"Aku hanya ingin tahu jawaban dari rasa heran ini. Aku menyadari banyaknya kekurangan-kekuranganku yang harus kamu terima."
"Aku tidak mau kamu terlalu banyak menanggung beban akibat kekurangan dalam diriku," Begitu kata Satrio.
Mendengar pengakuannya aku tidak pernah menanggapi cukup kujawab dengan pendek.
"Sudahlah. Hal itu jangan terlalu dipikirkan." Jawabanku ini sebenarnya bukan jawaban yang jujur.
Aku yakin Satrio kecewa seumur hidupnya andaikan dia tahu alasan yang sebenarnya, mengapa aku mencintai dan bersedia menjadi istrinya.
Karena itu aku tidak pernah mau mengatakan kepadanya. Cukup hanya aku seorang diri yang mengetahui alasan sebenarnya.
Tidak adil rasanya membandingkan Satrio Wibowo dengan Prasaja Utama. Keduanya berbeda.
Satrio Wibowo adalah suami yang sederhana, seadanya, yang biasa-biasa saja, lugu, rendah hati dan penyabar.
Aku baru merasa menerima kehadiran Satrio Wibowo dalam hatiku ketika anak kami lahir.
Bayi perempuan cantik seperti ibunya ini bernama Melati Puspitasari. Pada masa remajanya Melati adalah sekuntum bunga dambaan rama-rama.
Tidak berlebihan jika aku sangat mengagumi kecantikan yang terpancar dari wajah Melati.