Gadis itu malah berdecak. Tengah tak tertarik diajak bergurau, tentang apapun. "Kita sudah terlalu tua untuk hal-hal seperti itu," katanya.
      "Baru sadar sekarang kalau kita sudah terlalu tua," sahut Alwi. Pria itu ikut duduk di sebelahnya. Melempar pandangan ke arah lapangan yang perlahan-lahan menyepi. "Ada apa? Kamu baru selesai menonton atau membaca novel apa sampai-sampai kamu tergerak datang ke sini?"
      "Bukan hanya novel dan film yang bisa mengubah pikiranku, Wi."
     "Ah, iya. Menyepi, menyendiri, dan merenung juga." Alwi meralat ucapannya sendiri.
     Nana mengepalkan tangan dengan Ibu jari berada di dalam. Menautkannya. Lantas mempertemukan kedua ujung sepatunya. Nana benar-benar mematikan akalnya, mencoba mendengar apa yang diinginkan perasaannya. Sekedar teman singgah semata, atau rekan kerja sama dalam lebih banyak cerita.
     "Jadi ada apa? Apa yang membuat kamu bisa sampai ke sini?" Pertanyaan Alwi menyentak kesadaran Nana.
      Sebelum menjawab, Nana melempar pandangan ke luar. Alwi benar tentang isu kepercayaan seiring berjalannya waktu akan mati dengan sendirinya. Buktinya tak ada rasa apa-apa saat pandangannya terlempar ke arah jalanan yang basah. Tidak juga ingatan tentang apa-apa. Nana hanya merasakan damai yang panjang, sesuatu yang sebenarnya sudah disentuhnya sejak sangat lama.
      "Nana!"
      "Aku sudah jawab tadi," sahutnya cepat.
      "Iya, kamu memang Nana. Nana yang lebih baik menyediakan telinga daripada bertanya." Alwi menggumam sendu. Pria itu menoleh sesaat sebelum melemparkan pandangannya kembali ke lapangan. Dalam tebakannya, Nana tak akan bicara sepatah kata pun. Seperti biasa, dinginnya tetap tak akan tersentuh.
      Namun, Nana menoleh. Raut wajah seperti orang bingung itu perlahan-lahan pudar. "Bukannya karena itu, ya, aku ada? Aku juga mengenal kamu cukup lama, Wi. Kamu yang biasanya akan bercerita bahkan tanpa aku minta. Aku gak mengatakan ini sebagai pembelaan, tapi aku memang kurang dalam hal perasa."