Oh iya, aku punya seorang adik laki-laki, selisih lima tahun denganku. Adikku selalu diajak Bapak ke sawah, membantu sebisanya. Adikku tipikal laki-laki yang tak banyak bicara, apalagi berbicara dengan frontal sangat dihindarinya. Setamat diploma dia diminta masyarakatnya untuk menjadi lurah, pemilihan dengan biaya minim, karena nampaknya kepribadian dan sepak terjang adikku di desa mengesankan masyarakat. Desa yang dipimpin adikku sangat maju, banyak prestasi, hidup masyarakatnya juga sangat baik. Bebarapa kali aku menyaksikan adikku masuk pemberitaan, karena berbagai prestasi di desanya.
Makin hari keresahan jiwaku semakin kuat saja, menyebabkan timbulnya keinginan untuk segera pulang kampung, nyekar Bapak sekaligus menemui adikku. Dan yang lebih penting siapa tahu keresahanku mendapat obat di desa asalku. Maka aku memutuskan ambil cuti, dua minggu. Setelah berbicara dengan istri dan anakku, aku memutuskan pulang ke desa asalku, sendirian. Maklum anak istriku tak suka tinggal di desa.
"Papa mudiknya pake mobil saja biar disopiri Antok sopir kita?". Kata istriku.
"Endak Ma, aku naik kereta saja". Jawabku.
"Kok naik kereta, kenapa nggak naik pesawat saja Pa, cepet" sanggah istriku.
"Lagian kalau naik kereta nanti Papa musti melanjutkan perjalanan dengan bus untuk sampai di kota asal Papa, belum lagi pindah kendaraan dari kota ke desa asal Papa?". Istriku menawarkan pertimbangan.
"Nggak apa-apa Ma, sekalian nostalgia" jawabku singkat.
Kereta yang aku naiki sampai di stasiun di kota karisidenan. Aku harus naik ojek menuju terminal, kemudian naik bus menuju kota asalku, lumayan satu jam musti berhimpitan dengan penumpang-penumpang lain. Puluhan tahun sudah situasi seperti ini tak aku alami, maklum kemana-mana aku naik mobil ber AC, dengan sopir khusus, tinggal duduk manis, menikmati musik dan sampailah ke tempat tujuanku. Setelah naik ojek dari terminal kota ku, aku sampai di perbatasan desaku.
Desaku nampak asri, bersih, udaranya segar dengan pepohonan berjajar tertanam rapi di sepanjang jalan masuk desa. Persawahannya hijau di penuhi tanaman padi, para petani nampak sumringah bekerja di sawah. Lama aku mengamati mereka dari boncengan tukang ojek. Timbul rasa haru di hatiku.
"Inilah hubungan paling intim antara manusia dengan alam, saling memberi dan menerima, saling merawat". Bisik hatiku tiba-tiba.
Menjelang maghrib sampailah di depan rumah Bapak, suasananya masih seperti dulu, rumah sinom dengan halaman yang luas, rindang, di tumbuhi pohon mangga, kelengkeng dan pete berusia tua. Hanya satu yang berbeda, di teras rumah terdapat kentongan besar menggantung, salah satu tanda bahwa rumah itu dihuni pimpinan desa, Lurah, adikku. Setelah mengongkosi tukang ojek, aku bergegas masuk halama lalu mengetuk pintu kayu.