"Ya, tidak tahu lah yaw... Tuhan kan tidak kelihatan," jawab Pemuda 2.
"Lantas yang kalian saksikan, yang bisa terlihat saling serang itu apa?" Pancing Jawinul lagi.
"Tentu saja manusia, lihat saja semua televisi, media cetak, bahkan radio-radio pun kerap memberitakan dan menyampaikan gambaran tentang bagaimana manusia-manusia itu saling serang, saling tembak, saling sabet dengan senjata tajam," kata Pemuda 1.
"Sering juga jadi bahasan atau sekadar celotehan di facebook, twitter, dan media sosial lainnya," tambah Pemuda 2.
"Jadi, jelasnya, Tuhan tidak hadir dan tidak ikut berperang di sana?" Tanya Jawinul untuk menyambung kembali inti pembicaraan.
"Ya, tidak ada, tidak hadir, atau tepatnya tidak kelihatan," jawab Pemuda 1 dan 2 hampir berbarengan.
"Itu artinya urusan manusia, sepenuhnya merupakan perkara antarmanusia. Sesama Tuhan sejatinya tidaklah demikian, mereka malah duduk-duduk dengan damai sambil melihat dari kejauhan. Sesekali mereka saling rangkul bertangisan, saling berbagi lara yang taktertahankan karena melihat manusia berbunuhan."
"Tapi tetap saja membingungkan, masing-masing yang berseteru merasa Tuhannya lah yang paling benar. Bahkan begitu pula pada mereka yang menganut agama yang sama, satu sama lain merasa dirinya lah pemilik kebenaran, maka karena itu pula mereka terus-menerus bertikai," tukas Pemuda 1.
"Begitulah manusia dalam segala urusannya, selalu merasa paling benar padahal ia takmengenal atau selalu sangat jauh untuk bisa menyentuh kebenaran itu sendiri. Namun demikian, masing-masingnya bisa saja benar menurut pandangannya," kata Jawinul.
"Lantas, benar itu apa? Dan, kalau masing-masing benar artinya kebenaran itu tidak tunggal melainkan jamak atau banyak?" Tanya Pemuda 2.
"Ya, kebenaran manusia itu taktunggal, jumlahnya bahkan sebanyak populasi manusia itu sendiri sebab satu sama lain manusia itu takakan pernah memiliki sudut pandang yang persis sama. Jika manusia itu menyadari, itu pula sesungguhnya yang menjadi keterbatasan sekaligus keluasan kemanusiaannya," urai Jawinul.