Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Desember Ini Sudah Natal Lagi

18 Desember 2023   16:45 Diperbarui: 18 Desember 2023   18:29 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gereja Katedral Bogor (Foto Rizky/Detik.com). 

Desember ini sudah Natal lagi. Erika Amelia Mawardini selalu mengucapkan kalimat itu setiap kali bertemu denganku di Taman Gereja Katedral yang rimbun dengan pepohonan. 

Usai Misa Natal Minggu pagi itu, Erika bergegas menghampiriku yang sudah lama menunggunya di Taman. Wajah Erika terlihat ceria dengan kecantikannya yang memesona. 

"Terima kasih sudah menunggu Hen," kata Erika sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk ringan sambil membalas senyumya. 

Suasana Taman di depan Gereja Katedral itu udaranya sangat sejuk. Matahari pagi sinarnya menerobos di antara sela-sela daun pepohonan sekitar Taman itu. 

Sementara para Jemaah yang baru saja mengikuti Misa pagi mulai berangsur meninggalkan halaman Gereja Katedral. 

Sedangkan aku dan Erika masih asyik duduk menikmati keindahan pagi yang cerah ini. 

"Aku selalu menghitung setiap Natal bersamamu di sini." Kataku. 

"Ini sudah yang ketiga kalinya ya Hen." Kata Erika. 

"Iya benar itu berarti hubungan kita sudah berjalan selama tiga tahun. Sejak kelas satu kamu selalu menjadi teman baik hatiku." 

"Tapi Hen selain kita harus menyukuri kesetiaan kita dalam tiga tahun ini, ada yang aku takutkan." Kata Erika dengan suara yang terasa pilu. 

"Kamu takut apa Rika?" Tanyaku. 

Mendapat pertanyaan seperti itu Erika bukannya memberikan jawaban tapi malah dia terisak. Sepasang mata yang indah itu basah dengan air mata. 

Aku hanya bisa memahami dengan sikap Erika. Bagaimanapun pilihan ada padanya kendati keluarga juga harus menjadi pertimbangannya. 

Maka Erikapun harus berpamitan untuk kembali menemui Ayah dan Ibunya yang sudah menunggu di pelataran parkir. 

Aku hanya bisa memandangi punggungnya dengan rambut panjangnya yang terurai. 

Minggu pagi seusai Misa Natal di Gereja Katedral itu, menjadi awal dari terjalnya perjuangan cintaku kepada Erika. 

Memang ada benarnya apa kata orang bahwa cinta sejati itu harus diperjuangkan. 

Apalagi setelah lulus SMA kami harus berpisah berjauhan karena berbeda kota dalam menjalani kuliah di Perguruan Tinggi. 

Erika menuntut ilmu pada sebuah perguruan tinggi Negeri di Yogyakarta sedangkan aku tetap kuliah di kotaku, Bogor.  

Ujian hubungan jarak jauh semakin menjadi tantangan bagiku. Meskipun komunikasi masih tetap berjalan dengan baik, tapi tidak memberikan rasa lega. 

Lebih-lebih lagi hubungan kamipun sudah tidak mendapat restu dari orang tua Erika karena ada perbedaan keyakinan antara kami. 

Maka kabar yang selama ini menjadi ketakutan kami berdua terjadilah hanya beberapa bulan kemudian. 

Erika baru saja melangsungkan pertunangannya dengan seorang pria satu suku berbeda marga, tapi satu keyakinan dalam agama. 

Apakah aku harus melanjutkan perjuangan untuk mendapatkan cinta Erika? Rasanya terlalu naif bagiku untuk tidak mau menerima kenyataan ini. 

Namun aku masih ingin bertemu dengan Erika mungkin untuk terakhir kalinya. Liburan semester untuk pertama kalinya aku bisa berjumpa dengan Erika. 

Kami berjanji bertemu di Rumah Makan Delima di pojok kiri Jalan Surya Kencana. Pertemuan pertama kalinya sejak kami kuliah di kota yang berbeda. 

Ini benar-benar menjadi pertemuan untuk menuntaskan segala kerinduan kami. Kami saling menatap dengan senyum bahagia. 

Wajah lembut Erika semakin penuh dengan aura kecantikan yang membuat aku terpana. 

Sorot mata gadis ini sangat memukau, tajam seakan menusuk hati terdalamku. Erika yang selalu kurindukan kini ada di depan mataku. 

Erika duduk dengan tenang memandangku seakan melepaskan semua kerinduannya padaku. 

Wajahnya yang teduh, tenang, bak telaga kedamaian. Rambutnya yang hitam sebatas bahu masih seperti dulu. 

Matanya yang bening dan tajam. Hidungnya, bibirnya dan ketika aku menatap semuanya Erika mengangkat wajahnya. Aku tersenyum dan dia pun tersenyum. 

"Hen bagaimana perasaan hatimu saat ini ?" Suara Erika demikian tenang.

"Aku tidak tahu. Rasanya hampa setelah mendengar pertunanganmu," kataku. 

Kulihat Erika tertunduk. Ia mempermainkan jemarinya dan di sana aku dapat melihat cincin tunangan itu begitu cantik menelusup di jari manis tangan kirinya.

"Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku merasa hari ini kita bertemu untuk yang terakhir. Esok aku mungkin sudah tidak bisa memandangmu lagi," kata Erika sambil memandangku tajam. 

Aku hanya mampu menghela nafas yang rasanya dada ini sesak sekali. 

Helaan nafas kepedihan hati yang mungkin terluka gegara suatu perbedaan yang tidak seharusnya memisahkan sebuah cinta. 

"Rika, aku sudah menyadari semuanya."

"Terima kasih," suara Erika tersekat di kerongkongan.

"Aku juga harus menyadari bahwa esok mungkin kita tidak akan berjumpa lagi." Lanjut gadis cantik ini. 

Rasanya dada ini semakin sesak dan aku hanya dapat memandang Erika yang tertunduk.

"Hen!" Suara Erika lirih sambil memandangku.

"Aku tidak mau menangis. Bukankah kamu menyukai jika aku tidak menangis?" Suara Erika pelan sambil memandangku. 

Namun mata indah itu malah berkaca-kaca dan bibir manis itu bergetar menahan pedih. Aku memgang kedua tangannya agar hatinya tenang. 

"Bukankah kamu ingin agar aku tabah? Tabah menghadapi cobaan ini?" Erika tertunduk. Setitik air mata jatuh diatas jemarinya.

"Hen, aku ingin kamu memelukku untuk yang terakhir tapi aku takut ini justru akan semakin menambah kepedihan ini !" suara Erika penuh haru.

"Ya Rika, akupun demikian," ucapku pelan.

"Izinkan aku hanya memandangmu," katanya perlahan. 

Di depanku Erika hanya mampu menatapku tajam. Jemarinya kugenggam erat ketika dia berkata lirih. 

"Selamat tinggal Hen," desahnya sambil memandangku dengan mata yang berkaca-kaca.

Aku hanya tertegun membisu. Mata indah itu masih berkaca-kaca dan bibir manis itu bergetar. 

Sementara di luar sana awan mendung mulai mengurung semakin tebal semakin gelap. 

Hujanpun tidak dapat dielakkan mulai turun dengan deras sederas air mata Erika membasahi pipinya. 

Sungguh aku tidak menyangka pertemuan ini adalah yang terakhir bersama gadis yang sangat aku cintai ini. 

Kembali pada Desember ini Misa Natal Minggu pagi di Gereja Katedral baru saja usai. 

Aku yang tengah duduk di kursi Taman di depan Gereja itu masih memandang ke arah pintu Gereja memperhatikan setiap Jemaah yang keluar dari gerbang Gereja. 

Parajemaah mulai bergegas meninggalkan Gereja. Tetiba aku melihat Erika berjalan keluar dari pintu gerbang. Akubergegas mengejarnya sambil memanggilnya. 

"Erika!" Panggilku. Gadis cantik dengan rambut sebahu itu memandangku penuh dengan keheranan. 

"Maaf. Kakek ini siapa? Saya bukan Erika. Tapi kalau Erika yang dimaksud Kakek, itu adalah Mama saya, beliau sudah meninggal Lima tahun yang lalu." Penjelasan gadis itu sangat gamblang. 

"Oh Maaf" Kataku setengah terkejut karena baru menyadari. 

Aku hanya tertegun penuh haru memandang gadis yang wajahnya seperti Erika berlalu di depan mataku.  

Tidak terasa sudah 50 tahun berlalu dengan begitu cepat. Aku benar-benar tidak berdaya menahan rindu. Desember ini sudah Natal lagi. Kini tidak ada lagi yang mengucapkan kalimat itu karena Erika sudah tiada. Semoga Erika damai di SisiNya. 

Sindang Palay 18 Desember 2023. 

@hensa17

Hendro Santoso. Pensiunan yang menyukai cerpen, novel dan puisi. Menulis sekedar mengisi hari-hari agar lebih bermakna sebagai warisan untuk anak cucu tercinta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun