Â
Kesatria
KecubungOleh: Heri Haliling
Ig : @Heri_Haliling
           Astaga astaga astaga....luar biasa memang.
      Aku tertawa mana kala hamparan awan lembut ku pijak pijak.
     Itu Komer sedang melilit tiang listrik. Apakah dia golongan sanca atau anaconda?Â
     Tanpa baju ku simak ia gesek-gesekkan punggungnya. Sampah!! Nyatanya hal itu buatku sebal.
       Genjieeeeeeeehhhh....Huraaaaaaaa!!!!!!!
       Teriakku. Aku hambur dan melesak ke arahnya. Aku merasa ringan dan segera salto layaknya jagoan Prindavan.Â
       Komer menyantap kedatanganku. Dia siapkan kuda kuda. Selanjutnya kami terbang, beradu, dan saling tubruk layaknya sinpanse kelebihan libido.
      Kami bergumul tanpa ada orang melerai. Aku beringsut memisah dan dengan tertawa ku rentangkan tangan menuju tengah jalan.
       "Minggirr!!!! Jangan di tengah jalan, kurap!!!!"
      Suara itu sepertinya dari pengendara motor yang mencoba menggangguku. Aku tak peduli. Benar benar ringan tubuh ini. Masih ku nikmati bantalan awan, benar benar dahsyat obat tulang dicampur buah duri itu. Astaga astaga astaga ringan sangat kepalaku.Â
     Aku menari nari diiringi tabuhan deru knalpot dan bunyi klakson. Terus, enak bang. Enak. Orang orang berteriak seolah kagum dan bertepuk tangan. Hahay....aku memutar mutar tubuhku. Lihat ini tarian sufi Jalaludin Rumi.
     Tak lama aku merasakan seorang menarikku. Dia membawaku ke tepian.
    "Mampus langsung aja. Jangan lambat lambat. Nooh di sono...loe loncat dari tower tuh...enak entar badan loe!"Â
    Astaga binatang memang abang ini. Dia ingin aku naik ke sana. Mana bisa aku menari di sana. Aku tertawa.Â
   "Sewakan panggung, Bang" kataku.
    Seorang tiba tiba mengguyurku.
Huhhhhhh!!! Sialan. Kedinginan aku.
    "Dek, sadar dek!! Sadar!!!
     Aku mendongak. Siapa yang kurang ajar ini. Tiba-tiba kepalaku berpusing tak mengaruan. Bagai gangsing aku agak oleng. Ke mana nikmat tadi. Usaikah? Sekejap ku rasakan sensasi sesak di dadaku. Kemudian serasa berton ton es merendam tubuhku. Tulangku terasa ngilu karenanya. Astaga aku menggigil. Tak kuat, minta tolonglah aku.
    " Bang!!! Dingin bang!!!"
    Aku menelungkup. Seorang terasa menjatuhkan selimut. Toh badanku basah. Aduh!! Astaga astaga!!! Terasa tubuhku mulai menggelepar.
   "Air panas air panas"
   "Bawa ke rumah sakit"
    "Biarkan saja mati di sini. Biarkan saja. Pemuda macam itu tak perlu kita peduli"
    Semua teriakan itu tak membantuku. Aku makin menggelepar. Seorang ibu warung terasa mengangkat leherku. Dia minumkan semacam susu bercampur air hangat. Kaleng jatuh, aku masih ingat itu susu beruang.
    Aku kejang sekarang. Lebih hebat lagi. Kepalaku penuh. Aku muntah menghamburkan cairan putih kehijau hijauan. Muntah banyak sekali seakan perut tak berhenti memompa. Sesaat ku rasakan dada mau pecah. Terasa benar penuh dan sesak. Lubang hidungku mangembang dan mengempis. Astaga astaga..apa aku mau mati? Ya mau mati kayaknya ini. Aku jatuh. Kepalaku membentur aspal, pingsan.
*
     "Siuman kau, Belong?" Sebuah suara tak asing mengusik telingaku. Aku lamat lamat membuka mata. Silau. Ku perhatikan langit langit banyak berisi lampu dan dinding berpendar warna putih.
     Mulutku terasa kering sekali. Aku berusaha mencecap bibir agar basah.Â
     "Eh, kau Bertus, ini rumah sakit" ucapku sekenanya. Bertus adalah sepupuku.Â
    Aduh. Kepalaku masih berat dan sakit. Ku coba rangkum dengan tangan kananku. Auu..perih dan nyeri. Rupanya tanganku diinfus.
    "Jangan banyak gerak, dongo!" kali ini suara perempuan. Ku edarkan ke mana asal suara itu. Sebelah kiriku ternyata. Oh itu emak.
    "Mak..maafin Belong. Kapok!"
     "Alah kau. Jika begini baru sadar. Ngomong ngomong apa rasanya telan kecubung, hah?"
     Aku diam saja. Aku hanya mengamati sekitar. Sialan, mulutku kering sekali.
     "Ber, kasih air bocah nakal ini" pinta emak.
     Aku mendorong pundakku untuk mengenakkan posisi minum. Aduh segarnya.
    "Tak jawab, kau?" tanya emak lagi.
    Baru bernapas 10 detik, tiba tiba seorang masuk. Dia perpakain seragam abu dan rapi. Posturnya gagah. Oh Tuhan, untuk apa polisi ke sini.
     "Selow brayy..." kata Bertus yang seolah tau.Â
    "Kalau nanti pak polisi bawa kau ke sel. Setidaknya emak tenang karena kau tak seliweran ngaco lagi"
     Astaga emak. Sosok ibu macam apa yang rela anaknya di penjara. Aku kecewa dengannya.
     "Mendingan, saudara Belong?" tanya polisi.
     Seketika badanku tegap. Di antara kaget dan takut bercampur menjadikanku lupa terhadap sakit.
    "Iya. Pak"
"Rileks saja. Tak perlu tegang begitu. Nanti saudara Belong malah drop"
     Aku mengangguk.
     "Alah, Pak Polisi bawa saja dia. Terawat dan terurus makannya kalau di penjara. Bina saja dia. Toh dengan emaknya sudah bebal!" seru Bertus kesal.
    Kurang ajar si Bertus. Aku mau menimpal tapi takut malah panjang. Ku tahan saja dulu.
"Saudara Belong, bisa ceritakan kronologinya?"
    Aku mengangguk dan mulai bercerita.Â
    "Seingatku saat itu kami bersepuluh. Kami memang berniat pesta Zennit di sebuah lahan kosong dekat jalan raya. Regol bawa sekitar 15 botol Zennit yang ia peroleh dari hasil mungut saat tiga hari yang lalu terjadi kebakaran di sebuah apotek. Temanku Bogel membawa sekotak kuku bima dan alkohol merek gajah duduk/ gaduk. Sementara Komer malah membawa buah kecubung sekitar 10 biji. Komer mengatakan kalau buah itu lagi viral. Lokal tapi rasa internasional. Di Amerika Serikat daerah Philadelphia telah ada flakka yang mengubah kestabilan manusia sehingga efek yang ditimbulkannya sangat agresif. Orang yang mengonsumsi flakka akan terpacu adrenalinenya sehingga berperilaku layaknya zombie. Kita punya kecubung yang efeknya kurang lebih dengan drug mahal tersebut. Yah. Begitu kata Komer. Kami yang mendengar imajinasinya mulai penasaran dan mencampurkan tumbukan kecubung ke gelas berisi oplosan alkohol dan kuku bima. Sambil meneguk puluhan hingga ada yang ratusan biji Zennit kami lurukkan kerongkongan kami dengan alkohol."
     "Saudara Belong, tahukah kalau teman saudara, si Komer, Regol, Bogel, dan tiga lainnya sudah meninggal?"
    Aku terkejut. Bayangan ketiga sahabatku itu masih membekas. Kampret, mengapa bisa begini.
    "Mereka yang meninggal selain keracunan juga karena efek oplosan itu. Bogel misal dia mabuk tanpa baju dan celana lalu lari ke tengah jalan tol. Sebuah tronton mengklakson tapi Bogel malah menyerangnya. Regol lebih kacau lagi. Dia mabuk dan naik flayover. Teriak my trip my adventure dia meloncat ke tengah jalan raya di mana tubuhnya segera disambut bis. Temanmu yang lain seperti Dirga dan Lember mati keracunan."
     "Komer bagaimaa?"Â
     "Komer sempat di rawat di rumah sakit ini" kata Bertus . "Dia kritis sama kayak kau. Tapi napasnya lebih berat karena ada riwayat Tbc. Akhirnya dia tak tertolong."
   "Makanya kau bersyukur, Belong" ujar emak. "Kau hampir bernasib sama kayak Bogel. Kata warga kau teriak genjeh genjeh di tengah jalan raya. Menatang siapa saja yang lewat sampai mau modar begitu. Untung kau masih dikasihani warga. Dibawa kau ke sini gak dilempar ke comberan."
 "Ah, emak. Gak enak banget mulai tadi ngomongnya" kataku sedih bercampur malu.
     "Kau yang gak bisa dibilangin, Long" celetuk Bertus. "Emak kau kerepotan bilangin kau. Tak mendengarkan jika diberitahu dan malah kerap keluyuran dengan geng ahli neraka itu."
    "Eh, Diam kau Bertus" protesku tak terima. Aku mau berdiri dan menghadiahkan bogem mentah ini ke mulutnya. Meski kelakuan mereka urak urakan dan bar bar tapi tetap mereka adalah sahabatku.
"Lha, emang benar bukan? Mereka ahli neraka sekarang. Masa hidup hanya digunakan untuk ngelem dan berbuat onar. Syukur sih, beberapa ratik sudah terbuang" ejeknya.Â
    "Awas kau dasar penguntit!" Aku lempar minyak angin mukanya.
"Sudah, Sudah! Saudara Belong. Jangan memakai tenaga yang tidak perlu. Baik saya sudah mendengar semuanya. Semoga nanti bisa meringankan tuntutan." Polisi itu berdiri. Dia mendekat lalu membungkuk.
"Kata dokter malam ini kau sudah boleh pulang."Â
Polisi berdiri lalu mundur.Â
"Permisi, Bu agar bisa istrahat dan tenang. Malam ini saya kembali " kata Pak Polisi.
    "Nggak apa apa, Pak. Ini yang terbaik "jawab emak.
    Aku mau bergerak tapi susah. Ku perhatikan dengan saksama. Ya Tuhan, barusan polisi itu memborgol tangan kiriku terikat dengan besi ranjang. Keterlaluan. Lebih naif lagi, ibuku setuju dengan hal tersebut.
               *Selesai*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H