Syamsul, bapak Hadi tergeletak di lantai. Pemilik rumah tengkurap.
      Cepat-cepat kami menghambur untuk membantu Hadi yang mencoba memeriksa apakah bapaknya hanya pindah tidur, pingsan atau... meninggal dunia.
      Begitu Hadi membalik badan bapaknya, memeriksa dan menatap kami dengan wajah cemas saat menekan nadi di leher dan menggeleng-geleng. Kami tahu, apa yang Hadi takutkan benar-benar kejadian. Pak Syamsul meninggal dunia. Hadi sempat meraung, sebelum Sakti memberi tahunya untuk melapor ke perangkat desa. Ditemani Budi, Hadi bermaksud mendatangi rumah ketua RT.
      Sakti, seperti biasa memimpin dalam tim, memerintahkan kami untuk tidak lagi menyentuh jenazah Pak Syamsul sampai Hadi dan Budi kembali, dan meminta Kinan serta Lina untuk membuat air panas di dapur. Karena mereka takut, jadi aku terpaksa menemani mereka di dapur.
      "Tandon airnya habis untuk dijerang," Kinan memberitahu.
      Mereka kompak menatapku dan aku benar-benar malas ketika Lina menyodorkan ember untuk kuisi air di sumur belakang rumah. Untuk kesekian kalinya aku menyesali ikut KKN di kampung terpencil seperti ini.
      Wedus! umpatku dalam hati saat membuka pintu belakang rumah Hadi. Baru saja melangkah keluar, angin malam menerpa wajahku dan tengkukku dibuat meremang.
      Cepat-cepat aku menyelesaikan urusanku dan tidak akan mau membantu Kinan dan Lina lagi kalau caranya seperti itu.
      Kreeek.....
      Aku berlari tunggang langgang sambil membawa seember air begitu kembali masuk dapur. Suara burung gagak berhasil membuat detak jantungku hampir berhenti saking takutnya. Untungnya, Kinan atau Lina tidak mentertawakan ketakutanku. Kalau sampai mereka melakukannya, sudah aku siram dengan seember air mirip mengusir kucing berisik saat kawin.
      "Aku ke depan dulu temani Sakti," kataku, tidak menunggu izin kedua temanku itu.