"Na, kamu pernah menyebut aku di doamu?"
      Suatu hari, Alwi pernah bertanya. Di tahun ke-tujuh. Tak lama setelah dua cangkir kopi yang mereka nikmati di tengah kesibukan, tandas. Pertanyaan menjurus serius yang membuat Nana sempat kalang kabut.
      "Pernah," jawabnya saat itu.
      "Apa doanya?"
      "Bukan doa yang baik. Kamu bakal menyesal kalau kuceritakan."
      Nana ingat wajah terhenyak pria itu. Yang coba ia tutup-tutupi dengan senyum getir. "Katakan saja. Toh, aku kan sudah biasa mendengar kejujuran kamu."
      "Aku mengusir kamu dalam doaku."
      "Karena?"
      "Kamu pun tahu alasannya."
      Pria itu tak lagi bertanya. Ia habiskan kopinya dalam diam. Sesekali menyugar rambutnya yang memanjang dengan helaan nafas yang berat. Nana tak sampai hati, sungguh. Namun, mengiming-imingi seseorang keindahan untuk kelak ia bumi hanguskan juga bukan pilihan yang terdengar menyenangkan.
      Nana tahu, Alwi jelas mengerti alasannya. Pria itu memahaminya lebih baik di antara teman-temannya yang lain. Hingga sampai suatu hari, saat mereka menunggu kereta untuk pulang, Alwi menyeletuk. "Na, kamu pernah bilang kalau hati dan akal harus berjalan seiringan. Tapi untuk diri kamu sendiri, kenapa kamu lebih sering mematikan perasaan?"