Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Hari Ke-3.679

15 Oktober 2022   13:38 Diperbarui: 15 Oktober 2022   15:24 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Ke-3.679

~Ditulis untuk seseorang, semoga hal-hal baik selalu bersamanya

           Sepuluh tahun berlalu, Renjana masih kerap bertanya-tanya tentang definisi apa yang paling tepat untuk menggambarkan sosok Alwi dalam hidupnya. Teman masa sekolah, teman berbagi cerita di masa-masa sulit kuliah dan rindu rumah, pria yang akhirnya membawanya mengunjungi Banda Neira, atau pria yang membersamainya mewujudkan berbagai mimpinya yang sederhana.

            Nana---begitu ia akrab dipanggil---berpikir waktu setahun dua tahun akan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya tentang pria itu. Menjawab semua ragu, cemas, juga gusar yang kerap membentuk sarang di kepalanya. Barangkali jika lomba isu kepercayaan benar-benar ada, Nana akan mengajukan diri. Dan, berita baiknya, sepuluh tahun yang berlalu itu tak banyak mengubah apapun tentang Alwi dalam kacamata Nana.

            Tidak di hari ke-3.679

            Nana terbangun dengan ponsel yang sepi, buku berserak---hampir memenuhi seluruh lantai kamar---dan laptop yang masih menyala, sisa pekerjaan semalam yang gagal ia selesaikan karena banyak pikiran.

            Sebenarnya dalam sepuluh tahun terakhir, bukan sekali dua kali, baik Nana ataupun Alwi saling menjauh, saling tak memberi kabar, atau bahkan menolak bertemu satu sama lain. Sayang, waktu mengubah banyak hal, khususnya isi kepala. Bagi Nana, mereka terlalu tua untuk melakonkan drama.

            Sekali lagi, Nana mengecek ponselnya. hanya ada pesan singkat berisi teror dari editor yang menangani novelnya, yang dengan sungguh-sungguh dan keyakinan penuh tak ingin dibalas atau dibacanya seluruh isinya.

            "Lihat! Akhirnya semua orang akan menunjukkan sifat aslinya," gerutunya. Tersuruk-suruk meninggalkan karpet untuk ke dapur, menyeduh kopi yang akhirnya bisa ia nikmati lagi setelah sekian lama.

            Di dapur, rasa kesalnya padam. Cemas dan gusar memenuhi tiap inci dirinya. Juga rasa bersalah yang seolah mencekik leher. "Kesalahanku juga tidak bisa ditampik," gumamnya sendu sembari melempar tatapan ke luar jendela. Semesta seolah mendukung suasana hatinya. "Tidak dulu atau sekarang, masih saja seperti remaja."

            Kopinya hanya habis seteguk. Ingatan tentang tiket konser yang terbengkalai---karena kesibukan dan waktu luang yang tak bisa disepakatkan---membawa langkahnya kembali ke kamar. Nana memutar-mutar memori, mencari-cari penyebab Alwi mendadak hilang dari dunianya. "Bisa jadi karena tiket ini." Nana bergumam, masih mencari-cari. Terlalu banyak isi kepala tak jarang menjadikannya amat pelupa. "Ah, aku juga tidak menghadiri undangan ini. Tidak yang ini. Ini juga tidak," rutuknya kemudian. Satu-persatu undangan lama yang memenuhi meja kerjanya diteliti.

            Nana berakhir di tepi jendela. Dengan isi kepala yang riuh. Perasaan-perasaan yang tak utuh. Serta sesuatu dalam dirinya yang mendesak luluh. Nyatanya, Nana hanya menolak membenarkan tawaran yang sengaja ia lupakan. Perkaranya sederhana, Nana belum menemukan definisi paling tepat untuk menggambarkan sosok Alwi dalam hidupnya.

            "Na, kamu pernah menyebut aku di doamu?"

            Suatu hari, Alwi pernah bertanya. Di tahun ke-tujuh. Tak lama setelah dua cangkir kopi yang mereka nikmati di tengah kesibukan, tandas. Pertanyaan menjurus serius yang membuat Nana sempat kalang kabut.

            "Pernah," jawabnya saat itu.

            "Apa doanya?"

            "Bukan doa yang baik. Kamu bakal menyesal kalau kuceritakan."

            Nana ingat wajah terhenyak pria itu. Yang coba ia tutup-tutupi dengan senyum getir. "Katakan saja. Toh, aku kan sudah biasa mendengar kejujuran kamu."

            "Aku mengusir kamu dalam doaku."

            "Karena?"

            "Kamu pun tahu alasannya."

            Pria itu tak lagi bertanya. Ia habiskan kopinya dalam diam. Sesekali menyugar rambutnya yang memanjang dengan helaan nafas yang berat. Nana tak sampai hati, sungguh. Namun, mengiming-imingi seseorang keindahan untuk kelak ia bumi hanguskan juga bukan pilihan yang terdengar menyenangkan.

            Nana tahu, Alwi jelas mengerti alasannya. Pria itu memahaminya lebih baik di antara teman-temannya yang lain. Hingga sampai suatu hari, saat mereka menunggu kereta untuk pulang, Alwi menyeletuk. "Na, kamu pernah bilang kalau hati dan akal harus berjalan seiringan. Tapi untuk diri kamu sendiri, kenapa kamu lebih sering mematikan perasaan?"

            "Entahlah." Hanya satu jawaban tak memuaskan. Nana tahu, sepanjang perjalanan pulang pria itu akan memburunya dengan banyak pertanyaan menjerumuskan lainnya.

            "Yang pasti bukan karena isu kepercayaan, kan? Bukan karena alasan-alasan kekeluargaan juga. Jangan mengelak, aku sempat mengobrol dengan Ibu kamu dua minggu yang lalu. Lalu apa, Na?"

            Nana tidak menyahut hingga kereta berhenti. Hingga Alwi menjawab sendiri pertanyaannya dengan sederet kalimat sederhana, tetapi cukup menusuk. "Karena kamu terlalu pemikir."

            Hubungan mereka tetap berjalan baik setelahnya. Alwi masih menjadi teman yang menemaninya mencari buku baru di akhir pekan, dia masih kerap menonton pertandingan sepak bola, atau menjadi tamu di acara-acara keolahragaan yang diadakan pria itu. Alwi juga masih sering membaca puisi-puisinya yang berat kata hingga membuat pria itu mengeluh. Sebagai gantinya, Nana akan memotong jam kerjanya untuk menemani pria itu membeli kemeja baru.

            Semuanya berjalan seperti biasa. Namun lagi-lagi, tidak di hari ke-3.679.

             Tidak ada pertandingan olahraga. Tidak ada buku atau kemeja baru. Tidak ada dua cangkir kopi mengepul yang menemani mereka mempertanyakan tentang Tuhan, tentang manusia-manusia menyebalkan, atau hal-hal kecil di muka bumi.

            "Na, bagaimana kalau suatu hari, salah satu di antara kita ... hilang?"

            "Bagaimana kita menyikapinya, itu tergantung waktu dan keadaan. Tapi bagaimana itu terjadi, aku bisa memperkirakannya."

            "Karena apa?"

            "Karena salah satu di antara kita, atau kita berdua, menyakiti atau tersakiti satu sama lain."

            Nana tersentak ingatannya sendiri. Lantas ingatannya bergulir ke hari ke-3.629 semenjak dia mengenal Alwi. Ya, di sana titik tolak masalahnya. Dan, Nana sebagai pelaku berkedok korbannya. Meninggalkan ponselnya yang akhirnya mati sendiri, laptop yang ditutup asal, dan buku-buku yang masih enggan ia bereskan, Nana meninggalkan rumahnya.

            Seorang cendekiawan pernah berkata, "kalau kamu sudah menemukan orang yang tepat, matikan akalmu, gunakanlah hatimu untuk mencintainya."

            Dan, baru sekarang Nana mengakui itu ada benarnya.

            ***

            Sebenarnya, tak sulit menemukan Alwi, andai Nana sedikit lebih perasa. Pria itu ada di gedung olahraga, bertolak pinggang di hadapan berpuluh-puluh anak yang menatapnya mendongak bak dewa. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk Nana dapat mengenali figur belakangnya.

            Mengibas ujung roknya yang basah akibat percikan air hujan, Nana duduk di tepi lapangan. Riuh di benaknya mendesak jawaban. Nyatanya, mematikan akal tak semudah yang Nana pikirkan. "Ayo dengarkan saja apa kata hatimu, Na," sugestinya pada diri sendiri.

            Bertepatan dengan itu, objek pandangannya berbalik. Menatap tepat ke arahnya dengan kening mengerut. Tak ada yang berubah dari air muka Nana. Mendadak semua kalimat yang disusunnya dalam kepala, buyar. Jawaban yang sudah disiapkannya, kehilangan keberanian untuk dilontarkan.

            Hingga akhirnya Alwi selesai dengan anak-anak didiknya. Pria itu menghampirinya. Pakaian olahraga dengan dominasi warna hitam yang dikenakannya membuatnya tampak kontras dengan seisi lapangan indoor yang dicat putih. "Kok bisa ada sini?" tanyanya.

            Untuk kali pertama, Nana kehilangan kalimat yang disusunnya hanya karena iris mereka yang bersinggungan, bahkan tak sampai dua detik. Rupanya, beginilah rasanya mematikan akal dan mendengarkan kata hati saja.

            "Na, kok bisa ada di sini? Ada apa? Ini bukan akhir pekan." Alwi menyadarkannya.

            Nana mengendikkan bahu. "Entahlah. Kupikir kamu marah," akunya jujur.

            Kedua sudut bibir pria di hadapannya tertarik ke atas. "Alih-alih marah atau mencari masalah, kamu memang selalu mengatakan apa yang kamu pikirkan dan rasakan, ya, Na? Pantas banyak orang yang bilang kamu beda ... dan aneh," cetus Alwi jujur, diiringi kekehan panjang yang tak berhasil menularkan tawa pada Nana.

            Gadis itu malah berdecak. Tengah tak tertarik diajak bergurau, tentang apapun. "Kita sudah terlalu tua untuk hal-hal seperti itu," katanya.

           "Baru sadar sekarang kalau kita sudah terlalu tua," sahut Alwi. Pria itu ikut duduk di sebelahnya. Melempar pandangan ke arah lapangan yang perlahan-lahan menyepi. "Ada apa? Kamu baru selesai menonton atau membaca novel apa sampai-sampai kamu tergerak datang ke sini?"

           "Bukan hanya novel dan film yang bisa mengubah pikiranku, Wi."

          "Ah, iya. Menyepi, menyendiri, dan merenung juga." Alwi meralat ucapannya sendiri.

          Nana mengepalkan tangan dengan Ibu jari berada di dalam. Menautkannya. Lantas mempertemukan kedua ujung sepatunya. Nana benar-benar mematikan akalnya, mencoba mendengar apa yang diinginkan perasaannya. Sekedar teman singgah semata, atau rekan kerja sama dalam lebih banyak cerita.

          "Jadi ada apa? Apa yang membuat kamu bisa sampai ke sini?" Pertanyaan Alwi menyentak kesadaran Nana.

            Sebelum menjawab, Nana melempar pandangan ke luar. Alwi benar tentang isu kepercayaan seiring berjalannya waktu akan mati dengan sendirinya. Buktinya tak ada rasa apa-apa saat pandangannya terlempar ke arah jalanan yang basah. Tidak juga ingatan tentang apa-apa. Nana hanya merasakan damai yang panjang, sesuatu yang sebenarnya sudah disentuhnya sejak sangat lama.

            "Nana!"

            "Aku sudah jawab tadi," sahutnya cepat.

            "Iya, kamu memang Nana. Nana yang lebih baik menyediakan telinga daripada bertanya." Alwi menggumam sendu. Pria itu menoleh sesaat sebelum melemparkan pandangannya kembali ke lapangan. Dalam tebakannya, Nana tak akan bicara sepatah kata pun. Seperti biasa, dinginnya tetap tak akan tersentuh.

            Namun, Nana menoleh. Raut wajah seperti orang bingung itu perlahan-lahan pudar. "Bukannya karena itu, ya, aku ada? Aku juga mengenal kamu cukup lama, Wi. Kamu yang biasanya akan bercerita bahkan tanpa aku minta. Aku gak mengatakan ini sebagai pembelaan, tapi aku memang kurang dalam hal perasa."

            Nana menghela nafasnya. Alwi menoleh dengan kedua sudut bibir tertarik ke atas. Akhirnya, riuh dalam kepala keduanya teredam. Pria itu mangut-mangut. Menggulung lengan kaosnya hingga sebatas siku sebelum menyandarkan tubuh ke kursi.

            "Aku penasaran, Na. Kalau hanya persepsi yang mengantar kamu ke sini, kenapa baru sekarang? Toh, selama sepuluh tahun terakhir, aku selalu memberi kamu ruang sendiri. Entah saat kamu menulis bagian klimaks novel kamu, saat kamu membaca novel berkonflik berat, atau bahkan saat kamu hanya mau sendiri tanpa alasan. Tapi, kenapa baru sekarang kamu ke sini?"

            Kening Nana berkerut. Senyum pria di depannya tampak mengejek. Wajah yang mengingatkan Nana pada masa-masa sekolahnya. Pada wajah merah padam terbakar matahari saat mengikuti perkemahan, wajah mengantuk di siang hari saat dijejali mata pelajaran Matematika, atau bahkan wajah bingung saat mengerjakan berpuluh-puluh soal berbahasa Arab yang memusingkan kepala.

            Waktu berjalan. Keadaan menyesuaikan. Dan mereka, masih sebatas teman.

            "Kenapa kamu gak pergi saja, Wi? Pergi yang jauh."

            "Pergi ke mana?"

            "Ke mana saja. Ke tempat-tempat yang mungkin gak ada aku di dalamnya."

            "Banyak tempat yang aku kunjungi, yang kamu gak ada di dalamnya, Nana."

            "Tapi bukan untuk waktu sebentar."

            "Selamanya? Lalu kamu? Aku gak pergi saja, kamu cari, Na. Bagaimana kalau aku pergi dan gak kembali lagi?"

            "Buktinya kamu pergi. Hilang malah."

            "Siapa yang bilang? Aku cuma memberi kamu ruang, Nana. Kamu sendiri yang bilang, tenggat waktu untuk novelmu tinggal sebentar lagi."

            Nana bergeming. Sorot matanya berubah kuyu. Sepuluh tahun terakhir, Nana mungkin tidak menemukan pria yang mengagung-agungkan kata cinta atau sederet kalimat penuh makna menginginkannya. Sebab Nana terpaku pada sesuatu yang memahaminya, tanpa banyak kata. Seseorang yang selama sepuluh tahun tak lepas dari depan matanya.

            Teman masa sekolahnya itu adalah hangat untuk sisi dingin Nana. Melunak untuk keras kepalanya. Pengertian untuk banyak hal serba teratur yang tak lepas darinya. Nyatanya waktu sepuluh tahun telah menjadikan mereka segalanya. Barangkali, Nana tak perlu mencari-cari lagi definisi paling tepat untuk menjabarkan sosok Alwi di hidupnya. Sebab selagi waktu bergerak, siapapun bisa jadi apapun. Seseorang dapat mengambil peran sebanyak-banyaknya, semaunya, tanpa perlu definisi apa-apa.

            Selain merutuki kecemasan dan kekecewaannya yang tak beralasan selama dua bulan terakhir, Nana juga menyelami perasaan tenang dan damai yang jauh di dalam hatinya. Di titik itu, akalnya mati sepenuhnya.

            "Alwi." Nana memanggil. "Kenapa kamu tetap di sini? Kenapa kamu memilih tinggal?"

            Pria di sebelahnya mengendikkan bahu. Bergumam panjang mencari-cari jawaban yang diduga Nana sudah tersusun apik di lisan pria itu. "Entahlah, Na. Aku mencoba melakukan apa yang kamu bilang. Menjadikan akal dan perasaan berjalan seiringan. Sesuatu yang gagal kamu terapkan. Iya, 'kan?"

           "Iya," sahutnya membenarkan. Terlampau cepat. "Nyatanya waktu dan keadaan bisa mengubah banyak hal. Termasuk keyakinanku sendiri. Karena itu aku pernah bilang, Wi. Bahkan kadang, aku bisa mengkhianati diriku sendiri. Untuk sepuluh tahun yang berjalan, sepertinya aku harus minta maaf."

           "Atas kesalahan apa?"

           "Karena aku sudah gagal memahami, dan terlambat untuk menghargai kamu."

           "Sekarang, sudah menemukan jawabannya?"

           Nana mengangguk yakin. "Kamu ingat saat kita membahas soal Tuhan? Aku menemukan jawaban dari kata-kata yang kuucapkan saat itu, tapi aku lupa seiring berjalannya waktu."

           "Saat aku mengganggu jam tidur kamu, Na?" tebak Alwi yang diangguki Nana dengan cepat.

           Saat itu, Nana mengatakan bahwa tak selamanya sesuatu yang kita percaya, bisa kita lihat, yang bisa kita rasakan keberadaannya pun bisa kita percaya---dalam konteks Ketuhanan. Bertahun-tahun setelahnya, Nana dihadapkan pada persoalan yang sama, dengan perasaan sebagai objeknya. Keberadaan Alwi yang membuatnya terbiasa, menjadikan Nana tak letih-letihnya bertanya. Padahal, hanya dengan merasa, menyelami perasaannya, semua pertanyaan itu bisa terjawab.

          Waktu dua bulan yang dihabiskan Nana dengan banyak kecurigaan seolah-olah menertawakannya sekarang.

         "Benar kan, Wi? Gak hanya pelupa, aku juga suka berkhianat sama diriku sendiri."

         "Karena itu, kamu butuh seseorang, Nana."

         Di hari ke-3.679, tawa mereka menguar lebih seirama dari biasanya.

         ***

Catatan : Jadilah pembaca yang bijak, jauhi plagiarisme, dan sertakan nama penulis dan situs web apabila cerpen ini ingin dikutip ke media lain. Terima kasih, semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun