Mohon tunggu...
HERI HALILING
HERI HALILING Mohon Tunggu... Guru - Guru

Heri Haliling nama pena dari Heri Surahman. Kunjungi link karyanya di GWP https://gwp.id/story/139921/perempuan-penjemput-subuh https://gwp.id/story/139925/rumah-remah-remang https://gwp.id/story/139926/sekuntum-mawar-dengan-tangkai-yang-patah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berhentilah Menangis, Sandria

5 Agustus 2024   08:20 Diperbarui: 10 Agustus 2024   23:03 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berhentilah Menangis, Sandria
Oleh: Heri Haliling
Ig: @Heri_Haliling

"Kau boleh lakukan ini sesukamu kepada perempuan murah di luar sana. Tapi jangan kepadaku, Jhin! Tidakkah kau sadar begitu keterlaluannya dirimu."

"Berhenti menangis, Sandria. Hadapi saja. Bagaimanapun tak akan berubah. Ikut atau tinggal, begitu saja. Simple."

      Di dalam mobil ini semuanya sesak menekan. Mudahnya dia bilang demikian. Benar benar murka aku. Hatiku hancur dan entah meluap yang seperti apa yang hendak ku hempaskan jadi gelombang. Pria di sampingku ini serasa bukan Jhin yang ku kenal. Dia pria lain. Yah. Pria busuk di antara yang busuk.

"Jika kau begini" kataku sambil masih menangis. "Kau sama saja tak menghargai hubungan. Kemana arti 3 tahun ini, Jhin. Mana janjimu dulu!"

       Jhin hanya memainkan kemudi. Entahlah, tatapannya ke jalan itu apakah simbol kesedihan atau kemenangan.

"Ikut atau tinggal. Gitu doang?"

      Tak tahan lagi aku dengan jawaban meremehkan itu. Aku langsung menerkam bagai singa betina mencengkram kijang. Ku jambak dan ku bentur benturkan wajahnya. 

Jika tanganku lebih gesit, sudah ku copot sabuk pengaman itu dan ku lilitkan ke lehernya.

      "Sialan! Cukup, Sandria. Jika terus begini, aku akan lawan!" hardik Jhin.

      Dia melipat kedua tanganku. Mendorongku ke kursi semula. Dia menatapku tajam sekarang.

"Dengarkan Sandria. Berkali kali ku bilang, aku sekarang adalah aku yang sebenarnya. Nikmati saja. Kita pulang dan akan ku pulangkan juga mobil ini. Aku selesai."

Mobil berjalan. Aku kembali menyerangnya. Mobil oleng ke kiri dan ke kanan. Aku benar benar tak peduli jika mobil ini terguling. Biar mampus ke duanya. Sungguh!

Jhin mendorongku dan mendesakku ke kaca jendela. Aku meronta. Sesaat mobil berhenti.

      "Jika kau bar bar begini. Aku yang turun. Rusak atau kau kembalikan sendiri mobil ini ke tempat rental, aku tak peduli."

Aku menahan kesal. Mencoba mencari jarum positif di lebatnya rerumputan. Benar benar dia membelengguku sekarang.

      "Jika kau mau hubungan ini serius, aku bersedia. Tapi jika kau kukuh dengan nilai awal, aku mundur"

       "Kau sungguh licik, Jhin. Lelaki penipu! Jadi memang benar kata sahabatku"

"Maksudmu circle yang hedon itu?" ujar Jhin mencibir. Kali ini dia terkekeh. "Pada akhirnya mereka juga berakhir sama."

Dari yang ku analisis, Jhin memang telah merencanakan ini sejak awal. Ku coba melemah dan minta penjelasan secara baik baik kepadanya.

"Kau benar, Sandria. Memang sejak awal aku menyusun ini. Kau adalah target dari beberapa pilihan."

"Maksudnya apa? Kau anggap aku sebuah barang?"

      Mobil tiba tiba menepi dan berhenti.

"Tepatnya aset."

       Jhin melirikku. Pada dasarnya ku rasakan ada keseriusan di antara kedua matanya. Aku melawan pandangannya.

"Aset?"

"Ya. Aset"

"Jika aset mengapa kau tega hancurkan aku?"

      "Aku tak menghancurkanmu. Aku hanya menjinakkanmu!"

"Menjinakkanku" jawabku makin heran.

"Kau tahu bukan? Aku tak pernah merampasmu. Sebagai laki laki sudah lumrah jika aku memancing. Kita berbuat itu sadar. Di mana salahnya?"

"Tentu salah!" Aku membantah. " Soal itu perlahan aku bisa maklum karena memang itu kesalahanku. Tapi perubahan sikapmu yang membuatku tak habis pikir."

       "Aku tak berubah. Aku adalah aku. Sudah ku bilang, inilah aku" kata Jhin santai. Tentu hal itu begitu menyebalkan.

Aku mencari cari kekuatan untuk menekannya. Membuatnya merasa bersalah dan kembali ke lintasan awal adalah targetku sekarang.

"Lihat!" ujarku menunjukkan jari manis kepada Jhin. "Ini adalah cincin pemberianmu. Ini ikatan kita. Kita tunangan. Sekarang kau mau apa adanya. Ada apa denganmu, 

Jhin. Kau tak tampak serius memperjuangkan ini."

Tiba tiba Jhin keluar dari mobil. Ia berdiri menyandar. Aku ikut keluar. Mobil yang berhenti di sebuah kawasan landai penuh pepohonan ini memberikan nuansa drama. Ah sialan. Ku rasakan bagai telenovela. Jika begini, aku pasti yang akan kalah dengan banjir air mata.

       "Sesungguhnya kau adalah asetku, Sandria. Aku mengetahui bahwa kau gadis baik baik. Tak pernah keluar dan terjaga segala dirimu dari glamour luar sana. Tapi sejak kau kenal lingkaran terkutuk itu.."

"Sarah dan Samira?"

"Terserah kau sebut apa dua makhluk itu" ungkap Jhin sedikit kesal.

"Memang kenapa mereka?"

      "Sadarkah kau Sandria, kau menjadi pribadi labil dan materialistik"

"Materialistik katamu?" Keningku sedikit berkerut.  "Apakah salah seorang perempuan memiliki sifat itu?"

"Tentu tidak."

"Lantas?"

"Jika berlebihan itulah kekeliriuannya"

Aku makin bingung. "Berlebihan? Ah berpusing kepalaku. Langsung saja, maumu apa"

"Jangan berpura dungu, Sandria. Diam diam kau terhasut dengan mereka bukan. Kau mendengarkan mereka. Sejak itu kau selalu mencari celah kurangku"

Aku menggeleng.

      "Ku berikan semua yang kau mau, itu yang kau bilang aku mencari kurangmu?"

      Jhin menatap langit. Burung di atas berterbangan. Di antara kawanan burung itu satu ekor berpisah dengan kawanannya.

"Harusnya aku yang bilang begitu" jawab Jhin datar.

       Aku memikirkan itu juga. Diamku ini sesungguhnya membenarkan itu. Ku ingat selama 3 tahun ini dia memang pemuda yang sangat mencukupi segala keinginanku. 

Bahkan keinginan yang seharusnya itu di luar kemampuannya. Sarah dan Samira memang telah menguji pemuda ini.  Dia lulus.

Tapi seharusnya bukan begini. Setelah tunangan itu dia berjanji akan menyiapkan keperluan mahar dan pelaminan dengan semeriah mungkin. Ini juga bagian ujian dari Sarah dan Samira. Luar biasa, Jhin berjuang mati matian untuk itu. Sampai malam di mana Jhin ingin minta pembuktian bahwa apakah aku serius atau memainkannya. 

Ah..apakah ini perangkapnya. Sial.

"Jika kau berpikiran tentang arti dari tunangan bagiku, aku akan jawab sangat berarti" ucap Jhin seolah tahu lamunanku. "Tapi seberarti itu jika kau melihat kemampuanku yang hampir compang camping ini dalam mencukupi maumu dan orang tuamu, kau keliru bila mengatakanku mampu."

"Kau mau menyerah dengan itu. Jadi umpanmu terhadapku adalah dengan menanamkan keinginan dan menciptakan kasihan sampai akhirnya aku lengah. Benar begitu, Jhin?"

"Seingatku kau tak pernah kasihan tentang itu"

"Jadi kau nilai dasar kepercayaanku padamu bukan karena rasa kasihanku terhadap perjuanganmu?"

" Yang ada dalam benakmu bukan cinta. Hanya material untuk kau gaungkan ke kerabat dan kolegamu"

Plakkk!!!!!!

      Ku tampar dia. Dia bergeming bisu.

"Bulan depan kita akan menikah. Tapi, maaf. Aku yang menentukan, bukan kau dan orang tuamu"

"Tak sudi. Jika begini akhirnya, tak mungkin mereka setuju! Aku pun tidak."

"Semakin jelas, bukan? Kau sendiri yang membelokkan jalan."

Aku menerka jauh. Jika orang tuaku tahu statusku kini. Pasti mereka murka. Mengapa aku begitu teledor. Memang kelemahanku adalah rasa kasihan untuknya. Aku jatuh. 

Aku merangkum wajahku. Aku menangis lagi.

      "Jika kau percaya bahwa aku mampu menafkahimu seharusnya kau terima pertanggungjawabanku. Jika kau menolak, memang itulah sifatmu. Kau sama dengan dua iblis betina itu"

       "Tapi tidak dengan cara ini. Mengapa kau berubah. Bagaimana aku nanti bahagia bila kau hanya apa adanya begini"

       "Lantas jika aku tampil bermewah mewahan seperti dulu, apakah itu jaminan bahagia buatmu? Sekarang kau sedang diuji. Tanamlah yang baik sehingga pada masa aku dipuncak nanti kau tetap ada di sampingku."

Ucapan Jhin terlihat menenangkan padahal itu asam bagi hatiku. Jhin tersenyum. Kurang ajar. Aku kalah telak olehnya.

"Bisnis adalah bagaimana kau berinvestasi besar meskipun kau jungkir balik untuk mewujudkan dan mencukupinya. Dengan pemilihan bibit yang bagus kau bisa setengah bagian untuk menang."

      Aku manggut dengan pola pikirnya. Jadi itu yang dimaksud bahwa aku asetnya. Rupanya dia berjudi atasku. Tapi dengan congkaknya dia sebut itu bisnis. Dia pilih aku dengan watak kolotku sampai akhirnya aku jatuh. Aku terperangkap antara pusaran hina dan kemarahan. Tapi memang dialah yang menang.

         Aku terisak. Bagaimana jika aku kabur saja. Tapi bagiku, dialah penghancur kehormatanku. Senang tentu jika aku lari darinya. Laki laki, tak lama dia bakal cari lagi. Aku tambah merengek.

        "Oh Tuhan" ujar Jhin memukul kemudi. "Ayolah..berhenti menangis, Sandria."

                         *Selesai*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun