Aku masih termenung mataku kosong memandang keluar lewat jendela yang berdebu itu. Sementara hujan gerimis masih juga belum reda. Tak terasa di buku harianku  itu aku menulis sebait puisi:
Jendela itu berdebu,
nampak menyimpan lelah,
menyimpan gundah dan resah.
Sementara di luar sana hujan gerimis,
semakin menipis
dan lelawa hitam semakin terdiam.
Menatap harap-harapnya
semakin lusuh,
semakin redup dan padam.
 Jendela itu berdebu,
tempat aku termangu,
menyimak masa lalu.
Jendela itu,
tempat aku terharu.
Jendela itu tempat kita memandang,
kemenangan masa depan.
Sampai di rumah aku masih memikirkan siapa sebenarnya laki-laki yang bersama Aini tadi. Rasanya aku terlalu berlebihan untuk berprasangka kepada Aini yang begitu mudah mau menerima laki-laki lain padahal dia baru saja ditinggal wafat calon suaminya. Namun ternyata bukan itu yang aku gundahkan. Aku hanya takut lelaki itu memanfaatkan kondisi psikologis Aini untuk mengail ikan di air keruh.
"Hensa kita ini tidak punya apa-apa karena kita ini bukan siapa-siapa. Kita ini ada karena ada yang mengadakan yaitu yang Maha Ada. Tidak ada gunanya bersedih untuk seseorang yang bukan milik kita karena kita memang tidak punya apa-apa. Kita wajib berfikir kedepan karena akhir itu lebih baik dari awal" itu petuah Aini ketika aku berpeluk murung saat Erika harus menikah dengan orang lain.Â
Jika Aini dulu berpetuah seperti itu maka aku yakin saat ini pun dia sudah mampu menasihati dirinya sendiri. Ya wajar Aini begitu cepat 'move on' sehingga sekarang sudah ada lelaki lain yang ada di dekatnya. Tapi kenapa lelaki itu bukan aku. Bukankah aku adalah sahabatnya?. Ah entahlah aku sebaiknya jangan terlalu  berharap mendapatkan cinta Aini.
Hari berikutnya aku kembali melihat Aini turun dari mobil dan yang mengantarnya adalah lelaki yang tempo hari. Pagi itu dari jendela laboratorium yang menghadap ke arah parkir, aku melihat Aini berjalan menuju tangga lantai dua dimana aku sedang mengerjakan penelitian skripsiku. Tidak berapa lama pintu laboratorium terbuka, berdiri di sana gadis cantik yang selalu kukagumi ini.
"Assalaamu alaikum Hensa!" suara Aini sambil menebar senyum sejuk.
"Wa alaikum salaam Aini. Aduh ceria sekali rupanya hari ini" kataku.
"Ah setiap hari aku selalu ceria"
"Tapi semakin hari semakin ceria. Aku sungguh senang melihat keceriaanmu," kataku sambil kutatap wajah anggun di depanku ini.Â
Aini hanya tertawa kecil dan suara tawanya membuatku semakin merasa nyaman berada di dekatnya. Ah sungguh mati aku saat ini rupanya sedang jatuh cinta. Hanya bodohnya aku sedang jatuh cinta kepada siapa? Erika? Tidak dia adalah masa laluku. Aini? Tidak juga karena aku masih ragu dengan diriku sendiri. Hanya merasa khawatir cintaku tidak terbalas. Tahu diri saja Aini terlalu cantik bagiku baik lahir maupun batin. Aku yang tidak layak mendampingi gadis muslimah ini.
"Hei Hensa melamun ya!" suara Aini membuat aku terkejut. Aku tertawa.