"Mbak tunggu! Boleh aku mengantarmu?" Aku mulai menyapa gadis di sampingku.Â
"Mas ini yang dulu pernah bertemu di Angdes ini ya?" Suara gadis itu lembut dan merdu. Senyumnya menghiasi bibirnya yang terlihat pucat, mungkin terlalu capek sudah bekerja seharian.
Aku mengangguk lalu mengulurkan tangan sambil menyebut: "Hendarno."Â
"Euis Puspitawati!" Katanya sambil menerima uluran tanganku.Â
Tangannya terasa dingin. Mungkin karena sudah larut malam sehingga udara semakin dingin.Â
Angin malam yang dinginnya menyentuh pori-pori, membuat bulu-bulu kulit tubuhku berdiri. Aku berjalan mendampingi Euis melewati rumah-rumah yang semakin jarang.Â
Euis tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Mas sampai di sini saja mengantarnya!" Kata Euis sambil menatapku.Â
Sepasang mata yang teduh tatapannya begitu menenteramkan. Sungguh gadis Priangan ini benar-benar mengesankan hatiku. Â
"Rumahmu masih jauh? Â Tanyaku.Â
"Enggak Mas. Tuh sudah terlihat." Sambil menunjukkan sebuah rumah di tengah rimbunnya pepohonan.Â
Rumah itu terpencil dari rumah-rumah penduduk lainnya. Akhirnya aku hanya bisa pasrah mengikuti kemauan Euis.Â