bagian dari Hayatul Qulub ini. Sedangkan yang kedua adalah bergerak di bidang  ekonomi, dalam oprasionalnya hampir sama dengan koperasi simpan pinjam.
Dengan proses penyadaran melalui pembinaan yang dilakukan oleh H. Abdul Halim dan pola ekonomi yang dilakukan yaitu selalu memperjuangkan hak -- hak pedagang muslim, maka Hayatul Qulub dianggap sebagai ancaman bagi  pedagang Cina. Sehingga pada tahun 1915 Pemerintah Hindia Belanda  membubarkan Hayatul Qulub. Masih pada tahun 1912, H. Abdul Halim mendirikan majelis pengajian bagi para pemuda yang dinamakan Majlisul Ilmi, maka ketika Hayatul Qulub di bubarkan aktifitas pengajian di pindahkan ke Majlisul Ilmi.
Tidak sampai disitu, Majlisul Ilmi berkembang menjadi besar yang  akhirnya dipandang butuh sebuah organisasi yang dapat memayungi  aktifitasnya. Maka H. Abdul Halim  dibantu oleh KH. Moh. Ilyas (mertuanya). KH. Moh Ilyas pun mengajak KH.  Dju-baedi, KH. Mas Hidayat, Mas Setya Sentana, Habib Ab-dullah Al-Djufri, R. Sastrakusuma, dan R. Acung Sahlan untuk berunding akan ide gagasan  H. Abdul Halim. Akhirnya disepakati untuk mendirikan organisasi yang berbentuk perkumpulan dan bergerak di bidang pendidikan. Disepakati pula nama perkumpulan tersebut adalah Jam'iyat I'anat Al-Muta'allimin yang artinya Perkumpulan Pertolongan Untuk Pelajar.
Maka atas bantuan KH. Moh Ilyas  didirikanlah bangunan sebuah mushola dan tiga banguna madrasah sebagai Pusat kegiatan Jam'iyat I'anat Al-Muta'allimin. Dan sejak tanggal 6 Mei 1916, H. Abdul Halim memusatkan aktifitas pembelajarannya ditempat tersebut.
Seiring berkembangnya Jam'iyat I'anat Al-Muta'allimin,  H. Abdul Halim memandang perlu untuk mendapatkan pengakuan secara hukum dari pemerintahan Hindia Belanda, untuk memuluskan keinginan tersebut maka pada pertengan tahun 1917 nama Jam'iyat I'anat Al-Muta'allimin dirubah menjadi Persjarikatan Oelama (PO). Perubahan nama tersebut mendapat dukungan penuh dari HOS Tjokroaminoto, dan akhirnya ikut  membantu untuk mendapatkan  pengakuan hukum dari pemerintahan Hidia Belanda.
Pada tanggal 21 Desember 1917, Pemerintahan Hidia Belanda melalui Gubernur Jenderal J. P. Graaf van Limburg Stirum mengesahkan dan mengakui keberadaan organisasi Persjarikatan Oelama (PO) dengan surat no 43.
Kiprah KH. Abdul Halim dalam Perjuangan di tingkat Nasional.
Selain aktif sebagai pimpinan Persjarikatan Oelama (PO) yang  dibentuknya, beliau pun aktif di Serikat Islam ( SI), yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto. Bahkan H. Abdul Halim ditunjuk menjadi pimpinan SI Afdeling Majalengka. Semasa aktif di SI, H. Abdul Halim pernah ditangkap oleh pihak Belanda atas tuduhan terlibat dalam aksi pemogokan di daerah Jatiwangi. Namun setelah di intrograsi beliau  kembali dibebaskan.
Pada 1928, ia diangkat menjadi  pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama K.H. M. Anwaruddin dari Rembang dan K.H. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A'la Indonesia) yang didirikan pada 1937 di Surabaya. Setelah MIAI berganti menjadi Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada 1943, beliau menjadi salah seorang pengurusnya.
Dalam pengawasan yang sangat ketat dari pihak Belanda, paska penangkapan, tidak henti untuk terus mengobarkan semangat perjuangan. Di CSI ( central Serikat Islam ) hasil penggabungan  seluruh cabang SI, H. Abdul Halim  diangkat sebagai Commisaris Bestuur CSI Hindia Timur untuk wilayah Jawa Barat.Â
Namun dengan posisi tersebut, aktifis H. Abdul Halim tetap lebih terkonsentrasi di Organisasi yang  dipimpinnya yaitu PO. Dengan  perkembangan yang begitu pesat,  H. Abdul Halim mengusulkan kepada pemerintah Hindia Belanda, melalui Gubernur Jenderal D. Fock, supaya wilayah kerja Persjarikatan Oelama di perluas sampai ke seluruh pulau Jawa dan Madura.Â
Dan pada tanggal 19 Januari 1924, permohonan tersebut dikabulkan pemerintahan Hindia Belanda. Permohonan dikabulkan karena Persjarikatan Oelama merupakan  organisasi pendidikan bukan organisasi politik. Yang pada masa itu organisasi politik sedang dalam pengawasan yang sangat ketat dari pihak penjajah Belanda.
Sejak itu aktifitas Persjarikatan Oelama menjadi semakin luas, hingga keseluruh pulau Jawa dan Madura, dan pada tahun 1931 Persjarikatan Oelama telah mendirikan cabang salahsatunya di Tegal, Jawa Tengah.Â
Pada tahun 1937 H. Abdul Halim beserta R. Moh. Kelan kembali mengajukan perluasan aktifitas Persjarikatan Oelama yang meliputi seluruh wilayah Indonesia. Permohonan tersebut di kabulkan dengan  ditandatanganinya Rechtspersoon No. 43 Tanggal 18 Agustus 1937 oleh J. M. Kiverson se-bagai Algemeene Secretaris. Maka dengan demikian aktifitas Persjarikatan Oelama semakin luas, salahsatunya dengan mendirikan cabang di Sumatera Selatan.
Selain mendirikan cabang Persjarikatan Oelama sebanyak- banyaknya di seluruh Indonesia,
H. Abdul Halim pun mendirikan  organisasi -- organisasi sebagai  onderbouw-nya Persjarikatan Oelama, diantaranya :
1. Hizbul Islam Padvinders Organisatie (HIPO) tahun 1929, adalah organisasi kepanduan sebagai wadah untuk menyalurkan aktifitas para pemuda.
2. Fatimiyah pada tahun 1930.
3. Perikatan Pemoeda Islam (PPI) tahun 1932
4. Perhimpoenan Pemoeda Persjarikatan Oelama Indonesia (P3OI).
5. Perhimpoenan Anak Perempoean Persjarikatan Oelama.
Di bidang pendidikan H. Abdul Halim melalui Persjarikatan Oelama mendirikan lembaga -- lembaga pendidkan salah satunya adalah pada tahun 1919 mendirikan Madrasah Mu'allimin (Darul Ulum) , Madrasah ini berorentasi untuk melahirkan para guru, untuk itu sekolah ini hanya menerima murid kelas VII Madrasah Tholibin dan para santri yang sudah menuntaskan pendidikannya di pesantren.
Selain itu H. Abdul Halim mendirikan lembaga pendidikan yang diberi nama Santi Asromo pada tahun 1932. Dalam lembaga pendidikan ini, para murid tidak hanya dibekali dengan  pengetahuan agama dan pengetahuan umum, tetapi juga dengan keterampilan sesuai dengan bakat anak didik, antara lain pertanian, pertukangan, dan  kerajinan tangan. Untuk memecahkan permasalah ekonomi H. Abdul Halim melahirkan sebuah ide yang dikenal dengan konsep Ishlah al-Iqtishad, yang selanjutnya dikenal dengan naka koperasi.
Untuk menyebarluaskan ide dan gagasannya H. Abdul Halim melalui  Persjarikatan Oelama pada tahun 1928 menerbitkan majalah Soeara Persjarikatan Oelama (SPO) dan  selanjutnya dari tahun 1930 sampai tahun 1941, menerbitkan beberapa majalah dan brosur sebagai media penyebaran ide dan gagasannya, seperti:
1. Soeara Islam, As-Sjoero,
2. Pengetaoean Islam
3. Miftahus-Saadah
4. Berita PO,
5. Al Mu'allimin
6. Pemoeda
7. Penunjuk Jalan Kebenaran
Pada masa pendudukan Jepang (1942) Persjarikatan Oelama dibekukan. Namun kegiatan pendidikan dan  pengajian masih tetap dilakukan oleh H. Abdul Halim. Memasuki tahun 1943 H. Abdul Halim masuk menjadi anggota Chuo Sangi In bentukan Jepang, yang bertugas mengajukan usulan kepada pemerintahan dan menjawab  pertanyaan pemerintah mengenai soal-- soal politik dan menyarankan tindakan yang harus dilakukan Jepang.
Semasa menjadi anggota Chuo Sangi In, H. Abdul Halim, M. Asyikin Hidayat dan K. H. Ahmad Ambari, mengajukan permohonan untuk mengaktifkan  kembali Persjarikatan Oelama, dan pada tanggal 1 Februari 1944 permohonan dikabulkan pihak Jepang, namun namanya dirubah menjadi Perikatan Oemat Islam (POI) dan H. Abdul Halim menjadi ketuanya. Kemudian H. Abdul Halim diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada Mei 1945, dan pada tanggal 11 Juli 1945 beliau diangkat menjadi anggota Panitia Pembelaan Tanah Air yang  diketuai Abikoesno Tjokrosoejoso.
Pada pasca kemerdekaan peran  H. Abdul Halim tidak berhenti, terbukti beliau di angkat menjadi sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah (PB KNID) Cirebon. Demikian juga saat Belanda melancarkan Agresi Militer II yang  dimulai 19 Desember 1948, H. Abdul Halim aktif mempertahankan kemerdekaan, bahkan beliau ikut bergerilya dan memimpin anak buahnya menghadang pergerakan militer belanda di keresidenan Cirebon.
Sehingga pada saat itu Residen Hamdani  mengangkatnya menjadi "Bupati Masyarakat" Majalengka yang bertugas sebagai penghubung antara Bupati Mr. Makmun dengan seluruh lapisan masyarakat Majalengka. H. Abdul Halim pun pernah duduk sebagai anggota Dewan Rakyat Daerah Jawa Barat sekitar periode 1950-an dan kemudian menjadi Anggota Kontituante.
Pada tanggal 5 April 1952, mendirikan dan menjadi ketua, organisasi besar yaitu Persatuan Umat Islam yang merupak fusi 2 organisasi, Perikatan Oemat Islam (POI) yang beliau pimpin dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII) yang didirikan oleh sahabatnya, KH. Ahmad Sanusi di Sukabumi.
D. Menjelang Akhir HayatÂ
Di Usia 74 tahun, K.H. Abdul Halim, yang merupakan seorang Ulama besar tanah Pasundan ini menghadap Ilahi tepatnya pada tanggal 7 Mei 1962 dan dikebumikan di Majalengka.Â
Dalam sebuah keterangan mengungkapkan bahwa KH. Abdul Halim mewakafkan harta bendanya untuk madrasah dan institusi pendidikan. Bahkan rumah  pribadinya pun diberikan untuk PUI.  Atas jasa-jasanya, Abdul Halim dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah RI. Hal ini berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor: 041/TK/Tahun 2008 tanggal 6 November 2008. Namanya juga diabadikan menjadi nama jalan protokol di Majalengka.
*) Ringkasan dari Majalah Suara Ulama Edisi ke 6 tahun 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H