Seorang cendekiawan pernah berkata, "kalau kamu sudah menemukan orang yang tepat, matikan akalmu, gunakanlah hatimu untuk mencintainya."
      Dan, baru sekarang Nana mengakui itu ada benarnya.
      ***
      Sebenarnya, tak sulit menemukan Alwi, andai Nana sedikit lebih perasa. Pria itu ada di gedung olahraga, bertolak pinggang di hadapan berpuluh-puluh anak yang menatapnya mendongak bak dewa. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk Nana dapat mengenali figur belakangnya.
      Mengibas ujung roknya yang basah akibat percikan air hujan, Nana duduk di tepi lapangan. Riuh di benaknya mendesak jawaban. Nyatanya, mematikan akal tak semudah yang Nana pikirkan. "Ayo dengarkan saja apa kata hatimu, Na," sugestinya pada diri sendiri.
      Bertepatan dengan itu, objek pandangannya berbalik. Menatap tepat ke arahnya dengan kening mengerut. Tak ada yang berubah dari air muka Nana. Mendadak semua kalimat yang disusunnya dalam kepala, buyar. Jawaban yang sudah disiapkannya, kehilangan keberanian untuk dilontarkan.
      Hingga akhirnya Alwi selesai dengan anak-anak didiknya. Pria itu menghampirinya. Pakaian olahraga dengan dominasi warna hitam yang dikenakannya membuatnya tampak kontras dengan seisi lapangan indoor yang dicat putih. "Kok bisa ada sini?" tanyanya.
      Untuk kali pertama, Nana kehilangan kalimat yang disusunnya hanya karena iris mereka yang bersinggungan, bahkan tak sampai dua detik. Rupanya, beginilah rasanya mematikan akal dan mendengarkan kata hati saja.
      "Na, kok bisa ada di sini? Ada apa? Ini bukan akhir pekan." Alwi menyadarkannya.
      Nana mengendikkan bahu. "Entahlah. Kupikir kamu marah," akunya jujur.
      Kedua sudut bibir pria di hadapannya tertarik ke atas. "Alih-alih marah atau mencari masalah, kamu memang selalu mengatakan apa yang kamu pikirkan dan rasakan, ya, Na? Pantas banyak orang yang bilang kamu beda ... dan aneh," cetus Alwi jujur, diiringi kekehan panjang yang tak berhasil menularkan tawa pada Nana.