Di depan, Sakti tampak tenang menunggu Pak Syamsul yang seperti tertidur.
      Tiba-tiba aku penasaran dan bertanya, "Ti, kalau lihat kamu nggak takut nungguin jenazah Pak Syamsul, kenapa tadi ikut lari?"
      "Aku malah bingung kenapa kalian semua lari. Ya, aku ikut saja."
      "Oh...." Masuk akal, pikirku.
      Aku duduk bersila di sebelah Sakti dengan pintu rumah terbuka lebar, menunggu kedatangan Hadi dan Budi kembali, serta Kinan dan Lina menyelesaikan tugasnya.
      "Ini jenazahnya nggak mau ditutup jarit atau apa gitu? Agak takut ya kalau lama-lama dilihat," aku menggumam.
      "Benar juga. Aku ambil selimut dulu ya," balas Sakti.
      Tiba-tiba, angin dari luar bersiut.
      Saat Sakti hendak berdiri dari duduk bersilanya, kami kami merasa ada yang mengawasi dari luar rumah. Bukannya pergi mengambil selimut, Sakti justru berdiri di depan mulut pintu. Tanpa bicara, Sakti memberi tanda kepadaku untuk mendekat.
      Duh, Gusti Pangeran! gerutuku dalam hati saat mendekati Sakti.
      Aku sempat melirik ke arah Sakti yang membeku dan wajahnya mengetat saat pandangannya ke kebun di depan halaman rumah Hadi.