Sebab jika saat itu aku jadi menikah dengan Prasaja, maka hal tersebut bisa menjadi kebanggaan bagi keluarga.
Orang tua mana yang tidak bangga mempunyai menantu seorang CEO Perusahaan BUMN seperti Prasaja Utama? Begitu pula bagiku tentu saja merupakan kenangan yang paling indah dalam hidupku.
Namun peristiwa tersebut tidak pernah terjadi. Aku harus kembali pada kenyataan bahwa suamiku adalah Satrio Wibowo, sosok sederhana bukan sosok luar biasa.
Pada saat itu setiap ada pertanyaan kenapa pernikahan berlangsung sederhana, jawabanku sering dihubungkan dengan prinsip-prinsip kesederhanaan Satrio Wibowo.
Padahal sebenarnya tidak demikian, sehingga aku telah tidak jujur kepada diriku sendiri, kepada Satrio, Papa, keluargaku dan kepada Tuhan.
Layar laptop di depanku itu masih tetap bersih tanpa satu pun kata apalagi kalimat. Tadinya sudah terlintas dalam pikiran ingin membuat Cerpen tentang Satrio Wibowo.
Namun aku sudah memutuskan bahwa pernikahanku dengan Satrio Wibowo tidak pernah kutulis menjadi sebuah Cerpen. Aku tidak ingin ketidakjujuranku menjadi sebuah Cerpen.
Ataukah Cerpen itu berkisah saja tentang cintaku dengan Prasaja Utama? Kisah cinta pertamaku yang sangat sulit terlupakan.
Setelah mempertimbangkan lagi, mungkin sebaiknya tidak usah saja. Aku hanya takut jika Prasaja membaca Cerpen itu, maka dia menganggap bahwa aku masih mencintainya.
Jujur saja, kisah cintaku yang berakhir pedih dengan Prasaja tidak mudah terlupakan karena masih ada sisi-sisi indah yang bisa dikenang.
"Sebuah cinta yang mengharukan." Begitu komentar Satrio ketika aku selesai bercerita masa laluku.