"Bagaimana kabarmu Aini?" tanyaku saat kami bertemu di Laboratorium itu.
"Alhamdulillah aku baik-baik saja Hen!" suara Aini pelan.
Ini adalah pertemuan pertama sejak Aini Mardiyah kehilangan Mohammad Iqbal, calon suaminya yang mengalami kecelakaan dalam kapal Feri tujuan Kupang saat itu tenggelam dihantam badai di perairan Nusa Tenggara Timur karena cuaca buruk.
"Hensa sendiri bagaimana?" tanya Aini.
"Alhamdulillah juga baik-baik. Tapi ada juga kabar tidak baiknya"
"Kabar tidak baik yang mana?" tanya Aini penasaran.
"Skripsiku masih belum juga rampung" kataku sambil tertawa. Kulihat Aini ikut tertawa juga. Rasanya senang melihat Aini tertawa karena beberapa hari ini tentu saja dia masih dirundung kesedihan.
"Skripsiku juga belum rampung. Ayo dong kita selesaikan biar kita cepat lulus dan di wisuda" kata Aini sambil menatapku penuh semangat. Tatapan Aini berbinar penuh dengan motivasi. Aku kembali merasa senang melihat Aini penuh dengan gairah untuk segera menyelesaikan skripsinya. Tentu saja aku ketularan juga oleh semangatnya.
"Aini!" kataku pelan. Gadis cantik itu menatapku dengan mata yang kelihatan masih sendu karena sisa-sisa dukanya terlihat di sana. Aku masih terdiam mulutku serasa terkunci.
"Kamu mau ngomong apa Hensa?" tanya Aini.
"Aku sesungguhnya merasa lega hari ini kamu sudah mau masuk lagi ke laboratorium untuk menyelesaikan penelitian skripsimu"
"Ya Hensa. Aku berharap dengan kesibukan di laboratorium ini  aku bisa mulai melupakan kepedihan ini" suara Aini agak tersendat. Aku melihat matanya mulai berkaca-kaca.
"Maafkan aku Aini. Aku berkata seperti ini sehingga membuatmu kembali teringat kepedihan itu. Padahal aku tadi merasa bahagia saat kembali melihat tawa dan senyummu"
"Tidak apa-apa Hensa. Aku sangat berterima kasih atas semua dukunganmu selama ini"
"Sama-sama Aini. Aku juga entah bagaimana saat ditinggal Erika ternyata kamu selalu ada disaat aku butuh nasihat"
"Sudahlah Hensa. Kita harus yakin semua yang terjadi pasti sudah atas campur tanganNya"
"Oke kalau begitu aku ingin melihat gadis cantik di depanku ini kembali tersenyum seperti biasanya agar semua yang ada disekitarnya turut juga tersenyum"
"Ah kamu mulai menggombal!" kata Aini sambil benar-benar tersenyum menatapku namun kali ini ada rona merah di pipinya. Oh cantiknya Aini Mardiyah. Aku merasakan kedamaian disisinya.
Baca Juga : Hari Pernikahan Itu
Malam itu di luar hujan gerimis masih berkepanjangan. Aini sudah menyelesaikan semua contoh yang dianalisa sedangkan aku masih cukup lama harus menyelesaikan bagian pekerjaanku. Maka ketika itu Aini berpamitan duluan. Kuantar dia sampai di pintu laboratorium. Aini kulihat menuruni tangga sementara hujan gerimis masih belum reda. Dari jendela laboratorium ini aku melihat  Aini berjalan menuju mobilnya. Tiba-tiba aku melihat seseorang keluar dari mobil itu, seorang laki-laki berlari kecil menyongsong Aini sambil membawa payung. Lalu kulihat mereka berpayung bersama menuju mobil di tempat parkir itu.
Oh Tuhan siapa laki-laki itu. Tiba-tiba ada rasa cemburu. Aku memandang lewat jendela laboratorium itu dan kulihat mobil jazz biru gelap itupun lenyap di telan malam. Rupanya Aini tadi diantar jemput oleh lelaki itu. Siapa laki-laki itu. Mengapa aku cemburu?.
Aku masih termenung mataku kosong memandang keluar lewat jendela yang berdebu itu. Sementara hujan gerimis masih juga belum reda. Tak terasa di buku harianku  itu aku menulis sebait puisi:
Jendela itu berdebu,
nampak menyimpan lelah,
menyimpan gundah dan resah.
Sementara di luar sana hujan gerimis,
semakin menipis
dan lelawa hitam semakin terdiam.
Menatap harap-harapnya
semakin lusuh,
semakin redup dan padam.
 Jendela itu berdebu,
tempat aku termangu,
menyimak masa lalu.
Jendela itu,
tempat aku terharu.
Jendela itu tempat kita memandang,
kemenangan masa depan.
Sampai di rumah aku masih memikirkan siapa sebenarnya laki-laki yang bersama Aini tadi. Rasanya aku terlalu berlebihan untuk berprasangka kepada Aini yang begitu mudah mau menerima laki-laki lain padahal dia baru saja ditinggal wafat calon suaminya. Namun ternyata bukan itu yang aku gundahkan. Aku hanya takut lelaki itu memanfaatkan kondisi psikologis Aini untuk mengail ikan di air keruh.
"Hensa kita ini tidak punya apa-apa karena kita ini bukan siapa-siapa. Kita ini ada karena ada yang mengadakan yaitu yang Maha Ada. Tidak ada gunanya bersedih untuk seseorang yang bukan milik kita karena kita memang tidak punya apa-apa. Kita wajib berfikir kedepan karena akhir itu lebih baik dari awal" itu petuah Aini ketika aku berpeluk murung saat Erika harus menikah dengan orang lain.Â
Jika Aini dulu berpetuah seperti itu maka aku yakin saat ini pun dia sudah mampu menasihati dirinya sendiri. Ya wajar Aini begitu cepat 'move on' sehingga sekarang sudah ada lelaki lain yang ada di dekatnya. Tapi kenapa lelaki itu bukan aku. Bukankah aku adalah sahabatnya?. Ah entahlah aku sebaiknya jangan terlalu  berharap mendapatkan cinta Aini.
Hari berikutnya aku kembali melihat Aini turun dari mobil dan yang mengantarnya adalah lelaki yang tempo hari. Pagi itu dari jendela laboratorium yang menghadap ke arah parkir, aku melihat Aini berjalan menuju tangga lantai dua dimana aku sedang mengerjakan penelitian skripsiku. Tidak berapa lama pintu laboratorium terbuka, berdiri di sana gadis cantik yang selalu kukagumi ini.
"Assalaamu alaikum Hensa!" suara Aini sambil menebar senyum sejuk.
"Wa alaikum salaam Aini. Aduh ceria sekali rupanya hari ini" kataku.
"Ah setiap hari aku selalu ceria"
"Tapi semakin hari semakin ceria. Aku sungguh senang melihat keceriaanmu," kataku sambil kutatap wajah anggun di depanku ini.Â
Aini hanya tertawa kecil dan suara tawanya membuatku semakin merasa nyaman berada di dekatnya. Ah sungguh mati aku saat ini rupanya sedang jatuh cinta. Hanya bodohnya aku sedang jatuh cinta kepada siapa? Erika? Tidak dia adalah masa laluku. Aini? Tidak juga karena aku masih ragu dengan diriku sendiri. Hanya merasa khawatir cintaku tidak terbalas. Tahu diri saja Aini terlalu cantik bagiku baik lahir maupun batin. Aku yang tidak layak mendampingi gadis muslimah ini.
"Hei Hensa melamun ya!" suara Aini membuat aku terkejut. Aku tertawa.
"Bukan melamun hanya termenung"
"Termenung untuk apa?"
"Termenung menghayalkan teman hidup nanti kalau sudah wisuda. Atau sebelum wisuda sudah punya agar ada yang mengucapkan selamat ya Mas Hensa!"
Mendengar ini Aini tertawa renyah. Benar-benar aku melihat gadis ini begitu ceria hari ini.
"Aini kenapa tertawa?"
"Tidak kenapa kenapa. Tidak boleh menghayal dulu sekarang selesaikan saja  skripsi baru boleh menghayal teman hidup" kata Aini sambil mendelik dengan mimik wajah berpura-pura marah.
"Baik Bu Aini. Saya segera kembali ke laboratorium," kataku sambil membungkukan badan.Â
Sebuah cubitan Aini mendarat di lenganku dan aku hanya tertawa. Suasana keakraban dengan Aini membuat aku merasakan kenyamanan berada dekat dengannya. Suasana seperti ini mengingatkanku saat bersama Erika. Gadisku yang sudah menjadi masa laluku.Â
Rasanya memang seperti mimpi bersama Erika sejak masih SMA namun saat menjadi mahasiswa harus menerima kenyataan Erika menikah dengan orang lain. Tidak mudah melupakan kenangan bersamanya begitu saja. Ya sempat aku terguncang tapi mampu bangkit dengan dukungan sahabat-sahabatku terutama Aini Mardiyah. Â
Bagiku Aini adalah orang terdekatku. Lucunya Aini adalah sahabat kentalnya Erika bahkan hingga sekarang mereka masih sering kontak via fasilitas handphone. Apakah lucu anggak ya jikak aku harus jatuh cinta kepada Aini Mardiyah? Entahlah.
Tidak seperti biasanya hari itu Aini datang di Kampus tidak bersama lelaki yang biasa menemaninya. "Aini kok menyetir sendirian? Kemana Si Ganteng yang biasa menemanimu?" Tanyaku menyelidik agak kepo sedikit.Â
"Si Ganteng? Oh Erwin maksudmu. Iya memang dia ganteng. Dia sudah pulang ke Padang." Suara Aini datar biasa saja namun bagiku justru menambah penasaran. Siapakah Erwin, apakah dia calon suami Aini? Aku jadi menyesal mengajukan pertanyaan tadi. Maksudnya ingin mengorek informasi eh malah jawaban Aini membuat aku bertambah galau.
"Hei Hensa kenapa kamu jadi melamun begitu?"
"Ah enggak apa-apa. Aku hanya berfikir pasti Aini akan kangen dong sama Erwin yang biasanya selalu bersama-sama," kataku mulai usil lagi. Sebenarnya enggak enak juga sih "kepo" seperti ini tapi apa boleh buat kalau tidak begini aku tidak akan tahu siapa cowok yang membuat aku menjadi galau ini.
"Kangen?" Aini tiba-tiba tertawa seolah-olah apa yang aku katakan itu memang lucu. Â "Hensa, dia itu saudara sepupuku yang masih duduk di SMA. Kebetulan kemarin sedang liburan. Ingin kuliah di Bogor nanti kalau sudah lulus. Lucu dong masa sama sepupu kangen. Kalau sama kekasih baru kangen."
"Oh pantas setelah aku perhatikan wajahnya agak mirip-mirip kamu, Aini!" kataku dengan hati lega sambil mengalihkan pembicaraan.
"Ya iyalah, Erwin anak Tanteku. Udah ah ayo kita ke Laboratorium!"
"Ok Nona manis kita kerja untuk skripsi biar cepat rampung."
Aini tersenyum dan kami menuju Laboratorium untuk bekerja seperti biasa. Terus terang selama di Laboratorium itu aku tidak begitu fokus bekerja. Selalu memikirkan Aini yang sekarang ada di ruangan yang sama. Memang ada rasa lega ketika tahu bahwa lelaki yang selalu bersama Aini itu ternyata masih sepupunya. Namun tetap saja bagiku harus menempuh jalan terjal untuk bisa meraih cinta Aini.Â
Walaupun hampir setiap hari selalu bersama Aini namun pada setiap pembicaraan kami hanya canda dan tawa yang biasa saja. Tapi sore ini seusai kami menyelesaikan pekerjaan laboratorium kami berbincang cukup serius. Ketika itu Aini pernah menanyakan tentang perasaanku saat ini  kepada Erika.
"Erika sudah menjadi catatan masa laluku. Catatan itu tetap tersimpan dan tidak bisa dihapus" kataku.
"Ya Hensa. Pasti itu. Hanya aku ingin menyampaikan sebuah pesan Erika untukmu"
"Pesan apa Aini? Apakah dia berkata padamu?"
"Iya tadi malam Erika menelponku dan mengatakan pesan itu untukmu"
"Katakan saja Aini"
"Erika berpesan agar kamu mulai membuka diri untuk orang lain. Jangan terbelenggu masa lalumu. Kalau bisa lupakanlah Erika untuk masa depanmu"
Aku hanya terdiam tidak mampu berkata apa-apa. Pada saat seperti ini justru aku kembali seakan terbayang saat saat bersama Erika. Semakin ingin melupakannya malah semakin kuat selalu mengingatnya. Namun pesan Erika ini apakah pertanda secara simbolis bahwa aku diberikan restunya untuk mencinta Aini, sahabatnya. Apakah ini juga pertanda Aini sudah mau membuka diri untukku. Ya Allah semoga saja demikian. Â Harapanku begitu menggelora mendengar kabar ini.
"Maafkan aku Hensa. Aku hanya menyampaikan pesannya. Aku mengerti kenapa kamu terdiam begitu lama" kata Aini.
"Tidak apa-apa Aini. Pesan Erika sangat membantuku bahkan aku berharap pesan itu bisa juga untukmu" kataku pelan. Aini menatapku dengan mata penuh kepedihan karena teringat Iqbal almarhum, calon suaminya yang wafat sebelum pernikahan mereka.
"Ya Hensa. Kita sepertinya mempunyai taqdir yang sama harus kehilangan orang yang kita cintai dan tidak mudah melupakan semua kenangan yang kita alami"
"Tapi Aini sekarang saatnya kembali membuka diri lagi untuk orang lain," kataku berharap namun Aini masih terdiam mendengar ucapanku.Â
Aku sebenarnya sangat berharap keluar ucapan dari bibir Aini walaupun hanya tersirat bahwa Aini ingin membuka diri untuk orang lain. Paling tidak jika itu diucapkannya, aku memiliki harapan. Lama sekali bibir Aini masih terkatup rapat. Aku masih sabar menunggu ucapan apa yang nanti keluar dari bibir mungil nan ramah senyum itu. Kulihat wajah Aini terlihat murung. Mungkin masih ingat kepada Iqbal. Setelah terdiam agak lama akhirnya keluar juga ucapan yang kutunggu itu.
"Hensa. Aku tidak mudah membuka diri untuk orang lain. Belum ada seseorangpun yang mampu membuka hatiku." Suara Aini tegas. Mendengar ini rasanya hampa harapanku. Lalu aku mencoba tersenyum hanya sekedar menutupi rasa kecewaku.
"Aini, sahabatmu selalu ada untuk membantumu agar hatimu bisa terbuka lagi untuk orang lain" kataku berusaha untuk memancing. Apakah Aini akan tersenyum mendengar kata-kata  ajaibku yaitu "sahabat". Ternyata berhasil. Kulihat wajahnya kembali merona cerah memancarkan optimis yang menggembirakanku. "Sahabat" adalah kata kuncinya.
"Terima kasih Hensa," kata Aini tersenyum lembut "Hampir saja aku lupa ternyata di sampingku ini selalu ada sahabat setiaku yang tidak pernah membuatku kesepian. Beruntunglah Aini Mardiyah memiliki sahabat seorang Hensa"
Aku menyambut senyum Aini dengan perasaan campur aduk. Senang, kecewa, galau, gundah pokoknya macam-macam. Senyum manis itu menyisakan teka teki. Aku memang hanya sebagai sahabat setianya. Ya hanya sahabat. Aini. Aini. Aini. Begitu susahnya menebak hatimu. Â
Â
Bandung 22 Â November 2015Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H