Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Masih Ada Cinta di Ruang Hampa

7 Februari 2020   15:19 Diperbarui: 7 Februari 2020   16:36 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto Polskiswiat.com

Sudahlah Alan. Rupanya Allah mengirim Daisy Listya hanya untuk dikenang. Gadis itu sekedar untuk menggugah hatimu agar kamu mulai terbuka lagi menerima uluran cinta dari calon teman hidupmu. 

Sejak pertemuan terakhir dengan Daisy Listya pada hari wisuda itu, aku benar-benar mengisi hari-hariku dengan kehampaan. Padahal aku harus tegar. Teringat yang pernah dikatakan Listya bahwa sebenarnya kita tidak pernah memiliki apapun maka oleh sebab itu kita tidak pernah kehilangan apapun. Hanya Allah Yang Maha Memiliki. Tetapi tetap saja tidak mudah melupakan kenyataan yang sedang aku hadapi ini.

Daisy Listya. Sejak pertama kali aku memandang wajahnya rasanya wajah itu seperti sudah kukenal jauh lebih lama. Saat itu aku sempat tertegun tak percaya. Wajah ini sangat akrab dengan hatiku. Entah berapa puluh tahun yang lalu rasanya aku pernah mengenal wajah cantik ini. Wajah teduh yang dapat membuat hati menjadi tentram.

Berkali-kali aku berbincang dengannya. Banyak yang tidak dapat aku ungkapkan betapa lembutnya dia dalam bicara. Setiap katanya mengandung kelembutan hatinya.

Setiap aku berbincang dengannya setiap itu pula aku seperti pernah merasakan perasaan seperti ini entah berapa puluh tahun yang lalu. Sapaannya, candanya, senyumnya dan tawanya rasanya seperti pernah akrab dalam hidupku.

Aku pernah mengatakan kepadanya, bahwa aku sangat mengagumi kepribadiannya. Mendengar ini, dia hanya tersenyum lembut. Dia tetap rendah hati. Bahkan dia mengatakan bahwa aku terlalu berlebihan dan sambil bercanda dia berkata bahwa aku hanya menebar fitnah. Aku dituduh menfitnah bahwa dia cantik. Sungguh aku sangat terkesan dengan sikap gadis ini menghadapi pujian. Memang hanya Allah yang berhak menerima pujian.

Aku adalah orang yang tidak dapat berpura-pura. Aku adalah orang yang selalu mengatakan sesuatu sesuai dengan isi hatiku. Wajar setiap orang memiliki masa lalu.

Namun jika masa lalu itu ada di depan mata mengapa aku harus diam saja. Masa lalu itu adalah Diana Faria sedangkan yang aku hadapi ini adalah Daisy Listya. Aku adalah orang yang ingin selalu mengatakan sesuatu sesuai dengan isi hatiku.

BACA JUGA : Harapan Kandas Dosen Jomblo

Daisy Listya. Di mataku dia adalah gadis yang berbeda dibandingkan gadis remaja seusianya. Dia sangat sederhana dan bersahaja. Senangnya hatiku setiap hari bertemu di koridor laboratorium itu. Dia tersenyum padaku dan aku bisa merasakan kebahagiaan seperti pernah aku rasakan beberapa tahun lalu bersama Diana Faria.

Daisy Listya memang bukan Diana Faria. Aku hanya melihat dan merasakan ada Diana Faria dalam dirinya.

Aku tidak tahu sudah berapa lama duduk dan termenung di depan layar monitor komputer Jepang itu. Pekerjaan pengumpulan data penelitian kerja bareng dengan LIPI, harus segera dituntaskan. Sore itu aku harus menyelesaikan pengolahan beberapa data dari file Bank Data yang ada di Laboratorium HPLC.

Sambil mengerjakan kompilasi data ini, aku jadi teringat bahwa beberapa waktu yang lalu di ruang HPLC ini berbincang dengan Listya tentang Diana Faria. Saat itu aku seperti terbangun dari mimpi ketika mendengarkan pendaparnya bahwa kita ini tidak pernah memiliki apapun sehingga tidak bakal kehilangan apapun.

Gadis itu telah membangunkanku dari mimpi buruk. Daisy Listya seakan mau berkata bahwa Diana Faria bukan milikku tapi semata-mata hanya milik Allah. Memang itulah faktanya.

Oh Tuhan, 20 tahun sudah aku telah menyia-nyiakan waktu. Ampuni hambaMu yang telah menganiaya diri sendiri.   Ampuni hambaMu yang sudah tidak tahu diri merasa memiliki yang bukan haknya padahal segala sesuatu hanya Engkaulah yang berhak.

Hatiku berbisik haru dalam penyesalan yang nyata.

Di depan komputer itu, aku sebenarnya lebih banyak termenung dari pada memperhatikan data penelitian yang mau kujadikan bahan Simposium Farmakologi di ITB. 

Sudah dua minggu yang lalu aku terakhir bertemu Listya di hari wisuda itu. Padahal baru dua minggu yang lalu tapi rasanya seperti sudah dua tahun yang lalu. Mungkin karena aku sangat merindukannya, entahlah.

Aku sangat bersyukur kepada Allah, sudah berkenalan dan merasa dekat dengan Daisy Listya. Sekarang paling tidak hatiku sudah terbuka walaupun sebenarnya harapanku adalah gadis itu. Aku benar-benar merindukannya. Listya sudah benar-benar seperti menghilang.

Belum pernah aku merasakan kehampaan seperti ini. Mungkin Listya sekarang sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan seorang lelaki yang tempo hari dikenalkan padaku.

Sudahlah Alan. Listya rupanya dikirim Allah hanya untuk dikenang. Gadis itu dikirim Allah untuk menggugah hatimu agar kamu mulai terbuka lagi menerima uluran calon teman hidupmu. 

Suara hatiku seakan memberontak. Aku harus merelakan Listya.

Maka sore itu dari Laboratorium HPLC itu aku hanya mendapatkan kehampaan yang amat sangat. Hari sudah semakin sore dan hujan baru saja reda ketika aku meninggalkan Laboratorium HPLC menuju ruang kerjaku di Gedung Fakultas Farmasi. Memang dalam dua bulan terakhir ini Kota Surabaya sedang diguyur hujan hampir setiap sore.

Aku menyusuri trotoar jalan dalam Kampus, ketika tiba-tiba terdengar seseorang memanggilku. Suara perempuan, ternyata Amelia, sahabat dekat Listya.

"Amel. Kamu rupanya masih betah di sini. Harusnya kamu sudah hilang kemana. Atau kerja dimana. Atau diboyong suamimu!" Kataku bercanda. Amelia tertawa.

"Pak Alan bisa saja. Tadi saya baru mengurus legalisir ijazah dan ada keperluan administrasi dengan Fakultas. Oh ya pak ada titip salam dari Listya." Suara Amelia nadanya biasa saja, namun mendengar ini, aku meraskan bagaikan ada badai dari Surga. Badai kebahagiaan.

"Terima kasih. Tolong sampaikan kembali salam saya, kalau kamu ketemu Listya ya!" Kataku dengan nada biasa saja, berusaha menyembunyikan rasa bahagiaku.

"Dua hari yang lalu saya ketemu Listya di Kampus. Waktu itu dia juga ingin ketemu Bapak tapi katanya Bapak sedang ke Bandung," kata Amelia.

"Dua hari yang lalu? Iya saya pulang ke Bandung menjenguk Ibu. Kok Listya tidak sms saya atau telpon?" Aku mencoba bertanya. Amelia menjelaskan bahwa saat itu tidak ada yang penting, Listya hanya ingin bertemu saja.

Oh Tuhan dia ingin ketemu denganku apakah artinya dia juga rindu padaku. Kembali aku merasakan kebahagiaan karena harapan itu kembali muncul. Tapi nanti dulu laki-laki yang dulu waktu wisuda itu calon suaminya. Tidak Alan, kau tidak boleh berharap terlalu tinggi biar nanti kalau jatuh tidak terlalu sakit.

"Amel, ngomong-ngomong kapan saya terima undangan dari Listya tolong kalau ketemu tanyakan ya. Oh iya juga dari kamu. Kapan undangan pernikahannya?" 

"Wah kalau saya masih lama Pak. Kepingin kerja dulu dong, kalau Listya mungkin bulan depan. Tapi kemarin calon suaminya baru saja masuk Rumah Sakit." Kata Amelia memberikan penjelasan terkini tentang Listya.

"Apakah sekarang masih di Rumah Sakit?  Rumah Sakit mana di Malangnya?"

"Rumah sakit Saiful Anwar Kamar Pavilliun Anggrek nomor dua. Kemarin saya dan teman-teman baru saja menjenguk." Kata Amelia.

"Saya ingin menjenguk calon suami Listya. Bagaimana kalau Amel menemani saya besok Minggu, jika Amel tidak punya acara?" Ajakku penuh harap.

"Baik Pak. Saya Minggu tidak ada acara. Kita janjian ketemu di Kampus saja bagaimana Pak?"  Aku setuju dengan usul Amelia.

"Oke. Kita ketemu pukul tujuh ya!" Kami bersepakat.

Minggu pagi itu aku dan Amelia sudah meluncur di atas jalan Tol menuju Malang. Kendaraan cukup padat karena biasanya hari Minggu orang-orang Surabaya banyak yang rekreasi ke Malang.

Perjalanan bisa dilalui dengan lancar. Akhirnya kami sampai di RS Saiful Anwar. Amelia mengajakku ke Ruang Paviliun Anggrek yang ada di lantai 3. Beberapa Perawat terlihat sibuk melayani pengunjung di Loby Ruangan Masuk.

Di depan kamar pasien, Amelia mengetuk pintu perlahan. Seseorang membukakan pintu. Seorang lelaki yang rasanya pernah ketemu ya ini adalah Pak Sofyan, Ayah Listya.

"Oh Amel dengan Pak Alan," kata Pak Sofyan ramah. Rupanya beliau masih ingat namaku.

"Mari silakan masuk Pak." Ajak Pak Sofyan sambil membukakan pintu.

Aku baru saja memperhatikan Pak Sofyan. Beliau kira-kira seusia denganku sekitar 45 tahun. Aku memang seusia dengan Ayah Listya.

Nanti dulu, di ruangan ini tidak tampak Listya. Ya tidak ada Listya di situ hanya ada Rizal, calon suaminya yang sedang terbaring dengan infus di tangannya. Sementara di sampingnya ada seorang gadis seusia Listya mungkin adiknya.

Melihat aku datang, Rizal kelihatan sangat senang. "Terima kasih Pak Alan mau menjenguk saya," kata Rizal.

"Ya Mas Rizal. Saya baru tahu dari Amel kemarin. Maaf baru sekarang bisa menjenguk. Oh ya bagaimana diagnosa terakhir dari dokter Ahli disini?" Tanyaku.

"Sudah diketahui ada batu ginjal yang harus diambil dan kemungkinan adanya infeksi yang cukup serius. Tahap awal ini batu ginjal harus segera di operasi setelah itu baru penyembuhan infeksi ginjal."

"Syukurlah kalau sudah ketahuan penyakitnya. Rencana operasinya kapan?"

"Insya Allah Rabu pekan depan. Mohon doa restunya Pak!" Kata Rizal.

"Ya Mas Rizal semoga semuanya berjalan lancar dan operasinya sukses!"

"Oh iya. Tya baru saja tadi pagi gantian jaga dengan adik saya. Perkenalkan Pak Alan ini adik saya namanya Risa," kata Rizal sambil memperkenalkan adiknya yang berdiri disampingnya. Aku menjabat uluran tangannya.

Rizal mengatakan adiknya baru masuk Perguruan Tinggi di Malang. Gadis ini agak pendiam kesan itu terlihat waktu Risa mengucapkan namanya demikian pelan nyaris tidak terdengar.

"Risa anak bungsu ya?" Tanyaku dan dia hanya tersenyum mengangguk.

"Ya Pak kami hanya dua bersaudara. Saya sendiri anak sulung dan Risa ini satu-satunya adik saya," kata Rizal menjelaskan.

Kami mengobrol cukup akrab tidak terasa hari sudah siang. Akhirnya aku dan Amel berpamitan sambil mengharapkan Rizal segera sembuh dan operasi batu ginjalnya lancar. Pak Sofyan mengantar kami sampai di pintu kamar rawat.

"Terima kasih pak Alan sudah berkunjung, sayang sekali tidak ketemu dengan Tya," kata Pak Sofyan.

Keluarganya memang memanggil Listya dengan Tya sedangkan teman-teman di Kampusnya seperti Amel ini, memanggil gadis itu dengan Listya.

"Tidak apa-apa Pak Sofyan. Kami sudah bertemu dengan Rizal semoga segera sembuh. Titip salam saja untuk Listya mudah-mudahan tabah menghadapi cobaan ini," kataku mencoba menghibur Pak Sofyan.

"Ya Pak terima kasih, nanti salamnya saya sampaikan kepada Tya!"

Aku dan Amelia akhirnya meninggalkan RS Saiful Anwar Malang. Sempat mampir makan siang terlebih dulu di sebuah Cafe Jalan Soekarno-Hatta seblum kembali ke Surabaya.

Sepanjang perjalanan hujan turun menemani kami. Aku melihat Amel sudah kelihatan ngantuk. Dia mulai tertidur dalam alunan musik dari tape mobil yang mengalunkan lagu For You to Remmember nya Leon Hainnes Band dan Goodbye nya Air Supplay.

Selesai lagu itu disambung dengan lagu Richard Marx. If I see you next to never, how can we say forever. Wherever you go, whatever you do. I will be right here waiting for you. Whatever it takes or how my heart breaks. I will be right here waiting for you.

Lagu-lagu itu yang selalu mengingatkanku kepada Listya. Ya I will be right here waiting for you. Saat saat aku masih biasa bertemu dengannya di jalan trotoar Kampus atau di koridor laboratorium atau di ruang HPLC atau di ruang kerjaku sambil diskusi tentang skripsinya.

Daisy Listya. Mengapa aku tidak dapat menghapus bayanganmu dari dalam anganku. Mengapa aku tidak bisa memindahkan dirimu dari ruang hatiku karena sekarang seolah dirimu sudah mengisi ruang dimana dulu Diana Faria berada. Listya padahal sebentar lagi kau melangsungkan pernikahan dengan orang yang kau cintai yaitu Rizal. Mengapa dirimu begitu kuat mencengkram perasaanku seperti halnya dulu Diana Faria membelengguku dalam jebakan masa lalu. Aku benar-benar tidak mengerti yang sedang Engkau rencanakan untukku ya Allah. 

"Oh maaf Pak. Saya ketiduran," suara Amelia membangunkanku dari lamunan. Aku tersenyum melihat Amelia seperti orang linglung karena baru bangun dari tidur lelapnya. 

"Tidak masalah Tuan Putri!" Kataku sambil tertawa.

"Ah Pak Alan, saya jadi malu." Tawaku semakin keras. Amelia tampak merasa canggung.  

"Sudahlah Mel. Penting saat ini adalah sudah lega karena kita sudah menjenguk calon suami Listya. Apalagi dia sudah berangsur sehat. Apakah Amel tahu kapan mereka melangsungkan pernikahannya?" 

"Dulu Listya pernah cerita akan menikah bulan Maulud ini tapi dia juga pernah curhat sama saya Pak tentang pernikahannya ini," kata Amelia. 

"Curhat bagaimana Mel?" Tanyaku penasaran.

"Listya baru bertunangan dengan Rizal kira-kira sebulan sebelum wisuda dan saat itu sekaligus lamaran. Listya sebenarnya belum tahu apakah dia mencintai Rizal atau tidak karena yang dia lakukan adalah hanya menyenangkan kedua orang tuanya yang banyak berhutang budi kepada keluarga Mas Rizal." Amelia menjelaskan.

"Selama ini keluarga Mas Rizal banyak membantu biaya kuliah Listya sampai lulus," kata Amelia menambahkan. Tampaknya kedua orang tua mereka yang menjodohkan.

Aku sungguh terkejut. Benarkah Listya ternyata tidak mencintai Rizal dan dia bertunangan dan menerima lamaran Rizal karena campur tangan orang tua mereka.

"Oh begitu," kataku pura-pura tenang menanggapi cerita ini padahal aku sangat terkejut mendengarnya.

"Tapi Mel, mudah-mudahan Listya akhirnya mau mencintai Mas Rizal karena aku lihat Mas Rizal begitu mencintai Listya," kataku.

Aku tidak tahu kata-kata ini hanya basa-basi atau tidak tapi itu adalah sebuah doa. Ya Allah mudah-mudahan aku berdoa dengan tulus. Aku paling takut dengan ke pura-puraan.

"Ya Pak. Tetapi menurutku Listya tidak mencintai Mas Rizal. Dia hanya ingin menyenangkan kedua orang tuanya," kata Amelia. Kembali aku terkejut dengan keyakinan Amelia ini.

"Listya pernah bercerita waktu itu. Walaupun seperti bergurau, dia sedang mengagumi seseorang. Lalu saya bertanya siapa? Listya hanya tertawa sambil berkata rahasia." Cerita Amelia yang membuatku semakin penasaran. Tapi aku tetap mencoba diam tidak bereaksi.

"Pak Listya mengagumi seseorang berarti orang itu sangat istimewa. Soalnya dia terbiasa dikagumi orang-orang. Jangankan cowok, cewek-cewek saja suka dengan dia karena keramahannya. Banyak cowok di Kampus yang mencoba mendekati Listya tapi dia selalu menghindar dan menolaknya dengan sopan."

"Oh iya tahu enggak. Listya juga pernah bicara tentang Pak Alan. Katanya Bapak itu orangnya sabar, telaten dan sangat perhatian. Dia merasa bangga menjadi mahasiswi bimbingan Bapak. Lalu pernah bertanya-tanya Pak Alan itu pacarnya siapa ya, kok masih betah sendirian," kembali suara Amelia. Aku cukup terkejut juga mendengar cerita Amelia yang satu ini.

"Waktu itu saya sempat menggoda Listya dengan pertanyaan. Lis kamu naksir Pak Alan ya? Aku lihat dia terkejut mendengar pertanyaan ini. Kemudian sambil tersenyum Listya menjawab. Yang jelas Pak Alan tak mungkin naksir aku karena dia pasti menganggapku seperti anaknya. Usia Pak Alan hampir sama dengan Bapakku," kata Amelia dengan suara polos menirukan kata-kata Listya. Memang Amel ini kalau sudah bercerita alias ngerumpi, sulit untuk dihentikan.

Mendengar kalimat yang terakhir ini aku tertawa. Fakta usia tidak bisa dibohongi. Daisy Listya memang bisa saja seusia anakku jika dulu aku jadi menikah dengan Diana Faria dan memiliki anak gadis.

Diskusi tentang Listya ditengah perjalanan Malang ke Surabaya, membuat betah sehingga tidak terasa kami sudah memasuki jalan Tol dalam Kota Surabaya. Aku mengambil pintu keluar Tol arah Satelit menuju TVRI di Jalan Mayjen Sungkono.

Kemudian memasuki Jalan Dr.Sutomo, menyeberang Jalan Raya Darmo menuju ke arah Kertajaya. Amelia sendiri tinggal di kawasan Dharmahusada.   Aku mengantar Amelia sampai di depan rumahnya.

"Amel, saya sangat berterima kasih sudah mau menemani sepanjang hari ini."

"Ya Pak, sama-sama. Bapak singgah dulu?" Amelia menawarkan agar aku singgah.

"Terimakasih Amel," kataku singkat, lalu segera berpamitan.

Hari yang sangat melelahkan namun juga menyenangkan karena banyak cerita tentang Listya. Hampir Magrib akhirnya aku tiba di rumah. Aku benar-benar sangat lelah sekali.

Tiba-tiba terdengar nada panggil ponselku berbunyi. Aku lihat siapa ya? Ternyata Listya menghubungiku.

"Ya Assalaamu alaikum," jawabku.

"Saya Tya Pak," suara Listya.

"Ya Listya, saya masih hafal suaramu," kataku. Tentu saja suaranya yang merdu mana mungkin aku bisa lupa.

"Saya takut Bapak lupa karena lama kita tidak pernah saling telepon. Oh ya Pak maaf tadi saya tidak bisa menemui waktu Bapak menjenguk mas Rizal," kata Listya.

"Tidak apa-apa Lis, yang penting Mas Rizal sudah semakin membaik dan mudah-mudahan Rabu besok operasinya berjalan lancar dan sukses."

"Iya Pak, terima kasih doanya dan kunjungannya untuk Mas Rizal. Ini sekarang sudah sampai Surabaya Pak?"

"Ya Lis. Alhamdulillah sudah di rumah baru saja sampai."

"Syukurlah perjalanannya dari Malang ke Surabaya lancar. Minggu lalu saya ke Kampus ada urusan penyelesaian administrasi dan juga ingin ketemu Bapak tapi waktu itu sedang ke Bandung."

"Iya. Saya juga dengar dari Amel. Disayangkan kita tidak bisa ketemu. Oh ya Lis, sekali lagi, mudah-mudahan Mas Rizal segera sembuh sehingga semua rencana berjalan lancar. Saya dengar Listya bulan Maulud ini rencananya menikah. Saya ikut berbahagia Lis," suaraku terasa agak bergetar karena menahan perasaan yang tidak menentu. Beberapa saat Daisy Listya terdiam.

"Ya Pak. Terima kasih," Jawabnya pendek. Namun aku mendengar nada suara Listya seperti sedang menahan tangis bukan suara kebahagiaan. Apakah ini mungkin karena Rizal sakit sehingga Listya merasa sedih.

"Insya Allah Listya, mas Rizal sembuh. Tidak perlu khawatir semuanya sudah ditangani dokter. Saya akan terus berdoa untuk kebaikannya dan juga kelancaran pernikahan kalian," kataku berusaha menghiburnya.

Beberapa saat tidak ada jawaban. Gadis ini seperti terdiam membisu. Cukup lama terdiam sehingga ada kekosongan pembicaraan, sampai akhirnya aku kembali bersuara.

"Hallo Lis, kamu baik-baik saja? Listya!"

"Ya Pak, tidak apa apa. Maaf Pak, saya sudahi dulu ya. Sekali lagi, terima kasih untuk doanya. Saya juga berdoa mudah-mudahan Bapak juga segera mendapatkan kebahagiaan dengan orang yang menggugah perasaan Bapak yang dulu pernah diceritakan. Maaf Pak Alan. Assalaamu alaikum." Listya berkata dengan suara pelan dan seperti menahan tangis.

"Baik Listya. Wa alaikum salaam," jawabku.

Apakah yang terjadi dengan Listya seperti tidak tampak bahagia dalam menghadapi hari pernikahannya? Kemudian kata-katanya tentang orang yang menggugah perasaanku, seperti ada perasaan cemburu dari nada bicaranya. Dia tidak tahu orang tersebut adalah dirinya. Ada apakah denganmu Listya?

Diujung bulan Januari ini hujan di Kota Surabaya masih tetap curahnya tinggi. Setiap sore turun hujan. Rabu ini aku ingat Rizal operasi pengambilan batu ginjal. Sekarang sudah hamper sore, mungkin operasinya sudah selesai. Ketika aku ingin menelpon Listya, tiba-tiba saja ponselku berbunyi. Ternyata panggilan dari Listya.

"Pak ini Tya. Alhamdulillah operasinya berhasil dan sekarang Mas Rizal sudah siuman," suara Listya dari seberang dengan nada gembira.

"Alhamdulillah Listya. Saya ikut senang sampaikan untuk Mas Rizal!"

"Iya Pak. Ini sudah saya sampaikan. Kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Bapak," suara Listya penuh dengan keharuan.

Berita gembira ini tentu saja membuat aku bersyukur karena berarti pernikahan Listya dengan Rizal tidak mengalami hambatan. Aku selalu berdoa untuk kebahagiaan Listya. Sesungghuhnya dalam hati kecilku ada rasa yang tidak bisa aku ungkapkan betapa pedihnya ketika Listya menikah dengan orang lain yang bukan aku. Namun aku harus berusaha untuk tetap tegar dan tabah karena jangan-jangan ini hanya ujian Allah.  

Aku baru sadar bahwa semua agenda hari ini sudah selesai sementara waktu baru menunjukkan pukul 14.30 WIB. Bagiku masih terlalu pagi kalau aku harus pulang walaupun tidak ada kegiatan lagi.

Di ruang kerjaku, aku mengisi waktu luangku dengan mengisi buku harian yang selalu setia menemani keseharianku. Sementara itu walaupun hari masih siang ternyata mendung sudah mulai mengurung langit di sekitar Kota Surabaya ini. Tiba-tiba aku dikejutkan suara ketukan halus di pintu.

"Ya masuk!" kataku.

"Assalaamu alaikum," suara merdu seorang gadis yang sangat familiar di telingaku. Aku memandang kea rah pintu yang terbuka. Ya Tuhan Daisy Listya berdiri sambil tersenyum. Sejenak aku tertegun dan terpana memandang gadis itu.

Kombinasi jilbab berwarna gelap dengan busana muslimah warna pink membuat gadis ini terlihat anggun. Sebenarnya pakaian berwarna apapun yang dikenakannya pasti membuat Listya tetap cantik.

"Listya. Wa-alaikumus salaam. Ayo masuk Lis. Silakan duduk!"

"Bagaimana kabar Listya juga Mas Rizal?" Tanyaku berlanjut.

"Alhamdulillah baik-baik. Mas Rizal dan Bapak kirim salam untuk Pak Alan."

"Terima kasih. Sampaikan salam juga untuk mereka. Oh ya Listya ada kabar kejutan ya?" Tanyaku sambil tersenyum. Sejenak gadis ini terdiam sambil tertunduk.

"Saya mengantarkan Undangan Pernikahan saya Pak. Saya sangat berharap Bapak bisa hadir," Kata Listya dengan suara yang sangat pelan. Kesan semakin terlihat, Listya seperti merasa sedih bukannya bahagia menghadapi hari pernikahannya.

Aku menerima Undangan berwarna abu-abu muda dengan tulisan berwarna biru tua. Kombinasi warna yang sejuk. Kubuka Undangan itu. Menikah Daisy Listya dan Rizal Anugerah.  

"Terimakasih Undangannya Listya. Saya datang Insya Allah."

"Iya pak terima kasih," kata Listya.

Aku tersenyum penuh dengan perasaan bercampur sambil memegang kartu undangan pernikahan Listya. Sementara awan mendung semakin tebal dan hujan rupanya segera turun membasahi bumi.

"Pak Alan bolehkah saya bertanya?" Kembali suara Listya sambil menatapku.

"Boleh Lis."

"Saya boleh tahu orang yang telah menggugah hati Pak Alan. Seperti cerita tempo hari. Mungkin dia calon istri Bapak." Kata Listya dengan wajah tersenyum sambil menatapku.

Aku benar-benar terkejut mendengar kata-kata Listya. Aku hanya terdiam beberapa saat. Aku benar-benar tak bisa menjawab. Sungguh tidak menyangka menerima pertanyaan ini.

"Listya. Benar ada seorang gadis telah membuat perubahan dalam hidup saya. Namun saya yakin gadis itu tidak tahu kalau dia telah membukakan hati saya."

"Bapak bisa sebutkan orangnya nanti saya bantu biar dia tahu," kata Listya penasaran. Aku kembali terdiam dan tak mampu berkata apa-apa.

"Terima kasih Listya mau membantu. Tetapi biarlah, dia nanti tahu dengan sendirinya.  Maafkan saya ya Lis."

"Tidak apa-apa Pak. Kalau ingat cerita Mbak Diana Faria, saya sangat terharu. Bapak harus mulai mendapatkan teman hidup yang menjadi cahaya mata hati Bapak sehingga nanti merasa tentram kepadanya. Saya akan bahagia jika Bapak segera menemukan gadis tersebut," kata Listya, suaranya yang lembut dengan tutur kata yang memukau.

Tuhanku, di depanku ini adalah teman hidup yang menjadi idaman selama ini. Mengapa mahluk cantik ini tidak ditakdirkan untuk menjadi istriku? Aku mohon. 

"Saya pamit dulu Pak. Jangan lupa saya tunggu Undangan Pernikahan Bapak." Suara Daisy Listya berpamitan.

Gadis cantik ini meninggalkanku dengan keramahannya. Aku menyempatkan mengantar Listya sampai di ujung pintu.

Aku masih duduk memandang Undangan Pernikahan Daisy Listya.  Rasanya seperti mimpi. Aku sudah menemukan gadis yang mampu menggantikan Diana Faria namun gadis ini ternyata harus menikah dengan orang lain.

Apakah sebenarnya yang terjadi. Aku sungguh-sungguh tidak mengerti.  Aku mencoba terus memahami arti hidup ini. Aku harus mulai mencoba pula melupakan harapanku terhadap Daisy Listya.

Biarlah dia bahagia dengan orang yang dicintainya. Aku harus mencoba menjadikan hatiku memiliki ruang yang luas sehingga bisa menerima cobaan apapun yang terjadi padaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun