"Semakin jelas, bukan? Kau sendiri yang membelokkan jalan."
Aku menerka jauh. Jika orang tuaku tahu statusku kini. Pasti mereka murka. Mengapa aku begitu teledor. Memang kelemahanku adalah rasa kasihan untuknya. Aku jatuh.Â
Aku merangkum wajahku. Aku menangis lagi.
   "Jika kau percaya bahwa aku mampu menafkahimu seharusnya kau terima pertanggungjawabanku. Jika kau menolak, memang itulah sifatmu. Kau sama dengan dua iblis betina itu"
    "Tapi tidak dengan cara ini. Mengapa kau berubah. Bagaimana aku nanti bahagia bila kau hanya apa adanya begini"
    "Lantas jika aku tampil bermewah mewahan seperti dulu, apakah itu jaminan bahagia buatmu? Sekarang kau sedang diuji. Tanamlah yang baik sehingga pada masa aku dipuncak nanti kau tetap ada di sampingku."
Ucapan Jhin terlihat menenangkan padahal itu asam bagi hatiku. Jhin tersenyum. Kurang ajar. Aku kalah telak olehnya.
"Bisnis adalah bagaimana kau berinvestasi besar meskipun kau jungkir balik untuk mewujudkan dan mencukupinya. Dengan pemilihan bibit yang bagus kau bisa setengah bagian untuk menang."
   Aku manggut dengan pola pikirnya. Jadi itu yang dimaksud bahwa aku asetnya. Rupanya dia berjudi atasku. Tapi dengan congkaknya dia sebut itu bisnis. Dia pilih aku dengan watak kolotku sampai akhirnya aku jatuh. Aku terperangkap antara pusaran hina dan kemarahan. Tapi memang dialah yang menang.
     Aku terisak. Bagaimana jika aku kabur saja. Tapi bagiku, dialah penghancur kehormatanku. Senang tentu jika aku lari darinya. Laki laki, tak lama dia bakal cari lagi. Aku tambah merengek.
    "Oh Tuhan" ujar Jhin memukul kemudi. "Ayolah..berhenti menangis, Sandria."