Mohon tunggu...
Herawati
Herawati Mohon Tunggu... Relawan - Seorang konselor dan pemerhati perilaku

Pengajar, tim riset dan konselor di STTRI Warung Buncit, Jakarta Konselor di Hope Counselling Centre UPH, Karawaci

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengapa Hakim dan Jaksa Korupsi?

12 November 2020   15:12 Diperbarui: 16 November 2020   19:06 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Korupsi telah menjadi masalah yang mendarahdaging dan disebut-sebut sebagai bagian dari penyakit birokrasi Indonesia yang tidak mungkin disembuhkan. Benarkah demikian?

Menilik "Corruption Perception Index," nilai Indonesia terus meningkat dari 2 (saat itu skala terbersih = 10) pada 1998 (Transparency International, 1998) menjadi 38 pada tahun 2018 dan menjadi 40 (dari skala terbersih 100) di 2019 (Trading Economics, 2019). "Corruption Perception Index" merupakan laporan tahunan dari lembaga Transparency International yang mengindikasikan tingkat korupsi di sektor publik. Meskipun perkembangan ini baik, nilai ini masih jauh dari standar bersih sempurna yaitu 100.

Yang menjadi masalah ternyata para penegak hukum, yaitu jaksa, hakim, dan polisi yang seharusnya menjadi garda depan pemberantasan korupsi, justru menjadi bagian dari sistem korup tersebut.

Laporan tahunan ICW menunjukkan bahwa lembaga peradilan yaitu kepolisian, pengadilan dan kejaksaan masuk dalam 10 besar lembaga negara yang melakukan korupsi. Bahkan merupakan sektor-sektor yang tertinggi jumlah kasusnya setelah korupsi bencana alam dan pertambangan.

Hal ini didukung dengan laporan Transparency International bahwa pada tahun 2015-2019 ada 22 korps Adhyaksa  di berbagai daerah, yang tertangkap kasus korupsi (Ramadhan, 2020).

Profesi penegak hukum adalah profesi terhormat. Masyarakat punya harapan yang tinggi akan lembaga dan pribadi-pribadi penegak hukum yang adil, bersih dan dapat menjadi panutan. Harapan ini bukan harapan khas Indonesia, tetapi harapan umat manusia pada umumnya.

Kitab suci mengisahkan Salomo atau Sulaiman sebagai raja yang berlaku sebagai hakim yang adil. Bijaksananya menyelesaikan perselisihan dua ibu yang memperebutkan bayi, sangat menginspirasi kita tentang arti bijaksana dan keadilan (I Raja-raja 3:16-28). Legenda Cina mengenal Judge Bao yang mendunia. Sebagai hakim yang bersih, adil dan berpihak kepada rakyat; ia mendapat sebutan Bao Qingtian () yang berarti Bao si langit biru, sebuah nama pujian bagi pejabat bersih.

Indonesia juga pernah punya legenda hidup penegak hukum terhormat seperti Yap Thiam Hien, advokad yang bersih dan berani. Namanya saat ini diabadikan sebagai award bagi pembela hak asasi manusia. Kata-kata yang menunjukkan integritasnya seakan membakar hati kita untuk menjaga integritas: Jika Saudara hendak menang perkara, janganlah pilih saya sebagai pengacara Anda, karena pasti kita akan kalah. Tetapi, jika Saudara merasa cukup dan puas menemukan kebenaran Saudara, maka saya mau menjadi pembela Saudara (Wijaya et.al., 2013). Wow ....

Kita juga punya kisah polisi Hoegeng Iman Santoso. Selain karyanya membangun struktur Mabes Polri yang dinamis dan komunikatif, beliau juga dikenal karena kejujuran dan kesederhanaannya. Bahkan sosok Gus Dur pun menyampaikan kekagumannya dalam sebuah guyonan. Kata Gus Dur, "Di Indonesia hanya ada 3 polisi jujur, yaitu: polisi tidur, patung polisi dan polisi Hoegeng"  (Sumartomdjon, 2020).

Lucu sekaligus ironis. Kita tertawa sekaligus sedih mengapa orang-orang yang kita harapkan menjadi penjaga integritas bangsa justru menjadi orang-orang yang menyalahgunakan jabatan terhormat yang dipercayakan kepadanya dengan melakukan korupsi."

Sebelum kita membahas mengenai mengapa hal ini terjadi, mari kita lihat terlebih dahulu mengenai apa itu korupsi dan bagaimana karakteristiknya.

Definisi korupsi yang sering dipakai baik oleh World Bank dan UNDP (United Nations Development Programme) adalah penyelewengan atau penyalahgunaan pelayanan publik untuk keperluan pribadi. Atau dapat diperluas menjadi penyalahgunaan kantor untuk tujuan tidak resmi. Transparency International, sebuah LSM anti korupsi dunia, mempertegas definisi korupsi menjadi penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan untuk kepentingan pribadi (Abjorensen, 2014).

Korupsi dibedakan menjadi 3, yaitu grand corruption, petty corruption dan political corruption.

Grand corruption merupakan korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah tingkat tinggi yang dapat mengarahkan kebijakan atau fungsi negara sehingga memungkinkan pemimpin mendapat keuntungan dari dana publik.

Sedangkan petty corruption merupakan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik tingkat menengah atau rendah dalam interaksi mereka dengan masyarakat yang mengakses pelayanan umum seperti rumah sakit, sekolah, polisi, dan lain-lain.

Dan political corruption didefinisikan sebagai manipulasi kebijakan, institusi dan prosedur dalam alokasi sumber daya dan keuangan oleh pembuat keputusan politik yang menyalahgunakan posisi untuk mempertahankan kekuasaan, status, dan kekayaan (Transperency International, 2009).

Di Indonesia kita melihat ketiga bentuk korupsi ini. Dalam buku Challenging Corruption in Asia, Bhargava dan Bolongaita menyebutkan bahwa grand dan political corruption sangat masif di Indonesia sebelum reformasi 1998. Setelah itu meskipun ada janji-janji dari pemerintah yang baru, tetapi perkembangan pemberantasan korupsi sangat lambat. Bahkan hingga sekarang sudah lebih dari 20 tahun sejak reformasi, Indonesia masih jauh dari bebas korupsi (Bhargava dan Bolongaita, 2004).

Petty corruption merupakan bagian dari keseharian yang masih kita temui ketika berinteraksi dengan pelayanan publik seperti mengurus berbagai dokumen dari kantor kelurahan, kecamatan, kepolisian, seleksi pegawai negeri, dalam kasus yang berhubungan dengan pengadilan, penjara, dan lain-lain.

Sebenarnya seperti apakah karakteristik korupsi sehingga sulit sekali diberantas? Menurut sosiologi korupsi, korupsi adalah tindakan yang umumnya melibatkan lebih dari 1 orang.

Tindakan ini bersifat rahasia kecuali bila sudah begitu merajalela dan sangat berakar, sehingga individu yang berkuasa atau sekelompok orang yang dilindunginya tidak terganggu lagi untuk terlihat aktifitasnya. Setiap orang yang terlibat dalam korupsi akan merasa saling menguntungkan dan merasa wajib saling menjaga.

Meskipun merasa kontradiktif dalam dirinya, biasanya mereka akan membuat pembenaran-pembenaran dan menghindari pertentangan terbuka dengan hukum. Orang-orang ini menginginkan kepastian kebijakan dan dapat mempengaruhi pembuat keputusan. Semua tindakan korupsi melibatkan penipuan, biasanya berupa penipuan terhadap lembaga publik atau masyarakat luas dan merupakan pengkhianatan terhadap kepercayaan. Korupsi juga melanggar norma kewajiban dan tanggung jawab dalam masyarakat sipil (Alatas, 1975).

Melihat karakteristik di atas, terlihat bahwa korupsi adalah tindakan bersama-sama, bukan tindakan individu. Kelompok yang terbentuk juga bukan kelompok biasa, melainkan suatu kelompok yang solid atau kohesif. Di dalam kelompok yang kohesif, terdapat resiko dinamika perilaku yang disebut groupthink. Irving Janis mendefinisikan groupthink sebagai

"a mode of thinking that people engage in when they are deeply involved in a cohesive in-group, when the members' strivings for unanimity override their motivation to realistically appraise alternative courses of action" (Janis, 1972).

Groupthink merupakan kecenderungan individu untuk memilih pikiran dan tindakan yang sama dengan kelompok dibandingkan pilihan lain yang lebih realistis.

Lebih jauh Janis menjelaskan ada 3 hal yang mendorong anggota grup menggunakan mode berpikir groupthink, yaitu: penilaian yang berlebihan terhadap grup, ketertutupan pikiran anggota grup dalam melihat permasalahan, serta tekanan mencapai keseragaman dalam grup (Janis, 1991).

Penilaian yang berlebihan terhadap grup terbentuk karena adanya ilusi kekebalan grup dan ilusi moralitas grup. Korupsi punya sejarah panjang di Indonesia.

Robison melaporkan bahwa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan sudah biasa terjadi antara politisi dan pengusaha sejak era Demokrasi Parlementer (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) berupa pemberian hak khusus dalam perijinan dan kesempatan berusaha yang tidak transparan.

Hal ini berlanjut, bahkan semakin besar dan sistematis pada era Orde Baru (Robison, 1986). Para pejabat publik ini menggunakan kekuasaannya untuk meraih keuntungan bagi kelompoknya melalui tindakan meminta suap, mark up, penyalahgunaan anggaran, penggelapan, penyalahgunaan wewenang, kegiatan/proyek fiktif, laporan fiktir, pungutan liar, gratifikasi, dan pemerasan (ICW, 2019).

Posisi peradilan sebagai penentu hukuman bagi koruptor menjadi posisi yang strategis karena dapat melakukan jual beli keputusan. Tak heran apabila perlawanan melawan korupsi menjadi sangat lemah. Kelompok pelaku korupsi merasa diri sebagai kelompok yang kuat dan kebal karena telah membangun simbiosis yang saling menguntungkan dan saling melindungi dengan pejabat peradilan.

Kondisi ini meyakinkan para pejabat, jaksa dan hakim pelaku korupsi bahwa kelompok mereka adalah kelompok yang kebal hukum (Bhargava dan Bolongaita, 2004). Ilusi kekebalan grup menciptakan optimisme berlebihan dan keberanian untuk mengambil resiko yang ekstrim (Janis, 1972).

Ilusi atas moralitas grup muncul karena keyakinan bahwa grup telah melakukan banyak kebaikan. Sebagai pemerintah telah melakukan pembangunan dan melayani rakyat, sebagai hakim telah menyelesaikan banyak perkara, sebagai jaksa telah menuntut dan mengirim penjahat ke penjara.

Melihat pada hal-hal yang baik saja membuat individu cenderung mengabaikan konsekuensi moral dan etis atas keputusan atau tindakan kurang bermoral yang diambilnya (Janis, 1973). Sering kita melihat para koruptor tidak merasa bersalah meskipun telah merugikan negara karena ia telah melakukan tindakan bermoral yang lain. Keyakinan bahwa ia adalah orang baik meskipun telah melakukan tindakan amoral (korupsi) disebut moral lisencing (Brown, 2011).

Umumnya para koruptor mengalami kontradiktif dalam dirinya (Alatas, 1975). Festinger (1957, p 1-4) menyebut gejala ini cognitive dissonance, yaitu adanya pemikiran-pemikiran yang tidak konsisten dan saling kontradiktif sehingga menimbulkan ketidakseimbangan dalam diri individu. Di dalam grup, kontrakdiksi terjadi antara tuntutan kelompok dengan suara hati nurani (Brown, 2011).

Kondisi ini menyebabkan sikap ambigu yang dapat diresponi secara positif dengan mencari kebenaran, atau justru sebaliknya mencari pembenaran agar tetap dapat melakukan apa yang tidak benar tanpa rasa bersalah. Kecenderungan mencari pembenaran dapat terjadi apabila hal yang dilakukan (misalnya korupsi) dapat dicari pembenarannya oleh individu.

Misalnya: hanya sedikit, toh saya sudah melakukan banyak hal yang baik, semua orang melakukannya, dll. Apabila tidak dapat dilakukan rationalisasi, maka individu akan cenderung menghentikan tindakan amoral tersebut. Pelaku korupsi cenderung menekan kebimbangan ini dengan pembenaran sehingga tindakan korupsi yang tidak bermoral seolah-olah tidak masalah. Bias pikiran ini disebut moral credentialing. Secara bawah sadar, individu yang telah melakukan hal yang bermoral sebelumnya, merasa berhak melakukan hal yang kurang bermoral tanpa merasa diri bersalah atau kurang bermoral (Kouchaki, 2011) (Brown, 2011).

Untuk memberi kesan baik, individu melakukan moral balance. Yaitu kecenderungan menjaga keseimbangan perilaku buruk (kurang/tidak bermoral) dengan perilaku baik (bermoral) sehingga secara keseluruhan memberikan kesan cukup baik (Nisan, 1991).

Misalnya: ketika kita menggunakan uang untuk belanja hal-hal pribadi yang tidak perlu, kita akan merasa bersalah. Untuk mengurangi rasa bersalah, kita membeli juga barang-barang untuk keluarga, anak yatim atau untuk kegiatan amal. Seolah-olah ada balance antara debit (belanja untuk diri sendiri) dengan credit (belanja untuk orang lain) sehingga secara keseluruhan kita melihat diri tidak terlalu egois. Gejala itu terlihat juga pada seorang koruptor yang minta tidak dihukum karena ia telah menggunakan uang hasil korupsi untuk pembangunan rumah ibadah (DetikNews, 2011).

Hal kedua yang mendorong groupthink adalah ketertutupan pikiran dari anggota grup. Tanda-tandanya adalah adanya rationalisasi kolektif dan stereotype yang berlebihan (Janis, 1991, p. 239). Rationalisasi kolektif dilakukan oleh anggota grup sebagai upaya agar para anggota tetap memiliki asumsi yang telah dipegang sebagai pembenaran kelompok.

Misalnya, pemikiran-pemikiran seperti: ini demi kepentingan bersama, ini adalah bagian dari hak pejabat, hasilnya sebagian disumbangkan untuk yang memerlukan, ini hal yang lumrah dan sudah menjadi budaya, kita harus mempertahankan jabatan, terdakwa terlalu kuat, kita harus bekerja sama, dll. Rationalisasi tersebut terus dipupuk untuk memelihara keyakinan bersama bahwa tindakan mereka memiliki alasan yang tepat (Janis, 1972, p. 238-239).

Dengan rationalisasi yang terus dipupuk, mereka akan melihat kelompok lain dengan stereotype. Mereka menganggap orang yang tidak setuju atau melawan mereka sebagai punya maksud tersembunyi, jahat, sulit bernegosiasi, bodoh dan selalu memusuhi (Janis, 1971) (Fakih, 2016).

Hal terakhir yang mendorong groupthink adalah tekanan mencapai keseragaman. Upaya mencapai keseragaman dapat dilihat dari sensor diri, ilusi kebulatan suara, tekanan untuk menyesuaikan, dan self-appointed mindguard.

Self sencorship/sensor diri merupakan kecenderungan individu untuk menyeleksi pikirannya. Ia akan menganggap tidak penting keraguannya serta argumen-argumen yang melawan konsensus grup. Hal ini dilakukan untuk menjaga keseragaman pandangan dengan anggota grup yang lain. Individu akan menahan diri untuk menyampaikan pendapat atau keberatan yang berlawanan dengan apa yang telah disepakati grup. Semakin besar esprit de corps di antara anggota grup, terutama di antara para pembuat keputusan, semakin besar bahaya bahwa critical thinking akan digantikan dengan groupthink (Janis, 1972).

Grup dengan groupthink juga memiliki ilusi kebulatan suara, yaitu merasa yakin bahwa seluruh anggota grup telah memiliki kesepakatan dan pandangan yang sama. Realitanya perbedaan pendapat dan ketidaksetujuan tidak disampaikan di dalam grup karena tiap individu cenderung melakukan sensor diri.

Diamnya anggota grup diasumsikan sebagai persetujuan. Ada atau tidaknya deviasi pendapat dalam grup tidak akan diketahui sehingga dapat dikatakan pemikiran tentang adanya kebulatan suara hanyalah suatu ilusi (Janis, 1972).  

Di dalam grup juga ada tekanan untuk menyesuaikan diri. Anggota yang memiliki pandangan atau pendapat yang berbeda akan ditekan secara langsung baik melalui kata-kata maupun tindakan pengasingan. Ada harapan bahwa seluruh anggota menjadi anggota yang setia terhadap grup (Janis, 1972).

Tanda terakhir adalah self-appointed mindguard. Tiap individu dalam grup akan cenderung memfokuskan diri pada informasi atau pendapat yang sesuai dengan pandangan grup.

Demi mempertahankan kepuasan atas efektifitas dan nilai moral grup, mereka membatasi pembicaraan hanya pada hal-hal yang sesuai dengan pandangan grup. Di satu sisi pembatasan ini bisa berdampak positif, yaitu mengurangi bias dan grup menjadi fokus.

Tetapi sebaliknya, pembatasan ini dapat mengurangi evaluasi serta potensi solusi yang mungkin dapat mengatasi permasalahan grup, hal yang memang dihindari dalam groupthink (Janis, 1972) (Janis, 1991).

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan "mengapa hakim dan jaksa korupsi?" bukanlah masalah sederhana yang hanya tergantung pada moralitas pelaku. Kita berhadapan dengan suatu sistem yang merupakan kelompok kohesif yang berpikir dengan groupthink.

Selain itu gejala moral lisencing juga terlihat pada para hakim dan jaksa yang korupsi. Akibatnya pembinaan moral menjadi sulit karena pelaku merasa dirinya cukup baik dan tidak bersalah.

Lalu bagaimana mengatasinya? Penulis setuju dengan rumusan UNDP tentang korupsi yang mengadaptasi formula Robert T. Klitgard (1988) dalam Abjoresen (2014, p 23-24), yaitu:

C = (M + D) -- (A + I + T).  
Corruption = (Monopoly + Discretion) -- (Accountability + Integrity + Transparency)

Mengurangi korupsi berarti mengurangi monopoly dan discretion, serta menambah accountability, integrity dan transparency. Dalam persepsi groupthink, mengurangi monopoly dan discretion serta meningkatkan accountability dan transparency merupakan upaya mengurangi kohesifitas grup terutama menghindarkan grup dari ilusi kekebalan grup. Grup menjadi lebih transparan dan cair karena ada pengaruh dan pengawasan dari lembaga/grup lain.

Dalam prakteknya, grup-grup yang mengawasi lembaga peradilan perlu didukung. Dalam iklim yang relatif masih korup saat ini, hal ini harus dilakukan dengan kehati-hatian. Harus diwaspadai hal ini dapat menimbulkan korupsi baru. Kesadaran masyarakat untuk memperbesar transparansi dan akuntabilitas peradilan dengan menjadi pengawas independen juga perlu dikembangkan dan difasilitasi. Hal ini bisa dilakukan baik melalui sosialisasi, pendidikan di sekolah, juga kesempatan melihat sidang terbuka secara online.  

Dalam meningkatkan integrity, tidak cukup dengan pengajaran tentang etika dan moralitas hakim/jaksa. Perlu dibukakan awareness akan mekanisme moral licencing dan moral credential, juga awareness untuk menghidupkan cognitive dissonance yang merupakan produk hati nurani.

Hal-hal seperti ini tidak dapat dilakukan semata-mata melalui himbauan dan kelas pengajaran. Perlu dibangun budaya kerja yang lebih sehat dan terbuka, juga bantuan psikolog dan rohaniwan untuk memberikan pendampingan yang bersifat pribadi. Integritas individu juga harus menjadi pertimbangan dalam seleksi hakim dan jaksa. Tidak cukup hanya uji kompetensi.

Tentu ini adalah pekerjaan besar yang tidak dapat selesai dalam satu program kerja. Apalagi meskipun sejauh ini pemberantasan korupsi di Indonesia relatif membaik dari tahun ke tahun, saat ini kia masih ada dalam sistem yang korup. Selalu ada cara bagi para koruptor untuk mencari celah dan peluang korupsi di dalam tatanan yang baru.

Tetapi upaya perbaikan harus terus dikerjakan. Seperti menata batu bata untuk membangun rumah. Satu demi satu, sedikit demi sedikit kita kerjakan dengan konsisten hingga kita mencapai harapan kita memiliki budaya peradilan yang lebih adil, bersih, dan dapat dipercaya.

***

Daftar Pustaka

  • Abjorensen, Norman. (2014). Combating Corruption, Implications of the G20 Action Plan for the Asia-Pacific Region. Tokyo: Konrad Adenauer Stiftung.
  • Alatas, Syed Hussein. (1975). The Sociology of Corruption. Edisi ke-2. Singapore: Delta Orient.
  • Bhargava, Vinay & Bolongaita, Emil. (2004). Challenging Corruption in Asia: Case Studies and a Framework for Action. Washington: The World Bank.
  • Brown, Ryan P. et.al. (2011). "Moral Credentialing and the Rationalization of Misconduct," Ethics Behav. 21(1): 1--12. doi:10.1080/10508422.2011.537566.
  • Festinger, Leon. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford: Stanford University Press.
  • Indonesia Corruption Watch. (2019). Kinerja Penindakan Kasus Korupsi 2019.
  • Janis, Irving L. (1972). Victims of Groupthink. Boston: Houghton Mifflin.
  • Janis, Irving L. (1973) Groupthink and Group Dynamics: A Social Psychological Analysis of Defective Policy Decisions. Policy Studies Journal. Vol 2. (1): 19-25.
  • Janis, Irving L. (1991). "Groupthink," dalam E. Griffin (Ed.) A First Look at Communication Theory. New York: McGraw Hill.
  • Kouchaki, M. (2011). "Vicarious moral licensing: The Influence of others' past moral action on moral behavior." Journal of Personality and Social Psychology. 101 (4): 702-715.doi:10.1037/a0024552. PMID 21744973
  • Nisan, M. (1991). The moral balance model. Theory and research extending our understanding In WM Kurtines & J. L Gewirtz (Eds.), Handbook of moral behavior and development, Vol. 3. Application (pp. 213-249).
  • Robison, Richard. (1986). Indonesia: The Rise of Capital (Sydney: Allen and Unwin, 1986) dikutip dalam Bhargava, Challenging Corruption in Asia, 210.
  • Transparency International. (2009). The Anti-Corruption Plain Language Guide, 2009.
  • Wijaja, Agoeng et.al. (2013). Yap Thiam Hien: 100 Tahun Sang Pendekar Keadilan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Berita Terkait:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun