Mohon tunggu...
Heri Widianto
Heri Widianto Mohon Tunggu... Novelis - This is me

A lit bit spicy

Selanjutnya

Tutup

KKN Pilihan

Mati Suri

29 Juni 2024   15:05 Diperbarui: 29 Juni 2024   15:17 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Kinan dan Hadi sama-sama tersenyum tipis.

            Aku? Lebih tertarik jadi penonton atau penggembira saja. Aku malas berdrama dengan teman-temanku itu. Bisa runyam dan melebar ke mana-mana, sebab perilakuku 11-12 dengan Budi.

            "Bagaimana kalau kita pikirkan program utama di rumah Hadi saja?" Sakti berniat menyudahi. "Kita juga tahu kalau bapak Hadi lagi sakit. Jadi, kita sudahi sampai di sini dulu."   

            Dari semua orang yang ada di kantor balaidesa di waktu yang seharusnya bisa kami gunakan untuk beristirahat di rumah, Sakti adalah orang yang paling bisa diandalkan dalam segala situasi. Sejak kelompok ini dibentuk, dia adalah penyelamat kami.

            Sejak pengumuman desa tempat Hadi tinggal dipilih secara acak oleh pihak kampus, kami sedikit merasa terintimidasi dengan kontur jalan makadam bahkan cenderung berbatu atau berkerikil tajam, rumpun bambu menjulur sampai beberapa batangnya hampir menyentuh pagar dari batu bata tanpa di-lur, serta pohon beringin yang berada di belakang pemukiman dengan sendang berair bening tetapi selalu membuat tengkuk meremang setiap kali kami melewatinya. Beruntung, masyarakat Duwet tidak se-horor penampakan desanya. Mereka ramah, bahkan terlalu ramah.

            "Selamat malam, Mas Hadi, Mas dan Mbak semua," sapa Tonil ramah dan mengangguk kecil saat berselisih jalan. Salah satu pemuda kampung yang sering mereka temui, sebab dia adalah tetangga dekat Hadi. Dekat di sini adalah rumah mereka dipisahkan dengan kebun cukup luas sehingga kalau malam tiba penampakaannya mirip hutan belantara.


            Kami membalas sapaan Tonil dengan sama ramahnya, dan melanjutkan perjalanan ke rumah Hadi yang terpaut cukup jauh dari balaidesa. Kalau mau yang lebih cepat untuk sampai di tempat tujuan, kami bisa menggunakan jalan setapak yang membelah kebun atau hutan belantara. Kami menolak pilihan itu.

            Di sepanjang jalanan lengang berhias rumpun bambu yang berderit tertiup angin, Kinan dan Lina sontak merapatkan jarak. Tangan mereka terpaut. Pandangan awas ke kanan-kiri. Mereka kebetulan berjalan di tengah barisan. Di barisan depan, Sakti dan Budi yang sedang membahas program-program KKN. Kami sempat saling berpandangan sebentar saat Budi yang membuka obrolan tersebut. Kami yakin anak itu kesurupan jin berpendidikan. Sedangkan di belakang, aku dan Hadi saling diam dengan pikiran masing-masing.

            "Semalam kamu ngorok, Tam," Hadi menginformasikan. Mungkin karena sama-sama bulu kuduk kami meremang, jadi dia berusaha mengusir ketakutan yang mendadak muncul. Eh, ini kan kampungnya?

            "Iya, lho. Suara ngorok Tama sampai kedengaran dari kamar kami. Aku kira ada kereta api bolak-balik lewat," Kinan menimpali.

            "Benar. Aku kira malah ada truk tronton lewat," Hadi menambahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten KKN Selengkapnya
Lihat KKN Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun