Mohon tunggu...
Herawati
Herawati Mohon Tunggu... Relawan - Seorang konselor dan pemerhati perilaku

Pengajar, tim riset dan konselor di STTRI Warung Buncit, Jakarta Konselor di Hope Counselling Centre UPH, Karawaci

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengapa Hakim dan Jaksa Korupsi?

12 November 2020   15:12 Diperbarui: 16 November 2020   19:06 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kondisi ini menyebabkan sikap ambigu yang dapat diresponi secara positif dengan mencari kebenaran, atau justru sebaliknya mencari pembenaran agar tetap dapat melakukan apa yang tidak benar tanpa rasa bersalah. Kecenderungan mencari pembenaran dapat terjadi apabila hal yang dilakukan (misalnya korupsi) dapat dicari pembenarannya oleh individu.

Misalnya: hanya sedikit, toh saya sudah melakukan banyak hal yang baik, semua orang melakukannya, dll. Apabila tidak dapat dilakukan rationalisasi, maka individu akan cenderung menghentikan tindakan amoral tersebut. Pelaku korupsi cenderung menekan kebimbangan ini dengan pembenaran sehingga tindakan korupsi yang tidak bermoral seolah-olah tidak masalah. Bias pikiran ini disebut moral credentialing. Secara bawah sadar, individu yang telah melakukan hal yang bermoral sebelumnya, merasa berhak melakukan hal yang kurang bermoral tanpa merasa diri bersalah atau kurang bermoral (Kouchaki, 2011) (Brown, 2011).

Untuk memberi kesan baik, individu melakukan moral balance. Yaitu kecenderungan menjaga keseimbangan perilaku buruk (kurang/tidak bermoral) dengan perilaku baik (bermoral) sehingga secara keseluruhan memberikan kesan cukup baik (Nisan, 1991).

Misalnya: ketika kita menggunakan uang untuk belanja hal-hal pribadi yang tidak perlu, kita akan merasa bersalah. Untuk mengurangi rasa bersalah, kita membeli juga barang-barang untuk keluarga, anak yatim atau untuk kegiatan amal. Seolah-olah ada balance antara debit (belanja untuk diri sendiri) dengan credit (belanja untuk orang lain) sehingga secara keseluruhan kita melihat diri tidak terlalu egois. Gejala itu terlihat juga pada seorang koruptor yang minta tidak dihukum karena ia telah menggunakan uang hasil korupsi untuk pembangunan rumah ibadah (DetikNews, 2011).

Hal kedua yang mendorong groupthink adalah ketertutupan pikiran dari anggota grup. Tanda-tandanya adalah adanya rationalisasi kolektif dan stereotype yang berlebihan (Janis, 1991, p. 239). Rationalisasi kolektif dilakukan oleh anggota grup sebagai upaya agar para anggota tetap memiliki asumsi yang telah dipegang sebagai pembenaran kelompok.

Misalnya, pemikiran-pemikiran seperti: ini demi kepentingan bersama, ini adalah bagian dari hak pejabat, hasilnya sebagian disumbangkan untuk yang memerlukan, ini hal yang lumrah dan sudah menjadi budaya, kita harus mempertahankan jabatan, terdakwa terlalu kuat, kita harus bekerja sama, dll. Rationalisasi tersebut terus dipupuk untuk memelihara keyakinan bersama bahwa tindakan mereka memiliki alasan yang tepat (Janis, 1972, p. 238-239).

Dengan rationalisasi yang terus dipupuk, mereka akan melihat kelompok lain dengan stereotype. Mereka menganggap orang yang tidak setuju atau melawan mereka sebagai punya maksud tersembunyi, jahat, sulit bernegosiasi, bodoh dan selalu memusuhi (Janis, 1971) (Fakih, 2016).

Hal terakhir yang mendorong groupthink adalah tekanan mencapai keseragaman. Upaya mencapai keseragaman dapat dilihat dari sensor diri, ilusi kebulatan suara, tekanan untuk menyesuaikan, dan self-appointed mindguard.

Self sencorship/sensor diri merupakan kecenderungan individu untuk menyeleksi pikirannya. Ia akan menganggap tidak penting keraguannya serta argumen-argumen yang melawan konsensus grup. Hal ini dilakukan untuk menjaga keseragaman pandangan dengan anggota grup yang lain. Individu akan menahan diri untuk menyampaikan pendapat atau keberatan yang berlawanan dengan apa yang telah disepakati grup. Semakin besar esprit de corps di antara anggota grup, terutama di antara para pembuat keputusan, semakin besar bahaya bahwa critical thinking akan digantikan dengan groupthink (Janis, 1972).

Grup dengan groupthink juga memiliki ilusi kebulatan suara, yaitu merasa yakin bahwa seluruh anggota grup telah memiliki kesepakatan dan pandangan yang sama. Realitanya perbedaan pendapat dan ketidaksetujuan tidak disampaikan di dalam grup karena tiap individu cenderung melakukan sensor diri.

Diamnya anggota grup diasumsikan sebagai persetujuan. Ada atau tidaknya deviasi pendapat dalam grup tidak akan diketahui sehingga dapat dikatakan pemikiran tentang adanya kebulatan suara hanyalah suatu ilusi (Janis, 1972).  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun