Situasi kian memburuk karena perpecahan mereka tercium oleh sejumlah politisi yang memang tengah mempersiapkan suksesi kerajaan. Masing-masing politisi mendompleng kepada empat faksi yang pecah. Perdebatan yang semula berpusat kepada pencarian lukisan yang dianggap paling benar pun melebar; isu-isu tentang keadilan, hak rakyat atas tanah, serta tudingan-tundingan kepada sang raja pun bermunculan. Bentrok antar-massa takterhindarkan.
Manakala sang raja kembali dari perjalanan muhibah, ia dapati sudut-sudut desa di wilayah kerajaannya rusak, bahkan di sana-sini tampak ada bekas kebakaran dengan asap yang masih mengepul. Ia merunduk dengan perasaan teramat lara setelah tahu akar persoalannya ternyata pada keempat pelukis kesayangannya.
Sekembalinya di balairung kerajaan, ia menugaskan pamong untuk memanggil kembali keempat pelukis yang berseteru.
Keempat pelukis tiba, memberi hormat tapi semuanya, kini, dengan dagu yang terangkat. Ketika sang raja mempertanyakan duduk-perkara, mereka berebut bicara dengan suara nyaring. Sang raja merunduk membenam luka hati.
Ia pun kemudian berkata lirih, "jika kalian takdapat memutuskannya, carilah seorang bijak untuk menimbang dan memutuskan."
Singkat cerita, karena yang disebut para bijak itu pun sudah terpecah-pecah ke dalam faksi-faksi, maka ketika satu demi satu menyampaikan pendapatnya, pun tidak ada yang ajeg, masing-masing hanya menyampaikan "kebenaran" berdasarkan kepentingan faksinya.
Sang raja sangat kecewa, ia merunduk semakin dalam.
Dengan perasaan lara itu pula ia berlalu ke kamarnya. Ia menanggalkan seluruh pakaian kebesarannya lantas menggantinya dengan pakaian yang paling bersahaja.
"Mungkin juga saya ini sudah takpatut lagi menjadi raja," bisiknya ke diri sendiri sambil mengenakan caping.
Sang raja kemudian pergi meninggalkan kerajaan secara diam-diam. Ia pergi tidak dengan kereta kencana, tidak pula menunggang kuda, melainkan jalan kaki dan semata-mata melangkah mengikuti ibu jari kaki.
Hari, minggu, bulan terlewati. Sang raja yang kini sangat kumal itu tiba lah di suatu warung yang takkalah kumalnya. Di sana telah duduk seorang berperawakan kurus dengan pakaian yang lebih kumal lagi, pakaiannya yang mungkin semula berwarna putih itu sudah jauh dari aslinya. Lelaki yang cenderung gundul tersebut sedang terlibat pembicaraan dengan perempuan sepuh sang pemilik warung. Sang raja yang baru tiba, itu hanya memesan minuman untuk kemudian hanya mendengarkan pembicaraan mereka.