Mohon tunggu...
Heri Widianto
Heri Widianto Mohon Tunggu... Novelis - This is me

A lit bit spicy

Selanjutnya

Tutup

KKN Pilihan

Mati Suri

29 Juni 2024   15:05 Diperbarui: 29 Juni 2024   15:17 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KKN. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kami tidak sedang bertengkar, tetapi tengah memperdengarkan jejak pendapat. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, kami harus menggunakan padanan kata yang baik jika ingin disebut sebagai "mahasiswa".

            Sejak beberapa menit lalu, beberapa suara saling tumpang tindih, terkadang memanas dan berujung dengkusan ketika topik mengenai program KKN mengemuka. Sebagai pelengkap mata kuliah, program KKN adalah sebagai salah satu penentu kelulusan kami. Dan, program utama KKN kami sepertinya sedikit bergeser dari yang seharusnya. Sebab, di desa tempat kami menjalankan program tersebut kurang mendukung terselesaikannya rencana awal.

            "Seharusnya kita observasi dulu tempatnya," Kinan mencoba memancing di air keruh. Tatapannya beralih kepada Hadi. "Kamu sebagai yang punya tempat kan bisa kasih kita kisi-kisi sebelum akhirnya memilih program utama kita ini."

            "Memangnya sudah berapa kali program utama kita berubah, Kinan? Puluhan. Kamu masih ingat program ini akhirnya dipilih kapan? Sehari sebelum kita mulai KKN!" Hadi tidak mau disalahkan.

            "Kenapa juga pilih tempat terpencil kayak kampung Hadi begini. Merepotkan," Kinan masih melanjutkan repetannya.

            "Kamu komplain saja sama kampus!" Hadi, si sumbu pendek ternyata susah sekali untuk memadamkan api amarhnya sendiri.


            Kinan memelotot dan mendesis, seperti berkeinginan menelan orang hidup-hidup.

            Jeda menggantung, sengaja yang lain tidak ingin kena abu dingin letusan emosi dari dua orang itu.

            "Sebaiknya kita ikuti saja laporan KKN yang sudah dibuat kakak tingkat kita. Nggak usah sok-sok'an idealis daripada ntar repot sendiri," kali ini, Budi, sebagai salah satu mahasiswa yang seringnya titip absen, tiba-tiba ingin memperdengarkan pendapatnya.

            "Menurutmu, bagaimana caranya bikin irigasi di tepian hutan kalau program utama kita ini lanjut? Dengan membuat aliran baru dari sendang? Terus kalaupun bisa, apakah warga di sini perlu? Belum lagi biaya pipa dan sebagainya? Yang realistis aja soalnya mahal, bego," Lina, mahasiswi yang selalu memandang sinis mahasiswa-mahasiswi yang tidak terlalu serius memandang pendidikan, sengaja mengedikkan kedua alis tebalnya seolah menantang. Dia lalu menghela napas panjang, mendramatisir, sebelum melanjutkan kalimatnya, "makanya, kalau sekali-kalinya kamu niat ikut kelas tuh mbok ya jangan sambil tidur. Gini kan, hasil pemikirannya," sindirnya telak.

            Budi memilih menelan ludah, kemudian bungkam.

            Kinan dan Hadi sama-sama tersenyum tipis.

            Aku? Lebih tertarik jadi penonton atau penggembira saja. Aku malas berdrama dengan teman-temanku itu. Bisa runyam dan melebar ke mana-mana, sebab perilakuku 11-12 dengan Budi.

            "Bagaimana kalau kita pikirkan program utama di rumah Hadi saja?" Sakti berniat menyudahi. "Kita juga tahu kalau bapak Hadi lagi sakit. Jadi, kita sudahi sampai di sini dulu."   

            Dari semua orang yang ada di kantor balaidesa di waktu yang seharusnya bisa kami gunakan untuk beristirahat di rumah, Sakti adalah orang yang paling bisa diandalkan dalam segala situasi. Sejak kelompok ini dibentuk, dia adalah penyelamat kami.

            Sejak pengumuman desa tempat Hadi tinggal dipilih secara acak oleh pihak kampus, kami sedikit merasa terintimidasi dengan kontur jalan makadam bahkan cenderung berbatu atau berkerikil tajam, rumpun bambu menjulur sampai beberapa batangnya hampir menyentuh pagar dari batu bata tanpa di-lur, serta pohon beringin yang berada di belakang pemukiman dengan sendang berair bening tetapi selalu membuat tengkuk meremang setiap kali kami melewatinya. Beruntung, masyarakat Duwet tidak se-horor penampakan desanya. Mereka ramah, bahkan terlalu ramah.

            "Selamat malam, Mas Hadi, Mas dan Mbak semua," sapa Tonil ramah dan mengangguk kecil saat berselisih jalan. Salah satu pemuda kampung yang sering mereka temui, sebab dia adalah tetangga dekat Hadi. Dekat di sini adalah rumah mereka dipisahkan dengan kebun cukup luas sehingga kalau malam tiba penampakaannya mirip hutan belantara.

            Kami membalas sapaan Tonil dengan sama ramahnya, dan melanjutkan perjalanan ke rumah Hadi yang terpaut cukup jauh dari balaidesa. Kalau mau yang lebih cepat untuk sampai di tempat tujuan, kami bisa menggunakan jalan setapak yang membelah kebun atau hutan belantara. Kami menolak pilihan itu.

            Di sepanjang jalanan lengang berhias rumpun bambu yang berderit tertiup angin, Kinan dan Lina sontak merapatkan jarak. Tangan mereka terpaut. Pandangan awas ke kanan-kiri. Mereka kebetulan berjalan di tengah barisan. Di barisan depan, Sakti dan Budi yang sedang membahas program-program KKN. Kami sempat saling berpandangan sebentar saat Budi yang membuka obrolan tersebut. Kami yakin anak itu kesurupan jin berpendidikan. Sedangkan di belakang, aku dan Hadi saling diam dengan pikiran masing-masing.

            "Semalam kamu ngorok, Tam," Hadi menginformasikan. Mungkin karena sama-sama bulu kuduk kami meremang, jadi dia berusaha mengusir ketakutan yang mendadak muncul. Eh, ini kan kampungnya?

            "Iya, lho. Suara ngorok Tama sampai kedengaran dari kamar kami. Aku kira ada kereta api bolak-balik lewat," Kinan menimpali.

            "Benar. Aku kira malah ada truk tronton lewat," Hadi menambahkan.

            Dengkusku sengaja kukeraskan supaya mereka tidak jadi berduet untuk menyerangku.

            "Di sini nggak ada kereta api atau truk tronton lewat, tapi maaf kalau ngorokku sampai mengganggu kalian," kataku datar.

            Barisan depan tiba-tiba berhenti melangkah. Aku dan Hadi yang ada di belakang berakhir menabrak barisan di depan kami. Punggung Lina dan Kinan jadi sasaran, dan mereka bersungut-sungut saat berbalik badan lalu menatap kami dengan nyalang.

            "Jalan pakai mata, dong!"

            "Jalan pakai kaki, lah," ralat Hadi, yang sebenarnya tidak perlu diucapkannya.

            Hadi kemudian melongo usai meneguk ludahnya, saat mengarahkan tatapannya ke depan dan mendamprat dua orang di barisan paling ujung. Setelah menoleh ke arah Hadi, aku ikut menatap ke depan.

            Tampak beberapa batang bambu melengkung sampai menyentuh tanah. Ludahku merosot sampai ke tenggorokan cepat. Di depan kami, Kinan dan Lina juga membeku.

            Srek....

            Suara daun bambu menyentuh tanah, lalu tarikan batangnya sampai mengudara terdengar, berkali-kali. Batangnya seperti ditarik dan dilepaskan untuk permainan jungkat-jungkit.

            Kecuali Sakti, Budi menoleh ke belakang seolah menghitung dalam hati sampai tiga sebelum mengangguk memberi tanda.

            Kami berlari detik itu juga.

            Hadi pernah bercerita, di rumpun bambu yang mereka lewati ada penunggunnya. Genderuwo. Makhluk itu sesekali mengganggu dengan bermain-main di batang bambu. Sesekali juga makhluk tinggi besar berbulu dengan dua bulatan berwarna merah itu menampakkan diri. Sebelum penampakan itu benar-benar terjadi, kami tidak ingin menjadi saksinya.

            Dengan napas terengah-engah, kami sampai di halaman rumah Hadi yang luas dengan penerangan hampir padam. Aku curiga watt-nya kecil, atau Hadi membelinya di warung depan yang entah dari mana mereka kulak.

            Kami masih membungkuk-bungkuk sambil menenangkan napas kami yang hampir putus. Peluh tercetak jelas dan mulai merembes menembus pakaian yang kami kenakan.

            "Ta-tadi ada yang be-berani nengok, nggak? Bu-buat memastikan," kata Hadi patah-patah.

            Kami menggeleng dan mengembalikan tatapan kepadanya dengan harapan Hadi bisa membaca pikiran kami: Memangnya kamu berani nengok dalam keadaan menakutkan begitu?

            "Ya, sudah," sambung Hadi. "Untung saja kita nggak sampai ketemu hantu. Bisa terkencing-kencing di jalan."

            Kami mengangguk-angguk, kompak.

            Intensitas ketakutan pun mereda walaupun rumah Hadi di hadapan kami tidak mencerminkan kedamaian. Penerangannya kurang, pepohonan dan binatang malam berisik saat gelap jatuh dari langit.  

            Sembari menenangkan detak jantung masing-masing, kami melangkah memasuki halaman. Di baris paling depan, Hadi cepat-cepat membuka pintu setelah mengeluarkan kunci dari sakunya. Sengaja dia mengunci rumah karena bapaknya sedang sakit keras dan tidak ada yang menjaga selain dirinya. Ada rasa sungkan saat mengajak Hadi malam-malam tetap ke balaidesa, tetapi karena ini kerja kelompok, mau tidak mau kami menyingkirkan sejenak rasa kemanusiaan.

            "Assalamualaikum...."

            Kami terperangah, membeku, saat Hadi menggeser pintu rumahnya. Pintu belum sepenuhnya membuka ketika Lina dan Kinan memekik sambil berpegangan tangan.

            Syamsul, bapak Hadi tergeletak di lantai. Pemilik rumah tengkurap.

            Cepat-cepat kami menghambur untuk membantu Hadi yang mencoba memeriksa apakah bapaknya hanya pindah tidur, pingsan atau... meninggal dunia.

            Begitu Hadi membalik badan bapaknya, memeriksa dan menatap kami dengan wajah cemas saat menekan nadi di leher dan menggeleng-geleng. Kami tahu, apa yang Hadi takutkan benar-benar kejadian. Pak Syamsul meninggal dunia. Hadi sempat meraung, sebelum Sakti memberi tahunya untuk melapor ke perangkat desa. Ditemani Budi, Hadi bermaksud mendatangi rumah ketua RT.

            Sakti, seperti biasa memimpin dalam tim, memerintahkan kami untuk tidak lagi menyentuh jenazah Pak Syamsul sampai Hadi dan Budi kembali, dan meminta Kinan serta Lina untuk membuat air panas di dapur. Karena mereka takut, jadi aku terpaksa menemani mereka di dapur.

            "Tandon airnya habis untuk dijerang," Kinan memberitahu.

            Mereka kompak menatapku dan aku benar-benar malas ketika Lina menyodorkan ember untuk kuisi air di sumur belakang rumah. Untuk kesekian kalinya aku menyesali ikut KKN di kampung terpencil seperti ini.

            Wedus! umpatku dalam hati saat membuka pintu belakang rumah Hadi. Baru saja melangkah keluar, angin malam menerpa wajahku dan tengkukku dibuat meremang.

            Cepat-cepat aku menyelesaikan urusanku dan tidak akan mau membantu Kinan dan Lina lagi kalau caranya seperti itu.

            Kreeek.....

            Aku berlari tunggang langgang sambil membawa seember air begitu kembali masuk dapur. Suara burung gagak berhasil membuat detak jantungku hampir berhenti saking takutnya. Untungnya, Kinan atau Lina tidak mentertawakan ketakutanku. Kalau sampai mereka melakukannya, sudah aku siram dengan seember air mirip mengusir kucing berisik saat kawin.

            "Aku ke depan dulu temani Sakti," kataku, tidak menunggu izin kedua temanku itu.

            Di depan, Sakti tampak tenang menunggu Pak Syamsul yang seperti tertidur.

            Tiba-tiba aku penasaran dan bertanya, "Ti, kalau lihat kamu nggak takut nungguin jenazah Pak Syamsul, kenapa tadi ikut lari?"

            "Aku malah bingung kenapa kalian semua lari. Ya, aku ikut saja."

            "Oh...." Masuk akal, pikirku.

            Aku duduk bersila di sebelah Sakti dengan pintu rumah terbuka lebar, menunggu kedatangan Hadi dan Budi kembali, serta Kinan dan Lina menyelesaikan tugasnya.

            "Ini jenazahnya nggak mau ditutup jarit atau apa gitu? Agak takut ya kalau lama-lama dilihat," aku menggumam.

            "Benar juga. Aku ambil selimut dulu ya," balas Sakti.

            Tiba-tiba, angin dari luar bersiut.

            Saat Sakti hendak berdiri dari duduk bersilanya, kami kami merasa ada yang mengawasi dari luar rumah. Bukannya pergi mengambil selimut, Sakti justru berdiri di depan mulut pintu. Tanpa bicara, Sakti memberi tanda kepadaku untuk mendekat.

            Duh, Gusti Pangeran! gerutuku dalam hati saat mendekati Sakti.

            Aku sempat melirik ke arah Sakti yang membeku dan wajahnya mengetat saat pandangannya ke kebun di depan halaman rumah Hadi.

            Seluruh tubuhku gemetaran. Baru kali ini aku merasakan banyak mata dan bayangan memandang ke arah rumah Hadi. Ke arah kami, lebih tepatnya.

            Mereka mau menjemputku. Biarkan saja....

            Sebuah suara mengejutkan kami.

            Kami yakin suara bergetar itu berasal dari arah belakang. Saat kami berbalik badan untuk memastikan, tidak ada siapa-siapa kecuali jenazah Pak Syamsul yang terduduk dan memandang kosong pintu depan yang terbuka lebar. Lina dan Kinan juga membeku di tempatnya. Kemudian, suara lengkingan keluar dari mulut kedua temanku itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten KKN Selengkapnya
Lihat KKN Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun