Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Hari Ke-3.679

15 Oktober 2022   13:38 Diperbarui: 15 Oktober 2022   15:24 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Seorang cendekiawan pernah berkata, "kalau kamu sudah menemukan orang yang tepat, matikan akalmu, gunakanlah hatimu untuk mencintainya."

            Dan, baru sekarang Nana mengakui itu ada benarnya.

            ***

            Sebenarnya, tak sulit menemukan Alwi, andai Nana sedikit lebih perasa. Pria itu ada di gedung olahraga, bertolak pinggang di hadapan berpuluh-puluh anak yang menatapnya mendongak bak dewa. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk Nana dapat mengenali figur belakangnya.

            Mengibas ujung roknya yang basah akibat percikan air hujan, Nana duduk di tepi lapangan. Riuh di benaknya mendesak jawaban. Nyatanya, mematikan akal tak semudah yang Nana pikirkan. "Ayo dengarkan saja apa kata hatimu, Na," sugestinya pada diri sendiri.

            Bertepatan dengan itu, objek pandangannya berbalik. Menatap tepat ke arahnya dengan kening mengerut. Tak ada yang berubah dari air muka Nana. Mendadak semua kalimat yang disusunnya dalam kepala, buyar. Jawaban yang sudah disiapkannya, kehilangan keberanian untuk dilontarkan.

            Hingga akhirnya Alwi selesai dengan anak-anak didiknya. Pria itu menghampirinya. Pakaian olahraga dengan dominasi warna hitam yang dikenakannya membuatnya tampak kontras dengan seisi lapangan indoor yang dicat putih. "Kok bisa ada sini?" tanyanya.

            Untuk kali pertama, Nana kehilangan kalimat yang disusunnya hanya karena iris mereka yang bersinggungan, bahkan tak sampai dua detik. Rupanya, beginilah rasanya mematikan akal dan mendengarkan kata hati saja.

            "Na, kok bisa ada di sini? Ada apa? Ini bukan akhir pekan." Alwi menyadarkannya.

            Nana mengendikkan bahu. "Entahlah. Kupikir kamu marah," akunya jujur.

            Kedua sudut bibir pria di hadapannya tertarik ke atas. "Alih-alih marah atau mencari masalah, kamu memang selalu mengatakan apa yang kamu pikirkan dan rasakan, ya, Na? Pantas banyak orang yang bilang kamu beda ... dan aneh," cetus Alwi jujur, diiringi kekehan panjang yang tak berhasil menularkan tawa pada Nana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun