"Aku sama denganmu. Tapi aku beranikan itu. Ku harap hari ini kau pulang. Nikmati lebaranmu besok."
*
"Aku rindu adikmu, Lan?"
"Bu. Untuk apa sih mengharapkan dia? Ibu tak ingat, dia hanya menebar aib."
"Lan," suara ibunya terdengar kuyu. "Lihatlah rupaku." Lana menatap wajah ibunya. Tak dapat dipungkiri sejak kejadian itu wajahnya kian tirus. Malu memang membuat batinnya hancur. Tapi ketiadaan putrinya itu sungguh menyiksanya bertahun-tahun.Â
Dari bilik jendela kayu yang mulai lapuk itu Lana menatap ke luar. Ingatnya berpendar ke kejadian tiga tahun lalu.
    "Maulana!!!! Bu Darmi!!! Hoyy Maulana!!!" seru salah seorang warga diikuti keramaian puluhan orang di belakangnya.
Dengan batu dan bambu, balok hingga golok sebagian warga menyeret dua orang sejoli. Keduanya setengah telanjang.Â
Bu Darmi keluar rumah dengan ketakutan. Maulana mendekap ibunya di depan pintu. Pada malam mencekam itu keruh suasana bertabuh kengerian angkara.
"Bu Darmi!! Bagaimana ini. Lihat putrimu. Bikin dosa!!! Bikin sial satu kampung! Gadis sundal!!" umpat Tikno, ketua RT.
    Bu Darmi yang sudah ada firasat bahwa hal ini lambat laun akan terjadi hanya menunduk dengan tak berani menatap putrinya. Badannya bergetar getar dan itu dirasakan Maulana.