Mohon tunggu...
HERI HALILING
HERI HALILING Mohon Tunggu... Guru - Guru

Heri Haliling nama pena dari Heri Surahman. Kunjungi link karyanya di GWP https://gwp.id/story/139921/perempuan-penjemput-subuh https://gwp.id/story/139925/rumah-remah-remang https://gwp.id/story/139926/sekuntum-mawar-dengan-tangkai-yang-patah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sekuntum Mawar dengan Tangkai yang Patah

4 Agustus 2024   00:06 Diperbarui: 10 Agustus 2024   23:00 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekuntum Mawar dengan Tangkai yang Patah

Oleh : Heri Haliling

Ig : Heri_Haliling

Nope: 083104239389

"Sudah berapa lebaran kau tak pulang?"

"Aku malu untuk itu."

"Sisha, bukan begitu caranya untuk lari."

        Perempuan itu beringsut turun dari sofa. Dia tekuk kedua lutut lalu membenamkan wajah di selanya.

Sisha terpekur.

"Pelacur kotor macamku hanya membuat mereka malu."

Tak lama Dia rasakan tangan Rizqita memeluknya.

"Aku sama denganmu. Tapi aku beranikan itu. Ku harap hari ini kau pulang. Nikmati lebaranmu besok."

*

"Aku rindu adikmu, Lan?"

"Bu. Untuk apa sih mengharapkan dia? Ibu tak ingat, dia hanya menebar aib."

"Lan," suara ibunya terdengar kuyu. "Lihatlah rupaku." Lana menatap wajah ibunya. Tak dapat dipungkiri sejak kejadian itu wajahnya kian tirus. Malu memang membuat batinnya hancur. Tapi ketiadaan putrinya itu sungguh menyiksanya bertahun-tahun. 

Dari bilik jendela kayu yang mulai lapuk itu Lana menatap ke luar. Ingatnya berpendar ke kejadian tiga tahun lalu.

       "Maulana!!!! Bu Darmi!!! Hoyy Maulana!!!" seru salah seorang warga diikuti keramaian puluhan orang di belakangnya.

Dengan batu dan bambu, balok hingga golok sebagian warga menyeret dua orang sejoli. Keduanya setengah telanjang. 

Bu Darmi keluar rumah dengan ketakutan. Maulana mendekap ibunya di depan pintu. Pada malam mencekam itu keruh suasana bertabuh kengerian angkara.

"Bu Darmi!! Bagaimana ini. Lihat putrimu. Bikin dosa!!! Bikin sial satu kampung! Gadis sundal!!" umpat Tikno, ketua RT.

       Bu Darmi yang sudah ada firasat bahwa hal ini lambat laun akan terjadi hanya menunduk dengan tak berani menatap putrinya. Badannya bergetar getar dan itu dirasakan Maulana.

"Dia bukan lagi bagian dari keluarga ini!" tegas Maulana.

Bu Darmi melongokkan kepala menatap wajah Lana. Sekejap pandangannya beralih ke Sisha, putrinya dalam keadaan mengenaskan. Tubuh putrinya berbalur warna biru bekas pukulan.

"Lana! Kau tak boleh bicara begitu" Bu Darmi maju menyongsong putrinya. Keduanya berpelukan dan kian tumpah ruahlah segala tangisan. 

"Maafkan Sisha, Bu. Maafkan Sisha!!"

"Sudah, Putriku. Sejak dulu ibu selalu memaafkanmu."

"Turunan tetap saja turunan! Penyakit bapakmu belum hilang! Sialnya menurun. Memang bedebah bapakmu itu" kata seorang pemuda.

"Diam, kau Dimas!!! Atau ku sabetkan parangku tepat ke wajahmu!" hardik Lana.

"Hei..Hei!!!!" gemuruh teriakan tak terima dari banyak warga.

"Bapakmu tukang zina!! Lihat yang diperbuat putrinya. Apa bedanya!!" ujar Dimas merasa menang dukungan.

Lana segera menyambar parang di sampingnya yang biasa digunakan sang ibu memecah kelapa. Secepat dia menyambar sekilat itu pula Lana memburu Dimas.

Dimas tak siap dengan sergapan itu. Dia mundur dan jatuh. Lana segera terbang hendak menimpas dada Dimas. Tapi..

       Bunyi buk!!!! Dari sebuah balok kayu menghantam punggung Lana. Pemuda itu jatuh di tanah meraung lalu menggelapar.

Singkatnya kejadian kelam malam itu menghasilkan bahwa Sisha harus dinikahkan dengan pemuda itu. Setelahnya mereka berdua harus diusir dari desa. Tak kalah sial, karena kampung itu masih asri dan percaya adat; Lana dan Bu Darmi pun tak ayal diusir juga.

Seingat Lana, adiknya bersama pasangan zinahnya mengemis kepada Bu Darmi untuk ikut tinggal bersama di tempat baru nanti. Bu Darmi iba dan memperbolehkan, tapi tidak dengan Lana. Dia ketus menolak mentah mentah.

"Lana?" panggil sang ibu yang membuyarkan ingatan itu. "Besok Sisha pulang bukan? Apa dia tak menghubungimu."

"Dia tak akan pulang, Bu. Mungkin sekarang di kota Banjarmasin sana dia sudah sukses. Jangan terlalu berharap, Bu. Lupakan dia" kata Lana berbohong.

Bu Darmi yang mendengar itu serasa lunglai. Dia beranjak ke dapur.

Nyatanya Sisha setahunan ini kerap menchat kakaknya itu. Tapi Lana selalu memotong dan mengatakan bahwa ibunya masih trauma. Dia tak mau kedatangan Sisha hanya memperparah keadaan. Meski Sisha adalah adik kandung Lana, toh perangai Sisha yang sulit diatur membuatnya sebal bukan kepalang.

Lana merenungkan kembali sikap adiknya. Saat itu keduanya ngobrol santai di emperan rumah, Lana pernah bilang untuk menyuruh Sisha berhenti dari komunitas geng motor ceper dengan peleng roda kecil dan berjeruji rapat itu. Di desanya tren balapan motor ceper memang sedang marak. Sishalah yang kerap jadi pembawa bendera pertanda motor siap balapan di lap kampung. 

        Dengan tampilan pakaian ketat dan menonjol, kerap kali Sisha secara bebas dan terang terangan ikut meliuk saat dibonceng anggota komunitas itu. Pulang malam hingga menginap sudah biasa bagi Sisha.

       Perangai Sisha tentu menjadi perolokan dan sindiran untuk keluarga Bu Darmi. Bahkan sekelas penengah ketua RT juga malah ikut ikutan menghardik dan membulli Bu Darmi. Kaitan mantan suami Bu Darmi kerap disandingkan dengan perilaku Sisha yang kesannya liar serta urakan.

Sebagai kakak bukan dia tak berani memperingatkan. Lana bahkan nekad datang dan menyerbu ke area balapan untuk meminta Sisha pulang. Perkelahian terjadi di sana. Tapi dengan keras dan kekeh, Sisha menolak dibawa pulang. Sikap bengalnya itu membuat Lana mati pikir. Jika lelaki, sudah pasti dia layangkan tamparannya setiap hari.

"Assalamualaikum" salam seorang perempuan dari pintu depan. 

"Lana, ada tamu" seru Bu Darmi dari dapur.

Lana berjalan ke depan pintu utama. Suara perempuan itu terdengar asing baginya. 

"Waalaikumsalam" sambut Lana sambil membuka pintu. Saat pintu terbuka tampak perempuan sepantar dirinya. Perempuan bertubuh cukup tambun itu mengenakan kacamata dan kerudung hijau yang kontras dengan baju yang ia kenakan.

"Cari siapa ya?"

"Rumah Bu Darmi?"

"Benar" tukas Lana ramah.

"Kak, Lana" suara Sisha tiba tiba muncul dari balik pintu yang terbuka setengah itu.

Lana terperanjat. Darimana Sisha tahu alamat kontrakan ini. Seingatnya tak pernah dia dan ibunya memberitahu. Bukankah komunikasi hanya searah dengan Lana. Lagian kontrakan ini di luar desa. Mengabaikan rasa herannya Lana segera hendak menutup pintu.

"Tunggu" cegah Rizqita sambil menahan pintu.

"Pergi! Dia bukan dari keluarga ini!" usir Lana menekan tapi lirih. Dia takut ibunya curiga.

"Siapa itu Lana" ucap Bu Darmi sambil menggulung rambut.

Saat menatap keluar, mata Bu Darmi segera berkaca kaca.

"Sishaa?? Apa itu benar kau??"

"Ibu!!" seru Sisha yang segera menerjang memeluk ibunya. Sore itu haru menyelimut manakala putri dan ibu itu ambruk di lantai dalam kondisi menggigil karena rindu.

* 

Bunyi takbir berkumandang bersahut sahutan menyeru tentram. Malam itu di beranda depan dengan masih memeluk ibunya, Sisha melihat tempat tinggalnya yang sungguh miris. Dia sungguh menyesal dengan perbuatannya. 

"Kau tahu Lana" kata Rizqita pada sebuah percakapan. "Sisha begitu rindu dengan ibunya. Kau tak sekalipun membalas pesan WA. Kakak macam apa kau!" 

Bu Darmi yang terkejut hanya menatap putranya yang bersandar pada pintu. Dia melihat Lana sama sekali tak berani beradu pandang dengannya.

Sambil memegang dahi dan mengusap usap rambutnya, Lana menyeru:

       "Untuk apa membalas WA dia. Bukankah dia sudah makmur dengan suami hasil zinahnya!"

"Lana cukup!!" hardik Bu Darmi dengan masih tersedu. "Sudah! Terpenting sekarang kita berkumpul sebagai keluarga lagi."

"Menurutmu demikian??" balas Rizqita lagi. "Sisha hanya hitungan bulan menikah. Setelah itu suaminya menceraikan dia tanpa alasan. Kau tahu??" lanjut Rizqita sambil menunjuk Sisha. " Adikmu itu lontang lantung di Banjarmasin kayak orang hilang. Hampir ia jadi sasaran lelaki hidung belang. Kau tahu...Dia ingin pulang lekas. Tapi kau selalu diam hingga tumbuh suatu kebenaran di hatinya."

       "Kebenaran bahwa dia memang pelacur? Bukan begitu Sisha." Mata Lana menatap tajam adiknya.

Sisha tak menjawab. Memang di awal kepulangannya ia telah serahkan segala keterangan dan alasan kepada sahabatnya. Sisha tak mau bicara dengan kakaknya. Percuma.

Perdebatan terus bergulir. Beragam bukti dan alasan telah Rizqita uraikan dengan detail. Sahabatnya itu mengungkapkan bahwa Sisha memang bersalah, tapi sekarang sangat tulus untuk hijrah. Sayangnya Lana tetap jengkel dan kokoh pada prinsipnya.

       "Sudah Lana. Cukup kataku" Bu Darmi menengahi debat itu. "Kau bukan wanita yang melahirkannya. Kau tak bakal paham perasaan ini. Sekarang kita sudah bersatu. Lupakan masa lalu. Besok idul fitri dan mari saling memaafkan."

Kata kata ibunya tak bisa Lana ganggu gugat. Ia meredam emosinya. Dengan diam, dia keluar rumah untuk mencari udara segar.

*

Pagi usai salat ied, sang ibu sangat gembira melaksanakan ibadah tahun ini bersama putrinya. Raut wajah Bu Darmi juga berangsur angsur cerah. 

Di dapur, ketiga perempuan itu menyiapkan segala cemilan dan makanan untuk menyambut tamu saat datang berkunjung. Di luar Lana terlihat tengah sibuk menyapu karpet.

Rencananya saat hidangan sudah selesai tersaji di beranda depan, sebelum pintu dibuka terlebih dahulu semua keluarga akan bermaaf-maafan di sana. Hal ini sudah bagian dari tradisi.

"Bu. Kayunya hendak habis. Jika begini opornya akan kurang empuk. Biar ku panggil kakak untuk mengambil kayu bakar lagi" kata Sisha.

"Ah tak perlu. Jangan ganggu mood kakakmu. Biar dia selesaikan urusannya itu" jawab Bu Darmi sambil berjalan keluar. "Aku saja"

Bu Darmi berjalan ke samping kontrakan hendak mengambil kayu bakar. Dekat dengan sungai dan sedikit curam, Bu Darmi menuruni lingkungan itu dengan hati hati. Tiba tiba seekor ular kecil menyelusup di antara jari kakinya. Bu Darmi kaget dan membanting diri ke arah kanan.

Ia teriak kencang.

Astagfirullahhh!!! Tubuhnya hilang keseimbangan lalu terhuyung jatuh. Dengan gerakan salah, kepala Bu Darmi menukik berat dan beradu dengan batu yang banyak berada di sekitaran sungai.

"Ibu!!!!" teriak Sisha memburu. "Ada apa Bu!!!!!!"

Lana juga tak tinggal diam. Dia segera menyongsong ke arah teriakan. Ketika telah sampai di lokasi, semua terperanjat melihat Bu Darmi yang pucat tak sadarkan diri.

Lana segera mengangkat kepala ibunya.

       Semua berteriak memanggil Bu Darmi. Lana menggoyang-goyangkan tubuh Bu Darmi. Terasa dingin badanya. Tak lama Lana pun kaget bergidik manakala tangannya telah basah oleh cairan berwarna merah. Cairan kental kehitaman itu mengucur keluar dari kepala bagian belakang Bu Darmi. Lana panik luar biasa. Ia segera periksa denyut nadi ibunya. Percuma, Lana tertunduk lemas.

       "Tolong!!!! Tolongg!!!" pekik Sisha. Semua menangis pagi itu. Larungan tangis bersambut dengan kedatangan warga. Hiruk pikuk warga yang gaduh segera menggerubung dan menenangkan Sisha yang menggelijang hebat karena ketidakpercayaannya. Rizqita juga tak henti memeluk erat sahabatnya yang meraung itu. Sisha berontak sekuat tenaga. Batinnya yang kacau berteriak kencang mengapa takdir ini menimpa dirinya. Mengapa kesibukan dan kegirangan melenakan dirinya. Mengapa di hari suci ini dirinya tak sempat bersimpuh memohon ampun kepada ibunya. Penyesalan itu larut lalu berubah asam untuk selanjutnya menciptakan kesedihan.

Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun