Kehendak bebas bercampur ayunan nasib menyeret langkahnya ke Bali pada 2002. Ia memaksudkan untuk mengubah hidupnya yang serba cepat dan terburu-buru di Jakarta menjadi lebih lambat, tenang dan ringan. Bali menjadi pilihannya. Ia mengaku Bali adalah caranya untuk kem(Bali) dari hidup sebelumnya yang berpindah-pindah.
Di daerah bernama Gianyar itu Ia membuat restoran kecil atas saran kawan-kawannya sebagai sumber penghidupan. Ia memasak sendiri, menjadi koki, menjadi kasir, dan pelayan untuk restorannya bernama Mango Lango. Â
      Â
                                                              Â
Â
Ia bergeming. Ia selalu merasa akan mendapatkan sesuatu yang besar di Bali.
Sesuatu yang besar itu pun datang pada kisaran 2011.
Saat itu Ia membawa banyak barang di tangannya untuk mondar-mandir pergi ke restoran miliknya. Yang hanya berbilang meter dari rumahnya. Jalanannya agak unik berupa pematang kecil menyusuri dua kali yang bersisian. Ia terperosok masuk ke lubang yang tak terlihat matanya. Hingga terjeblos ke pangkal paha.
Ia kemudian lumpuh.
Seketika hidupnya terpelanting drastis bersama bagian bawah badannya yang mati rasa.
Pengobatan tukang urut dan dokter serta obat-obatan tak kunjung menyembuhkan dirinya. Malah penggunaan obat berlebihan semakin memperparah keadaannya.
Ia mengambil sikap reflektif dari kejadian itu. Ia menarik dirinya mundur untuk menenangkan pikirannya dan mengingatkan dirinya sendiri. Bahwa dalam setiap penderitaan sekaligus di dalamnya ada pelajaran berharga dan jalan keluar.
Ia memutuskan menyembuhkan dirinya sendiri. Itulah saatnya Ia kembali bergumul dengan rempah-rempah untuk membuat ramuan minyak tradisional. Dari situlah Ia melahirkan minyak balur Kutus-Kutus yang terbukti telah menyembuhkan dirinya sendiri.
Â
Awalnya minyak balur itu Ia bagikan cuma-cuma kepada kawan dekatnya yang berkunjung ke Bali. Ternyata banyak orang merasakan khasiat minyak itu dan menyarankan dirinya untuk menjualnya.