Senja hari di Ujung Kulon menyisakan warna merah Sang Mentari yang terbenam di ufuk Barat sana. Ombak berbuih putih pantai Selat Sunda datang dan pergi silih berganti membasahi setiap butir pasir yang membentang luas dari Utara ke Selatan.
BACA JUGA :
Peristiwa 27 Agustus 1883
Episode 2 Jalan Menuju Utara dan Wabah yang Mengancam
Episode 3 Di Tengah Wabah Ada Misteri Dua Kiyai
Episode 4 Menyingkap Rahasia Buronan Sang Gubernur
Episode 5 Misteri Teluh Banten
Pohon Nyiur melambai lambai seolah mengucapkan salam pada Mentari yang sebentar lagi akan hilang ditelan malam.
Di ufuk Barat sanapun asap hitam gunung Krakatau masih setia membumbung seolah ingin menggapai langit.
Seorang lelaki muda masih menyelesaikan gerakan-gerakan bela diri silat. Sesekali ombak laut menerpa tubuhnya yang kekar itu.
Sementara di atas batu karang duduk Sang Guru dengan penuh wibawa memandu pemuda tersebut.
Entah sudah berapa ratus jurus yang dilahapnya. Sang Guru yang kelihatannya sudah sepuh dengan rambut putih dan jenggot putih pula hanya manggut-manggut kagum pada kemajuan muridnya.
Hari itu adalah hari terakhir pemuda itu berguru di Padepokan Bayusuci. Esok harinya pemuda itu harus kembali pulang ke desanya.
Perpisahan dengan Sang Guru seyogyanya sangat mengharukan namun Sang Guru tidak mau muridnya hanyut dalam rasa haru yang berlebihan.
“Sudahlah Nak jangan menangis. Aki mendoakan agar kamu mampu mengembara dan membela kebenaran” kata Sang Guru menyebut dirinya Aki yang artinya kakek.
Sebenarnya nama Sang Guru itu adalah Kyai Furqon, seorang pemuka agama di daerah Anyer Kidul.
Beliau adalah mantan prajurit perang Dipenogoro dan murid Kiyai Mlangi salah seorang ulama yang mendukung perjuangan Diponegoro melawan Kolonial Belanda di Boyolali.
Saat itu para demang, bekel, kiai terkenal seperti Kiai Mojo, Kiai Mlangi, Kiai Kwaron,Kiai Taptoyani, serta para ulama sahabatnya dari berbagai daerah menyokong gerakan perang yang dilakukan Pangeran Diponegoro melawan kesewenangan Kolonial Belanda.
“Iya Ki!” suara pemuda itu parau tersendat di kerongkongan menahan kesedihan harus berpisah dengan Sang Guru setelah lima tahun terakhir ini bersamanya.
Namun perpisahan ini tidak bisa dielakan dan pemuda itu harus melangkah meninggalkan Padepokan Bayusuci dengan berat hati.
Nama lengkap pemuda itu adalah Bayu Gandana. Rambutnya yang panjang dengan ikat kepala berwarna hitam nampak lusuh.
Demikian pula pakaian yang dikenakannya menunjukkan bahwa pemuda ini baru saja melakukan perjalanan jauh.
Sudah beberapa hari ini Bayu belum menemukan sebuah Desa saat dia menuju ke arah Utara ini.
Walaupun demikian langkahnya yang tegap masih menapakkan kedua kakinya di atas tanah berbatu sebuah jalan setapak yang sepi. Sebelah kiri kanan jalan menuju desa itu ada hutan belantara.
Udara siang itu memang panas sekali. Dari arah Barat hutan tersebut beberapa binatang seperti monyet, rusa, kancil, babi hutan berlarian ke arah Timur melintasi jalan setapak itu.
Bayu mengamati pemandangan di depannya sambil bertanya-tanya. Ada apa gerangan di dalam hutan sebelah Barat sana.
Binatang-binatang tersebut seperti sedang eksodus karena ada gangguan terhadap mereka. Pohon-pohon dalam hutan tersebut beberapa banyak yang mengering karena sudah lama tidak pernah turun hujan.
Serombongan rusa dan kambing hutan kembali melintas di depan Bayu. Mungkinkah ada Raja Hutan yang sedang memburu mereka?. Pikir Bayu.
Lelaki ini belum sempat menjawab pertanyaan tersebut, tiba-tiba ada lima ekor harimau juga berlari menghindar Hutan sebelah Barat tersebut. Berarti benar harimau-harimau itu yang mengejar mereka.
Bayu melanjutkan perjalanannya. Baru saja beberapa langkah tiba-tiba ada lagi serombongan Kelinci Hutan berlari menuju arah Timur. Ah ternyata ada sebab lain binatang binatang ini berlari menuju Timur bukan karena dikejar Si Raja Hutan.
Bayu masih berfikir keras ada apa gerangan dengan binatang binatang tersebut berlarian menuju Hutan sebelah Timur.
Sambil melangkah menelusuri jalan setapak itu tidak terasa Bayu sudah berada di depan sebuah Desa. Matahari sudah bergulir ke arah Barat menandakan hari sudah hampir senja.
Pintu Gerbang Desa terlihat tidak utuh temboknya rusak seperti terkena benda keras. Di Desa itu hanya ada beberapa rumah tidak terurus dan nampaknya sudah tidak berpenghuni.
Desa ini sangat sepi seperti tidak ada kehidupan di sini. Seorang Kakek melintas di depan Bayu namun dengan wajah acuh tak acuh dan langsung menghindari Bayu seperti ketakutan.
Bayu sangat heran dengan sikap kakek tersebut. Tadinya Bayu ingin menyapa kakek itu hanya untuk sekedar bertanya ini Desa apa namanya. Tapi Si Kakek seperti ketakutan lalu terburu buru menghindari Bayu.
Hari semakin sore dan Mataharipun hampir tenggelam di ufuk Barat. Sebentar lagi gelap akan menyergap. Bayu masih menelusuri jalan di Desa yang sepi itu.
Di ujung Desa tepatnya sebelah Timur, Bayu melihat ada sebuah Kedai yang menyalakan lampu templok. Ya sebuah Kedai namun Nampak seperti sebuah rumah karena banyak kamar-kamar di sisi kiri kanannya.
Bayu pun menuju ke sana. Beberapa orang ada di dalam Kedai tersebut. Semuanya laki-laki. Tiga orang berkumpul pada sebuah meja di pojok sedang menikmati minuman tuak.
Mereka berbadan kekar dan berwajah angker. Dua orang lagi di meja ujung pintu keluar dan ada seorang Kakek yang duduk sendirian di dekat meja Bayu.
Suasana Kedai sangat sepi mencekam. Tidak terdengar orang bercakap-cakap. Benar-benar sepi. Hanya terdengar suara tuak yang dituangkan ke dalam cangkir bambu.
Tiga orang yang duduk di pojok tersebut rupanya sudah mulai mabuk karena minuman tuak. Seorang diantara mereka menghampiri dua orang yang duduk di meja dekat pintu keluar itu.
“Minta tuaknya !” kata orang yang berbadan besar itu sambil menusukkan goloknya di atas meja mereka.
“Ambil saja!” kata orang yang diminta denga kasar itu namun botol tuak itu dilemparkan kemulut orang berbadan besar itu.
Karuan saja sebuah sabetan golok mengancam orang itu namun dapat dihindari dengan mulus.
Rupanya ilmu kanuragannya cukup tinggi sehingga orang sebesar dua kali berat badannya bisa juga dilemparkan ke luar.
Melihat temannya diperlakukan seperti itu dua orang laki-laki yang sedang mabuk itu akhirnya juga mengeroyok laki-laki itu. Hanya dengan dua tiga gerakkan merekapun bisa dilumpuhkan.
Akibat perkelahian itu keadaan kedai menjadi porak poranda. Si Empunya Kedai terlihat risau. Dia rupanya tahu siapa orang-orang tersebut.
Tiga orang yang mabuk itu adalah anak buahnya Si Lanang Jagad seorang Jawara di Desa ini. Rupanya dua orang tadi melihat kerisauan Si Empunya kedai ini, lalu mereka menghampiri lelaku tua itu.
“Pak Tua, saya ganti kerusakan kedai ini sekalian bayar makanan dan minuman kami!” kata lelaki itu dengan ramah sambil menyerahkan satu kantung uang logam. Ketika Pak Tua membuka kantung tersebut ternyata uang itu uang gulden.
Pak Tua kaget campur gembira. Uang gulden adalah uang Belanda yang sangat tinggi nilainya. Biasanya orang-orang di Desa ini dan sekitarnya menggunakan mata uang Kasha tembaga bukan emas. Mendapat satu kantung uang Gulden tentu saja membuat Pak Tua gembira.
“Terima kasih Tuan. Terima kasih,” kata Pak Tua tersebut kepada dua orang itu.
Bayu memperhatikan mereka mengenakan pakain yang sangat mahal untuk ukuran penduduk desa tersebut.
Paling tidak Bayu sangat mengenal cara berpakaian penduduk desa ini walaupun selama ini Bayu baru pertama kali berkunjung ke desa ini. Tidak jauh berbeda dengan desa dimana Bayu tinggal, orang-orangnya berpakaian sederhana.
“Tuan tunggu dulu!” Teriak Pak Tua ketika dua orang lelaki itu akan meninggalkan Warung.
“Ada apa Pak Tua.”
“Tadi orang-orang yang Tuan beri pelajaran itu adalah anak buah Si Lanang Jagad.”
“Siapa Si Lanang Jagad ?”
“Anu. Dia,dia..” Pak Tua seperti ragu-ragu mau menyebut siapa Si Lanang Jagad.
“Sudahlah Pak Tua. Kalau Si Lanang Jagad kemari mencari kami bilang saja tadi anak buahnya dihajar oleh Bondan dan dan ini Bolang.Kami berasal dari Cikupa!” kata Bondan.
Rupanya mereka Bondan dan Bolang dari Cikupa. Mana yang Bondan, mana yang Bolang bagi Bayu tidak masalah namun kelihatannya mereka berdua berilmu tinggi.
Cikupa adalah tempat para Pendekar tangguh yang ada di Tangerang tepatnya di muara Sungai Cisadane. Banyak Kiyai di sana yang berilmu dan mempunyai murid.
“Tuan apakah lebih baik menginap saja di sini sangat berbahaya melanjutkan perjalanan malam hari,” kembali suara Pak Tua.
“Tidak usah, kami hanya memerlukan beberapa jam saja berkuda ke desa sebelah Timur,” kata Bondan.
“Tapi Tuan akan melewati Leuweung Hideung,”kata Pak Tua lagi. Mendengar hal ini Bondan hanya tertawa demikian pula Bolang.
Mereka seolah menertawakan sebuah lelucon. Leuweung Hideung artinya adalah Hutan Hitam.
“Pak Tua, jangan percaya pada omongan orang-orang bodoh. Leuweung Hideung itu tidak angker seperti dikatakan orang-orang desa ini” kata Bondan.
Pak Tua pemilik kedai itu hanya terdiam namun terlihat ketakutan. Akhirnya Bondan dan Bolang meninggalkan kedai itu hanya terdengar suara deru kaki kuda yang ditunggangi mereka.
Bayu memang pernah mendengar cerita seram tentang hutan yang bernama Leuweung Hideung.
Konon katanya di sana ada penghuninya yaitu Iblis Bermata Satu itu. Banyak kejadian orang hilang di hutan itu baru beberapa hari kemudian ditemukan jasadnya sudah meninggal dengan kondisi yang mengenaskan.
Ada yang badannya bekas cakaran binatang buas bahkan ada yang kepalanya hilang dari badannya.
Siang hari saja orang-orang di desa sekitar hutan itu tidak berani lewat di sana apalagi malam hari seperti yang akan dilakukan oleh Bondan dan Bolang. Bagi Bayu sebagai orang yang beriman, dia tidak mudah untuk mempercayai hal-hal seperti itu.
“Maaf anak muda. Apakah mau menginap di sini?” tanya Pak Tua kepada Bayu.
“Iya Pak tolong siapkan sebuah kamar,” pinta Bayu.
“Pak Tua saya juga minta kamar,” kata kakek yang di sebelah Bayu rupanya juga mau menginap.
“Iya Tuan nanti saya siapkan,” kata Pak Tua itu kepada Si kakek.
Sebenarnya kedai ini adalah sebuah rumah yang agak besar jika dibandingkan rumah-rumah lainnya di desa ini.
Bagian depan rumah ini yang dijadikan ruangan untuk sebuah kedai.
“Anak muda tujuan perjalanan mau ke mana?” tanya Pak Tua itu.
“Saya dari desa Beji pantai Ujung Kulon, mau pulang ke Dalungserang” kata Bayu.
“Desa Dalungserang masih jauh. Dua hari berjalan kaki” kata Pak Tua lagi.
“Iya Pak. Besok saja saya melanjutkan perjalanan” kata bayu kembali menegaskan kalau malam ini dia menginap di sini.
Sesungguhnya Bayu menginap bukan karena takut dengan hutan yang dihuni oleh Iblis Bermata Satu itu, namun memang Bayu sangat kelelahan dan butuh istirahat.
Bayu tidak bisa memejamkan mata sepanjang malam itu. Dia begitu merindukan suasana pantai Barat Pula Jawa ini dimana ombak putih Ujung Kulon menerpa tubuhnya setiap hari.
Banyak kenangan di sana bersama Kiyai Furqon, Sang Guru. Ah kapan lagi aku bisa kembali ke sana. Bisik hati Bayu mencerminkan kegalauan.
Salam @hensa17
(BERSAMBUNG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H