Mohon tunggu...
Hertasning Ichlas
Hertasning Ichlas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Peneliti di Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden. Minat riset formasi dan instrumentalisasi hukum, perubahan agraria dan ekologi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Bambang Pranoto dan Kisah Minyak Kutus-Kutus

16 Juli 2024   16:22 Diperbarui: 17 Juli 2024   08:00 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto kastil Kutus-Kutus Property International BV. Credit foto: idem dito 

Oleh Hertasning Ichlas*

SAYA menyusuri jalan kampung yang dibelah oleh sungai kecil di sebuah kawasan pedesaan Belanda bernama Baambrugge di sekitar wilayah Utrecht. Di tempat ini dimana para baron Belanda biasanya memiliki kastil sampai menutup usia, saya bertemu Bambang Pranoto untuk kedua kali.

Gerbang rumah kastil sudah terbuka ketika saya tiba. Sekejap bangunan yang berdiri sejak abad 16-an berjendela lebar, bertembok warna batu bata dan dikelilingi vegetasi rimbun memperkenalkan dirinya ke hadapan tamunya. Saya merasakan getaran kejayaan bergantian dengan desir angin dingin kesepian dari bangunan tersebut.

Lokasi pada mesin pencari navigasi menyebut nama tempat itu Kutus-Kutus Property International B.V. Sementara pada dinding kastil tersemat dua logo berwarna hijau dan biru bersisian yaitu Kutus-Kutus beraksara Bali dan Sanga-Sanga.    

Bambang Pranoto pencipta dan pemilik minyak balur Kutus-Kutus dan Sanga-Sanga membeli kastil itu sejak 2020. Berawal ketika Ia sedang membawa 200 pegawai Kutus-Kutusnya pelesir ke Eropa termasuk mengunjungi pusat kota Amsterdam.
 
Saat Ia terpisah dari rombongan, angin dan rintik hujan kota Amsterdam yang labil menyeret langkah kakinya untuk meneduh di sebuah kantor makelar perumahan di bilangan pusat kota Amsterdam. Saat di situ pula Ia mendapat ilham untuk membeli kastil di Belanda.

Seusai ngobrol ngalor-ngidul lelaki berusia hampir tujuh puluh tahun itu membawa saya menyusuri kastilnya seluas tujuh hektar lebih dengan senang dan ramah. 

Bergantian dari tangan atau mulutnya terselip rokok Dji Sam Soe.

Ia menghisap dalam-dalam rokok kreteknya. Asap mengepul melewati raut wajahnya yang berkaca mata, berambut gondrong, dan berjanggut. Hingga kemudian asap itu menghilang ditelan udara di akhir musim semi.

Sambil berjalan Ia menjelaskan riwayat pemilik awal kastil yang dibelinya. Sementara mata saya menikmati pepohonan rimbun dan telaga berisi angsa dan burung-burung. Saya juga melewati dua bangunan utama kastil, tegalan, hamparan tanah lapang berumput hijau dan arus air di kali kecil yang indah yang membelah kastil.

Foto telaga di kastil. Credit foto: idem dito
Foto telaga di kastil. Credit foto: idem dito
"Kalau mau pakai untuk kumpul-kumpul diskusi atau kegiatan seni silakan saja," ucapnya sambil tangannya menunjuk dan menjelajahi wilayah-wilayah parkir yang memungkinkan untuk digunakan. 

Kami lalu berjalan balik menuju kastil nomor 9. Tempat Ia dan keluarganya tinggal. Lokasinya persis berada di belakang kastil nomor 8 yang difungsikan sebagai kantor dan ruang pertemuan.

Dahulu kala kastil nomor 9 itu kandang kuda. Kini dirinya, istrinya dan satu anak lelakinya biasanya menghabiskan visa tinggal tiga bulan di Belanda di kastil belakang itu.
 
"Saya lebih suka di sini. Ruangan dan kamar mandinya tidak sebesar di depan," katanya.

Di dalam rumah tinggalnya itu saya diajak masuk ke ruangan favoritnya. Sebuah ruangan besar menghadap ke teras kebun rumahnya. Tembus pandang ke hamparan tanah belakangnya yang luasnya berkali lipat lapangan sepak bola Senayan.
 
Sofa besar dikelilingi beberapa jenis organ keyboard, drum elektrik dan sejumlah alat musik lain mendiami ruangan itu. Ruangan itu adalah studio musiknya. Tempat ia menjalani dirinya yang lain: seorang seniman yang gemar memproduksi dan menjadi komposer musik sejak puluhan tahun silam.
 
"Di mana pun saya tinggal saya selalu punya studio," ucapnya seraya membuka layar komputer di hadapannya dikelilingi alat mixing dan jenis-jenis audio pengeras suara.
 
Tangannya tangkas dan terampil menjelaskan aplikasi pendukung yang digunakannya. Serta saat Ia sibuk membuka berkas-berkas musik dari komputernya.
 
Ia mengajak saya menjelajahi musik-musik yang dibuatnya bersama para seniman lain sejak awal 90-an dari laci komputernya. Ada langgam musik instrumental Jawa, Sunda, dan Minang bercampur dengan nuansa rock, jazz, fushion dan entah apalagi, setidaknya itulah yang sempat saya dengar.

"Setiap hari saya berusaha membuat satu karya," ucapnya.

Ia meluruskan punggungnya di kursi, sedikit menggerai rambutnya yang panjang dan beruban. Lalu membakar rokok kreteknya yang ke sekian kali. Sambil tetap duduk menghadap ke layar monitor memperdengarkan karya-karya musiknya.

Saya melihat Ia telah larut dan ingin berlama-lama di situ. Ada dorongan hati yang kuat terhadap musik. Asap rokok kami menari-nari seperti mengatakan tak usah kita pikirkan waktu.
 
Lalu kemudian saya usil bertanya "kalo sudah begini apakah masih bisa kesepian?"

"Oh, saya masih kesepian. Kesepian itu penting bagi saya."

Saya amati dirinya saat mengatakan hal itu. Seorang lelaki dengan perawakan santai sedikit bohemian seperti menolak untuk serius dan teratur. Namun semakin mendalami persona dirinya saya tahu di balik penampilan itu ada disiplin diri, keseriusan terhadap waktu untuk terus berkarya dan mengisi hidup sepenuh-penuhnya.

Bambang Pranoto di studio musiknya. Credit foto: Kutus-Kutus Property International BV
Bambang Pranoto di studio musiknya. Credit foto: Kutus-Kutus Property International BV

                                                                                                                             

BAMBANG Pranoto lahir dari keluarga Jawa. Ayahnya seorang militer dengan karir pensiunan jenderal. Namun meski begitu Ia dan keluarganya mengaku hidup ugahari. Mereka pernah hidup sekian tahun hanya dari hasil tiga pohon kelapa yang ada di pekarangan rumahnya.
 
Ia dibesarkan hingga SMP di Jakarta. Saat SMA, Ia memilih sekolah di Kolese De Britto di Jogjakarta. Di kota itulah Ia terpapar pergaulan termasuk dengan sosok WS Rendra dan Bengkel Teater yang Ia hormati.

Pada awal tahun 80-an Ia terkena sejumlah penyakit di tubuhnya. Salah satunya herpes yang membengkak hampir menutupi seluruh kelopak matanya. Dokter saat itu kebingungan dan menyerah dengan penyakit yang dialaminya. Pada saat itu pula kepercayaannya terhadap dokter sedikit luntur.

Sejak kecil Bambang Pranoto punya etos belajar yang tinggi. Dia sudah membaca buku-buku pemikir dunia sejak di bangku SD termasuk mengulik buku-buku manfaat tanaman untuk kesehatan.

Ia mengobati sendiri herpes itu berbekal pesan ibunya untuk menggunakan bahan singkong. Setelah dibalur ramuan singkong, herpes yang menjalar di sekitar matanya berangsur-angsur kempes dan sirna. Semenjak itu Bambang Pranoto muda menjalin persekutuan dengan ramuan obat-obatan herbal.

Di bawah pohon rindang di kastilnya Ia menjelaskan pohon dan tanaman yang mengakar di tanah dan tak bisa berpindah biasanya memiliki senjata berupa racun dan getah untuk melawan pemangsanya.

Foto Bambang Pranoto. Credit foto: Kutus-Kutus Property International BV
Foto Bambang Pranoto. Credit foto: Kutus-Kutus Property International BV
"Racun tersebut adalah obat buat manusia," ucapnya sambil menjelaskan betapa keseimbangan kosmik memberi jawaban atas kebutuhan umat manusia.

Setelah mencapai karir profesional tinggi selama 15 tahun di perusahaan multinasional bernama Koninklijke Philips Electronics, Ia memutuskan berhenti dan mencari dunia lain. Keputusan itu mengejutkan keluarganya namun tidak untuk dirinya.

Perusahaan itu telah memberinya pengalaman bekerja dan pendidikan di luar negeri hingga tingkat doktoral. Di pucuk karirnya sebagai account executive manager Ia merasa uang bukan segalanya dan ingin mencari pemenuhan jiwa lainnya. Yang belum sepenuhnya Ia ketahui.
 
Di dalam buku autobiografinya berjudul "Mari Bung Rebut Kembali," Ia mengungkapkan alasan tersembunyi dan subtil mengapa Ia memutuskan berhenti sebagai profesional mapan dan Ia menuliskan alasannya. 

"...ternyata saya sudah kehilangan banyak hal."

Dalam hening seorang Bambang Pranoto seperti melihat lintasan hidupnya sendiri. Berisi perjalanan karirnya dan tarik-menarik pilihan hidup yang dijalaninya. Ia pernah mendapatkan karir, uang dan kemewahan seraya mengorbankan banyak hal. 

Lalu Ia menemukan sukma kehidupan baru yang menuntun dirinya menyadari sesuatu yang sangat sederhana dan karenanya berharga, bahwa Ia merasa lebih berbahagia jika memiliki waktu luang.
 
Waktu luang itu kemudian diungkapkannya sebagai kesempatan untuk mendengarkan dan berdialog dengan dirinya sendiri.

Umur dan kematangan diri telah tiba pada suatu titik untuk menginsyafi betapa nilai uang dan kenikmatannya terus berkurang dan merosot seiring bertambahnya usia. Pada saat itulah Bambang Pranoto ingin menyelamatkan sisa agenda hidupnya dan waktu yang tak pernah bisa dibelinya.  

Kehendak bebas bercampur ayunan nasib menyeret langkahnya ke Bali pada 2002. Ia memaksudkan untuk mengubah hidupnya yang serba cepat dan terburu-buru di Jakarta menjadi lebih lambat, tenang dan ringan. Bali menjadi pilihannya. Ia mengaku Bali adalah caranya untuk kem(Bali) dari hidup sebelumnya yang berpindah-pindah.

Di daerah bernama Gianyar itu Ia membuat restoran kecil atas saran kawan-kawannya sebagai sumber penghidupan. Ia memasak sendiri, menjadi koki, menjadi kasir, dan pelayan untuk restorannya bernama Mango Lango.  
            

                                                                                                                             

Foto Bambang Pranoto. Credit foto: Kutus-Kutus Property International BV
Foto Bambang Pranoto. Credit foto: Kutus-Kutus Property International BV
SELAMA hidup di Bali yang kisahnya tak selalu bermandikan sinar matahari dan kilauan pelangi, Ia kerap mendapat tawaran pekerjaan untuk kembali menjadi tukang profesional berpangkat tinggi dan bergaji besar di Jakarta.
 
Ia bergeming. Ia selalu merasa akan mendapatkan sesuatu yang besar di Bali.

Sesuatu yang besar itu pun datang pada kisaran 2011.

Saat itu Ia membawa banyak barang di tangannya untuk mondar-mandir pergi ke restoran miliknya. Yang hanya berbilang meter dari rumahnya. Jalanannya agak unik berupa pematang kecil menyusuri dua kali yang bersisian. Ia terperosok masuk ke lubang yang tak terlihat matanya. Hingga terjeblos ke pangkal paha.

Ia kemudian lumpuh.

Seketika hidupnya terpelanting drastis bersama bagian bawah badannya yang mati rasa.

Pengobatan tukang urut dan dokter serta obat-obatan tak kunjung menyembuhkan dirinya. Malah penggunaan obat berlebihan semakin memperparah keadaannya.

Ia mengambil sikap reflektif dari kejadian itu. Ia menarik dirinya mundur untuk menenangkan pikirannya dan mengingatkan dirinya sendiri. Bahwa dalam setiap penderitaan sekaligus di dalamnya ada pelajaran berharga dan jalan keluar.

Ia memutuskan menyembuhkan dirinya sendiri. Itulah saatnya Ia kembali bergumul dengan rempah-rempah untuk membuat ramuan minyak tradisional. Dari situlah Ia melahirkan minyak balur Kutus-Kutus yang terbukti telah menyembuhkan dirinya sendiri.
 
Awalnya minyak balur itu Ia bagikan cuma-cuma kepada kawan dekatnya yang berkunjung ke Bali. Ternyata banyak orang merasakan khasiat minyak itu dan menyarankan dirinya untuk menjualnya.

Pada 2013 Ia resmi menjual minyak balur Kutus-Kutus. Kutus artinya delapan di dalam bahasa Bali. Nyalinya terkumpul bulat untuk menjual minyak itu setelah Ia mandi di pemandian Balutan di Tampak Siring. Di pemandian itu seseorang katanya menepuk punggungnya dari belakang. Penepuk berpesan kepadanya untuk segera menjual minyak tersebut. Entahlah siapa orang itu.

Tanpa bantuan iklan di media, pembicaraan jalanan tentang khasiat minyak balur Kutus-Kutus melesat merambati percakapan para penikmat minyak balur. Terutama ibu-ibu muda yang memiliki anak kecil. Aroma baunya yang tak terlalu menyengat dibanding minyak lain yang lebih mapan dan khasiatnya dengan cepat mendapat banyak pujian dari penggunanya.

Dalam bilangan waktu kurang dari 6 tahun, minyak balur Kutus-Kutus sudah ada di rumah-rumah dan di hati anak-anak di penjuru Indonesia.
 
Penjualannya meroket dari 500 juta di 2016 menjadi 500-an milyar rupiah di 2020. Kini minyak itu memiliki pabrik pengolahan berpusat di Bali. Usahanya berkembang meliputi hotel, sekolah dan radio. Jumlah karyawannya 1000 orang lebih ditambah 5000 orang distributor, depo dan reseller yang tersebar di seluruh Indonesia termasuk Papua.
 
Saat Covid-19 membenamkan banyak usaha dan kehidupan, permintaan dan produksi Kutus-Kutus justru mencapai 2 juta botol per bulan dengan omzet mencapai 570 milyar.

Terawan, menteri kesehatan saat itu menyadari peran penting minyak itu dalam melawan virus COVID-19. Sang menteri meminta khusus kepada pemiliknya agar harga minyak itu diturunkan supaya terjangkau masyarakat bawah. Bambang Pranoto kemudian mengubah harganya dari sebelumnya 230 ribu menjadi 170 ribu rupiah.

Sepanjang karirnya minyak balur tersebut hingga kini menjadi ancaman terhadap 50 persen perusahaan farmasi. Salah satu perusahaan farmasi besar pernah berusaha serius untuk membeli perusahaan Kutus-Kutus. 

Tantangan lainnya, sekitar 70-an persen pemalsuan dan bajakan minyak itu telah beredar di masyarakat terutama melalui pemesanan daring.

Namun saya menikmati jawaban ringan Bambang Pranoto yang mengatakan semakin ramai pembajakan semakin banyak pula orang yang mencari aslinya. Ia tidak banyak khawatir soal itu.

Namun saya merasakan kekecewaan dan getir. Saat Ia menceritakan bagaimana anak tirinya yang Ia besarkan dan percayakan untuk membantunya mengembangkan Kutus-Kutus menikamnya dari belakang.
 
Ia mempercayakan pendaftaran merek dan logo Kutus-Kutus kepada anaknya itu. Namun anaknya menggunakan kesempatan itu untuk memahkotakan dirinya sendiri sebagai pemilik legal merek dan logo produk tersebut.
 
Bambang Pranoto merelakan merek dan logo itu pergi digondol dengan cara licik. Bersama milyaran rupiah yang harus Ia tanggung sebagai implikasi keuangan dari pengkhianatan tersebut.
 
Ia memutuskan tidak meladeni permintaan uang anak tirinya yang angkanya fantastis. Jika ia ingin mengambil kembali logo dan merek minyak itu. Kutus-Kutus di tangannya kini berubah menjadi Kutus-Kutus beraksara Bali dari sebelumnya bertuliskan latin yang kini dikuasai oleh anak tirinya.
 
Sesuatu yang besar akan terjadi lagi dengan hidupnya dan minyak balurnya.
 
Kesehatan Bambang Pranoto terpelanting untuk kedua kalinya. Ketika Ia mengalami lumpuh kembali di sekitar pinggang dan kaki kanan pada Desember 2023. Berhari-hari Ia hanya bisa terbaring lunglai. Dokter lagi-lagi tidak bisa melihat sesuatu yang bermasalah pada tubuhnya.

Ia kembali berinisiatif menyembuhkan dirinya sendiri. Pada pertengahan Januari 2024 Ia menyeret kakinya separoh mengesot sambil menahan rasa kesakitan agar bisa ke pasar Badung di Bali. Di pasar itu Ia memilih dan mengumpulkan rempah-rempah yang diperlukan untuk mengobati dirinya sendiri.

Seiring penyembuhan dirinya oleh minyak baru buatannya, Ia mentransformasi minyak balurnya menjadi Kutus-Kutus aksara Bali dengan olahan 69 bahan. Ia pula membuat ramuan baru bernama Minyak Balur Sanga-Sanga dengan olahan 140 bahan didukung aroma lavender dan bunga pudak yang langka yang tumbuh di tepi pantai di Bali.
   
Bambang Pranoto memasuki senjakala usia namun Ia memasukinya dengan gagah. Setelah Ia melalui setiap peperangan hidup yang menurutnya telah dijalaninya sejak kecil dengan sikap menerima. Kini minyak balurnya beserta produk turunan lainnya sedang gencar menembus pasar dunia termasuk di 27 negara di Eropa.
 
Kastilnya di Belanda, tempat saya dua kali bertemu untuk menyelami dirinya, sebenar-benarnya adalah perwujudan kehidupan desanya. Bukan simbol kesombongan. Namun pesan kecil kepada orang-orang Indonesia bahwa Ia bisa. Ia telah sampai di titik ini dengan usahanya sambil mengibarkan bendera merah putih di halaman depan rumah kastilnya.
 
Dalam setiap penerimaannya menghadapi pahit getir kehidupan dengan sikap tabah. Tanpa sumpah serapah dan laku menyalahkan siapa pun apalagi menyalahkan Sang Pencipta. Ia sebenarnya mentransformasi dirinya sendiri seperti pula minyak balurnya. Menjadi manusia kuat yang tak terkalahkan. []

*Penulis lepas sedang studi dan bermukim di pinggiran Den Haag

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun