Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Hari Ke-3.679

15 Oktober 2022   13:38 Diperbarui: 15 Oktober 2022   15:24 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            "Na, kamu pernah menyebut aku di doamu?"

            Suatu hari, Alwi pernah bertanya. Di tahun ke-tujuh. Tak lama setelah dua cangkir kopi yang mereka nikmati di tengah kesibukan, tandas. Pertanyaan menjurus serius yang membuat Nana sempat kalang kabut.

            "Pernah," jawabnya saat itu.

            "Apa doanya?"

            "Bukan doa yang baik. Kamu bakal menyesal kalau kuceritakan."

            Nana ingat wajah terhenyak pria itu. Yang coba ia tutup-tutupi dengan senyum getir. "Katakan saja. Toh, aku kan sudah biasa mendengar kejujuran kamu."

            "Aku mengusir kamu dalam doaku."

            "Karena?"

            "Kamu pun tahu alasannya."

            Pria itu tak lagi bertanya. Ia habiskan kopinya dalam diam. Sesekali menyugar rambutnya yang memanjang dengan helaan nafas yang berat. Nana tak sampai hati, sungguh. Namun, mengiming-imingi seseorang keindahan untuk kelak ia bumi hanguskan juga bukan pilihan yang terdengar menyenangkan.

            Nana tahu, Alwi jelas mengerti alasannya. Pria itu memahaminya lebih baik di antara teman-temannya yang lain. Hingga sampai suatu hari, saat mereka menunggu kereta untuk pulang, Alwi menyeletuk. "Na, kamu pernah bilang kalau hati dan akal harus berjalan seiringan. Tapi untuk diri kamu sendiri, kenapa kamu lebih sering mematikan perasaan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun