"Meskipun Bapak jarang sekali memberi nasehat, tetapi hidup Bapak itulah nasehat. Aku belajar kepada petani, kepada Bapak. Pemimpin ibarat petani, yang dipimpin ibarat tanaman. Seperti petani, satu-satunya hal yang musti dilakukannya adalah menciptakan lingkungan agar tanaman atau potensi manusia tumbuh dengan baik. Petani bukan selaku penguasa atas tanaman, demikian halnya pemimpin bukan penguasa yang menguasai rakyatnya, lantas berbuat semena-mena". Nampaknya Harsono menjadi bersemangat kalau mbicarakan mendiang Bapak.
"Dan semua dari kita adalah petani, yang menanam dan merawat apa yang kita perbuat. Maka sebisanya tanamlah hal-hal baik, maka kelak kita akan memanen kebaikan". Lanjut Harsono.
Aku terdiam, nilai-nilai seperti itu tak pernah aku pikirkan selama ini. Pantas saja hidupku lama kelamaan terasa kering.
Kemudian sampailah kami di area pekuburan, duduk timpuh di makam Bapak yang bersanding makam Ibu yang meninggal lebih dulu.
"Bapak maafkan aku, damailah disana Bersama ibu" bisikku setelah mendoa.
Tiba-tiba udara menjadi begitu sejuk, angin semilir, aku mendengar kata-kata, lirih namun jelas.
"Le, Urip kuwi urup!"
"Bapakkkk..............".
Tangisku pecah, Harsono yang adikku mendekapku. Lalu kami saling memandang, saling memberi senyum meski pipi kami basah.
Ponorogo, 21 Januari 2024
Bapak pernah bilang padaku kalau bercocok tanam itu sarana latihan mengabdi, Petani mengabdi kepada tanaman untuk kemudian tanaman berbalik mengabdi kepada petani dengan hasil panennya. Jadi menurut Bapak kita hidup ini bertimbal balik, entah dengan sesama atau dengan alam" Harsono yang adikku menjelaskan.