"Mas mu ini terlanjur melihat Bapak penuh penderitaan menjadi petani, meski Mas tahu Bapak sama sekali tak pernah mengeluh, bertani dengan rasa yang selalu riang". Lanjutku kepada Harsono yang adikku.
"Memang kenapa Mas, bukankah cita-cita Mas sudah terlaksana, hidup dengan sejahtera di kota". Tanya Harsono yang adikku.
"Begini Har, masmu ini sudah sekitar tiga bulan ini merasakan hidup yang tidak penuh, ada kekosongan yang makin menganga. Oke secara materi aku sangat lebih dari cukup, tetapi secara batin mas merasa seperti mengalami kemarau yang panjang, gersang. Makanya aku mudik kali ini, rencanaku selama dua minggu di sini. Bagiamana kamu melihat Bapak Har?". Selidikku.
"Bapak itu mengutamakan kesederhanaan dan sikap berkasih sayang. Beliau selalu memerdekakan orang lain, termasuk kita Mas. Bapak tidak pernah memaksakan kehendak kepada kita kan?". Jawab Harsono.
"Kulanuwun Pak Lurah, kulanuwun?". Tiba tiba ada suara dari depan pintu, nada bicaranya menunjukkan kepanikan.
Harsono segera beranjak, membukakan pintu, aku pun mengikutinya.
"Mangga Pak Kasim, ada apa kok sepertinya panik begitu?". Tanya Harsono
"Mau minta tolong Pak Lurah, Sri anakku sakit Pak, suhu tubuhnya panas sekali, mulai kejang". Pak Kasim menjelaskan, tegang.
"Wadhuh, ayo segera dibawa ke Puskesmas saja, sebentar tak ambil mobil dulu, Pak Kasim pulang saja dulu sambal siap-siap". Pinta Harsono.
Pak Kasim segera pulang, tergesa.
"Mas, saya harus nganter wargaku berobat dulu, Mas istirahat saja, Mas pasti Lelah setelah melakukan perjalanan jauh." Pinta Harsono.