Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Hari Ke-3.679

15 Oktober 2022   13:38 Diperbarui: 15 Oktober 2022   15:24 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            "Siapa yang bilang? Aku cuma memberi kamu ruang, Nana. Kamu sendiri yang bilang, tenggat waktu untuk novelmu tinggal sebentar lagi."

            Nana bergeming. Sorot matanya berubah kuyu. Sepuluh tahun terakhir, Nana mungkin tidak menemukan pria yang mengagung-agungkan kata cinta atau sederet kalimat penuh makna menginginkannya. Sebab Nana terpaku pada sesuatu yang memahaminya, tanpa banyak kata. Seseorang yang selama sepuluh tahun tak lepas dari depan matanya.

            Teman masa sekolahnya itu adalah hangat untuk sisi dingin Nana. Melunak untuk keras kepalanya. Pengertian untuk banyak hal serba teratur yang tak lepas darinya. Nyatanya waktu sepuluh tahun telah menjadikan mereka segalanya. Barangkali, Nana tak perlu mencari-cari lagi definisi paling tepat untuk menjabarkan sosok Alwi di hidupnya. Sebab selagi waktu bergerak, siapapun bisa jadi apapun. Seseorang dapat mengambil peran sebanyak-banyaknya, semaunya, tanpa perlu definisi apa-apa.

            Selain merutuki kecemasan dan kekecewaannya yang tak beralasan selama dua bulan terakhir, Nana juga menyelami perasaan tenang dan damai yang jauh di dalam hatinya. Di titik itu, akalnya mati sepenuhnya.

            "Alwi." Nana memanggil. "Kenapa kamu tetap di sini? Kenapa kamu memilih tinggal?"

            Pria di sebelahnya mengendikkan bahu. Bergumam panjang mencari-cari jawaban yang diduga Nana sudah tersusun apik di lisan pria itu. "Entahlah, Na. Aku mencoba melakukan apa yang kamu bilang. Menjadikan akal dan perasaan berjalan seiringan. Sesuatu yang gagal kamu terapkan. Iya, 'kan?"

           "Iya," sahutnya membenarkan. Terlampau cepat. "Nyatanya waktu dan keadaan bisa mengubah banyak hal. Termasuk keyakinanku sendiri. Karena itu aku pernah bilang, Wi. Bahkan kadang, aku bisa mengkhianati diriku sendiri. Untuk sepuluh tahun yang berjalan, sepertinya aku harus minta maaf."

           "Atas kesalahan apa?"

           "Karena aku sudah gagal memahami, dan terlambat untuk menghargai kamu."

           "Sekarang, sudah menemukan jawabannya?"

           Nana mengangguk yakin. "Kamu ingat saat kita membahas soal Tuhan? Aku menemukan jawaban dari kata-kata yang kuucapkan saat itu, tapi aku lupa seiring berjalannya waktu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun